"Tujuan kita ternyata sama, aku juga berniat ke tempat itu," kata Wisaka.
Faruq kaget sekaligus merasa gembira, ada teman seperjalanan nantinya.
Wittwiww ....
Wisaka bersuit keras, Onet yang masih di atas pohon, cepat-cepat turun, lalu menyerahkan buntalan ke arah Wisaka. Wisaka menerimanya lalu menyerahkan kepada Faruq.
Faruq memandang heran kepada Onet, Onet menyeringai ke arahnya. Faruq mundur takut disergap, Wisaka hanya tertawa.
"Ini Onet, teman yang menyertai perjalananku," Wisaka memperkenalkan Onet kepada Faruq.
Faruq tertawa melihat Onet yang memandangnya, mungkin Onet heran melihat badannya yang gendut.
"Sini, Onet, bersalaman dengannya," Faruq berkata sambil melambaikan tangannya ke arah Onet.
Onet beranjak, menjabat tangan Faruq, lalu ... jleng, ia meloncat ke bahu Faruq, membuat Faruq kaget dan terjengkang, terduduk di tanah. Wisaka tertawa melihat kelakuan Onet. Dengan susah payah Faruq bangun.
"Sialan kau, Onet, jurusmu membuatku bertekuk lutut," kata Faruq sambil membersihkan celananya dari debu.
Onet hanya cengar-cengir tidak karuan sambil bertepuk tangan.
"Aku mendapat perintah dari guru silatku, untuk mengantarkan ini kepada Kyai Abdullah," sambung Faruq tanpa ditanya.
"Apa itu?" tanya Wisaka.
"Sepertinya sebuah kitab, mungkin milik perguruan yang akan dikembalikan kepada pemiliknya," jawab Faruq.
"Baiklah, hari masih malam, ayo kita kembali ke goa, kita tidur lagi," ajak Wisaka.
"Goa?" tanya Faruq heran.
"Ya, Onet yang menemukannya ketika sedang menungguku kembali, biar nanti aku ceritakan kisahnya," jawab Wisaka.
Wisaka dan Faruq meloncati batu untuk mencapai goa. Mereka merebahkan badan yang kecapekan, setelah bertarung dengan perampok itu. Onet turut duduk termangu terkantuk-kantuk.
Dengan memakai tangan sebagai bantalan, Wisaka dan Faruq tidur terlentang tanpa alas. Rasa kantuk sirna. Faruq akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Kang, kisah apa yang hendak Kakang ceritakan kepadaku? Mengapa Kakang malam-malam ada di hutan?"
"Ooh, itu karena sebuah keinginan. Demi menyelamatkan masyarakat kampungku dari teror mahluk misterius," jawab Wisaka.
Kemudian Wisaka menceritakan bagaimana kampungnya terasa mencekam karena mahluk misterius. Pengantin-pengantin pria yang tewas, serta gangguan kejiwaan bagi pengantin perempuan. Semua itu membawanya menuntut ilmu untuk melawan mahluk itu. Wisaka yakin mahluk itu pasti mempunyai ilmu yang tinggi. Sebuah ilmu hitam pastinya.
"Tadinya aku akan menikah tahun ini. Dengan Cempaka kekasihku. Namun, karena teror itu kami urung menikah. Orang tua tidak mengizinkan, takut kami menjadi korban. Sekarang aku gak yakin kalau Cempaka masih berjodoh denganku," kata Wisaka dengan mimik murung.
Faruq memiringkan tubuhnya ke arah Wisaka.
"Lho, mengapa? Bukankah kalian saling cinta, setia satu sama lain?"
"Itulah, malam ini aku baru saja terbebas dari negeri siluman ikan. Mereka menjebakku dalam perkawinan, aku terpaksa menyetujui demi tugasku ini. Mereka mengancamku tidak akan menunjukkan jalan keluar," kata Wisaka lirih.
Faruq prihatin dengan kejadian demi kejadian yang menimpa Wisaka.
"Aku berjanji akan membantumu menuntaskan segala masalahmu, Kang," janji Faruq.
"Terima kasih."
Wisaka kemudian mengambil dan memperlihatkan lukisan mahluk tersebut kepada Faruq. Faruq mengambilnya dan menelitinya sambil duduk. Cahaya dari bara api unggun membantunya untuk melihat lukisan tersebut.
"Ini mahluk apa, Kang?" tanya Faruq.
"Itulah, aku melihat sekilas di antara pepohonan, tapi cukup jelas, hingga aku bisa melukiskannya, entahlah mahluk apa? Belum pernah melihat binatang seperti itu," jelas Wisaka. "Akhirnya kuambil kesimpulan mahluk itu yang membuat teror di kampung, tapi entah bersembunyi di mana? Karena pernah pada suatu malam aku mengejarnya dan menghilang dengan cepat," sambung Wisaka
Faruq manggut-manggut sambil melihat gambar itu dengan detil.
