webnovel

chapter 2 indetitas yang tersembunyi"Rose sang violis"

Gwen kembali

memperlihatkan video Miss Black

kepada Rose.

"Miss Black tidak pernah

memperlihatkan wajahnya di

video. Yang terlihat hanya bagian

pundak ke bawah. Tapi justru sisi

misteriusnya ini yang membuat

orang-orang semakin penasaran."

"'Sepertinya kamu salah satu

penggemar Miss Black, Gwen.

"lya. Aku berharap suatu hari

bisa menguak identitas Miss Black

yang sebenarnya.

Dering ponsel Rose

menghentikan obrolan mereka.

Gwen melirik sebentar dan melihat

nama "Daddy" muncul di layar ponsel Rose.

"Itu dari ayahmu, Rose?" tanya

Gwen penuh selidik.

"Aku lang duluan Gwen.

Nanti aku akan menelponmu," kata

Rose melambaikan tangannya.

Gwen mengerutkan kening

melihat sikap aneh. Rose. Setiap

kali ada panggilan dari "'si Daddy",

Rose selalu buru-buru pergi. la

penasaran apakah ayahnya Rose

seorang pria yang sangat galak

sehingga putrinya sampai

ketakutan.

Sembari memastikan tidak

ada orang yang mengikutinya,

Rose berjalan menuju ke parkiran.

la membuka pintu mobil lalu

menerima panggilan tersebut.

"Ada apa, Daddy?" tanya Rose.

"Nona, Anda ada dimana sekarang?"

ende gar suara pria yang

sudah akrab di telinganya

membuat Rose tersenyum.

Selama tujuh tahun terakhir,

Denzel tak henti

memperhatikannya. Pria itu tidak

hanya bertindak sebagai wali tapi

juga setia menjadi mentor dan

pelindungnya.

Denzel sangat protektif

terhadap Rose. Walaupun pelaku

pembunuhan Louis Brown telah

dipenjara, Denzel yakin jika supir

pribadi Louis bukanlah pelaku

sebenarnya. Kemungkinan besar

sang dalang pembunuhan justru

masih berkeliaran dengan bebas di

luar.

Denzel juga mengajari Rose berbagai macam hal tentang dunia

properti sendiigu's menjalankan

perusahaan dengan baik.

Sedangkan Rose hanya

diperbolehkan bekerja di belakang

layar. Tidak ada satu pun

karyawan maupun manajer yang

mengenali Rose sebagai pemilik

Brown Group.

Denzel adalah pengganti

sosok ayah bagi Rose. Karena itu

Rose memanggilnya dengan

sebutan Daddy. Denzel pun tidak

keberatan dipanggil seperti itu

meskipun ia lebih pantas menjadi

kakak Rose. Rose merasa sangat

beruntung memiliki Denzel di

sisinya. Apalagi pria itu

mengabaikan kehidupan

pribadinya sendiri demi

melaksanakan amanat ayahnya.

Hingga kini Denzel belum menikah maupun terlihat menggandeng

Vseorang kekasih.

ANC 9ih di kampus,

sebentar lagi akan pulang.

"Jangan lupa makan siang,

Nona. Sudah membaca proposal

perumahan Lancewood?"

"Sudah. Aku menyukai

konsepnya. Aku setuju jika kita

memulai proyek pembangunannya

bulan depan."

"Kalau begitu nanti malam

saya akan ke rumah Nona untuk

mengambil proposal. Sekalian

mengantarkan dokumen

kesepakatan dengan Grand Corp.

Nona harus menandatanganinya

sebelum hari Kamis."

"Tidak perlu. Besok aku akan datang ke kantor setelah

mengikuti audisi biola. Aku

merindıkan suasana kantor."

Rose mengatakan itu dari

lubuk hatinya. Terkadang ia sangat

merindukan kantor Brown Group

karena disitulah tersimpan banyak

kenangan ayahnya. Di ruangan

CEO, Rose bisa melihat foto-foto

sang ayah dan beberapa benda

kesayangannya. Meskipun Rose

harus menyamar, itu tidak

masalah baginya.

"Nona, Anda harus

berhati-hati jangan sampai...."

"lya, aku mengerti. Aku akan

menyamar seperti biasanya.

Jangan lembur lagi hari ini, Daddy.

Sampai jumpa besok di kantor,"

ucap Rose menutup telponnya.Kompleks pemakaman Saint

Lorenz tampak lengang di sore

hari. Seorang pria muda berjalan

memasu. gerbang sambil

membawa buket mawar merah. la

sengaja memakai topi dan

kacamata hitanm untuk

menyamarkan wajahnya. Yah, dia

tidak ingin memancing

pemberitaan di media jika sampai

ada orang yang mengenalinya.