"Badannya seperti orang utan, tapi kok mukanya seperti ... seperti ... ular, ya seperti ular, ini coba lihat!" seru Faruq sambil menyerahkan lukisan tersebut.
Wisaka memperhatikan gambarnya tersebut, memang mukanya tampak seperti ular, tapi bukan itu yang menarik perhatiannya.
"Tunggu, aku ingat sesuatu!" Wisaka berseru sambil menunjuk kertas. "Saat mayat korban ditemukan, tiba-tiba ada ular yang keluar dari balik semak-semak. Juga saat aku mengejar mahluk itu, mahluk itu menghilang, tak lama kemudian seekor ular lewat di depanku," sambung Wisaka.
"Tidak salah lagi, mahluk itu berubah menjadi ular untuk mengelabuimu dan masyarakat," kata Faruq.
"Ya, mungkin ia tinggal di semak-semak di sekitar tempat tinggal warga. Sebenarnya aku juga sudah curiga dulu, saat aku menemukan lendir di daun. Mungkinkah ular mengeluarkan lendir saat berjalan? Saat aku susuri jalan tempat berlarinya ular, ternyata berujung ke tempat tetanggaku," terang Wisaka panjang lebar.
"Mungkinkah ia pelakunya?" tanya Faruq.
"Semua orang beranggapan ia pelakunya, tapi ia berhasil meyakinkan aku, bahwa ia bukan pelakunya, bahkan berkenan menunjukkan jalan untuk berguru kepada Kyai Abdullah, gurunya," jawab Wisaka.
"Rumit juga, sudahlah kita tidur, aku capek dikejar-kejar begal tadi," kata Faruq sambil merebahkan badannya di lantai gua.
Wisaka tidak menjawab lagi, ia pun lantas mengambil posisi untuk melanjutkan tidur yang tadi terganggu.
*****
Wangi ikan bakar mengusik tidur Wisaka. Dia terbangun dan melihat matahari sudah terbit. Cahayanya menerobos ke dalam gua. Wisaka menggeliat, harum khas ikan membuatnya lapar.
Wisaka melihat Faruq sedang mengipasi ikan di atas bara. Ikan yang cukup besar, cukup untuk makan berdua.
"Ada ikan bakar, nih," kata Wisaka sambil mendekati Faruq lantas berjongkok melihat aktivitasnya.
"Iya, di sungai itu banyak ikan, dan anehnya ikan datang menghampiri seperti mau ditangkap," ujar Faruq.
Tiba-tiba Wisaka teringat Leli, bukankah sekarang ikan termasuk keluarganya kini? Wisaka tidak akan tega untuk memakannya. Wisaka beranjak meninggalkan Faruq.
"Hai, mau kemana? Sebentar lagi mateng ikannya," tanya Faruq.
"Sudahlah, itu buat kamu saja, biar aku mencari ubi atau buah-buahan saja, ayo Onet," ajak Wisaka kepada Onet.
Faruq heran dengan sikap Wisaka, tadi dia begitu antusias dengan ikan bakar, tapi setelah mau mateng malah pergi tak mau makan.
" Ya sudah, kalau gak mau aku habiskan, yo!" teriaknya.
Wisaka mengangkat tangannya tanpa menoleh, pertanda setuju. Faruq, pria dengan sedikit kelebihan berat badan itu kesenangan mendapatkan rezeki nomplok, tidak usah berbagi dengan orang lain. Ia makan dengan lahap. Saat sudah habis setengah ia teringat dengan cerita Wisaka semalam.
"Eh, ikan ini ... apakah ini ikan sil ...?" Faruq bertanya kepada dirinya sendiri tanpa meneruskan bicaranya.
Faruq bergidik ngeri, badannya yang subur bergoyang-goyang. Hampir saja makanan yang baru masuk itu keluar lagi.
"Brrr ...brrr ...." Ia mengeluarkan suara sambil mengedikan bahu. Dibungkusnya ikan yang tinggal separuh, berencana untuk dibuang di luar gua, sambil mencari Wisaka.
"Sialan, bagaimana kalau ikan itu keluarga Leli." Faruq menggerutu sendiri.
"Itu bukan keluargaku, aku sengaja mengirimkannya untuk makanan suamiku." Satu suara terdengar halus di telinga Faruq.
Faruq terlonjak kaget, karena tidak ada siapapun di sana. Akhirnya dia berlari tunggang langgang dengan perut buncitnya yang berayun-ayun.
"Hiii, tolong jangan ganggu aku, aku bertobat, gak lagi-lagi makan ikan," kata Faruq sambil terus berlari terbirit-birit. Pemuda itu mendengar suara tawa di telinganya.
"Tawa siapa itu?" tanya Faruq sambil terus berlari.