Pria itu berhenti di sebuah

nisan berwarna putih. Pusara yang

terbuat dari granit itu tampak

bersih dan terawat. Di atas batu

nisan tertulis sebuah nama

dengan tinta emas, Jessica

Brown. Pria itu bersimpuh lalu

meletakkan bunga mawar yang

dibawanya.Sejenak ia diamn tak bergerak,

seolah merenungi sesuatu.

"Mama, besok aku akan

kembali. Sebenarnya aku tidak

inginm inggalkan kota ini, tapi

aku sudah berjanji akan

melaksanakan pesan terakhir

Mama. Aku tidak akan

membiarkan anak dari

selingkuhan Papa menguasai

harta keluarga Brown. Bila perlu

aku akan membalas perbuatan

ibunya yang sudah membuat

Mama menderita."

Pria itu memanjatkan doa

dengan tulus. Dengan berat hati, ia

meninggalkan makam ibu

angkatnya dan berjalan

meninggalkan area pemakaman.

Setelah sampai di mobil, pria

itu mengambil ponselnya. la

menghubungi pelayan setianya sebelum kembali ke apartemen.

"Sam, apa semua baju dan

barang-barangku sudah

dimasu

e dalam koper?"

"Sudah, Tuan Muda."

"Bagus. Jam enam pagi aku

harus berangkat ke bandara. Aku

pergi dengan penerbangan

pertama. Tolong persiapkan

semua keperluanku. Jangan ada

yang tertinggal."

"Baik, Tuan Muda."

Pria itu mengakhiri

panggilannya. Berikutnya jari

jemarinya berselancar dengan

lincah di dunia maya. la sedang

mengumpulkan berita dan artikel

mengenai pewaris utama Brown

Group. Pasalnya hingga kini ia tidak pernah muncul di publik.

Para relasi bisnis pun belum

pernan biap muka dengan

wanita ini karena semua urusan

diwakilkan kepada asistennya.

Mereka hanya mengenalnya

sebagai Miss Black.

Seulas senyum dingin

tercetak di bibir pria itu.

Memperlihatkan lesung pipit yang

menghiasi paras tampannya.

"Mungkin kamu bisa

bersembunyi dari dunia. Tapi

kamu tidak akan lepas dari

tanganku. Kita lihat sampai berapa

lama kamu bisa bersembunyi

dariku, Miss Black,"

gumam pria itu mengepalkan Ruang audisi sudah dipenuhi

oleh para peserta. Rose

memandang ke kiri dan ke kanan,

mercartnat duduk yang masih

kosong.

"Rose sebelah sini," teriak

seseorang memanggilnya.

Rose berpaling dan melihat

gurunya, Mr. Robert, duduk di

deretan bangku nomor tiga dari

belakang. Di sebelah Mr. Robert

ada seorang gadis berbaju merah.

Gadis itu tak lain adalah Anneth.

Entah mengapa Anneth muncul di

acara audisi. Yang jelas

kehadirannya pasti memiliki tujuan

tertentu.

"Maaf, Mr. Robert, saya

terjebak kemacetan," kata Rose

meletakkan tas biolanya di bawah

kursi."Aku kira kamu tidak akan

datang, Rose," sindir Anneth.

AU

ya baru dimulai

sekitar lima menit lagi. Apa kamu

sudah mempersiapkan diri, Rose?

Aku yakin lagu Vivaldi tidak sulit

untukmu."

"lya, saya sudah berlatih

semalam. Semoga penampilan

saya tidak mengecewakan.

Tak berselang lama, dewan

juri duduk di kursi masing-masing.

Pembawa acara mulai memanggil

peserta audisi untuk bersiap di

belakang panggung. Anneth bisa

menangkap bias kecemasan di

wajah Rose dan itu membuatnya

senang.

"Mr. Robert, saya harus ke

belakang panggung sekarang.Saya mendapat nomor urut

sepuluh," pamit Rose.

"Bersenmangatlah, Rose," ucap

nberikan dukungan.

Mr. Rober

Anneth berdiri dan

membisikkan sesuatu pada Rose.

"Hati-hati, Rose. Sainganmu

adalah para senior. Jangan

sampai kamu gugup dan

melakukan kesalahan di atas

panggung."

"lya," jawab Rose singkat.

Berdiri sambil menantikan

giliran, membuat detak jantung

Rose naik turun bagai roller

coaster. Ini adalah pengalaman

pertamanya tampil di hadapan

umum. Ditonton langsung oleh

sekian pasang mata memberikan

tekanan tersendiri bagi Rose. Tapi

ia tidak bisa mundur.Bagaimanapun ia harus mampu

meng rasa gugupnya.

"Peserta nomor sepuluh,

Nona Rose Carter."

Rose menarik nafas

dalam-dalam. Bermodalkan

keyakinan, Rose membawa

biolanya ke atas panggung. la

mengucapkan salam kepada

dewan juri kemudian mulai

menggesek senar biolanya.

Alunan Concerto in A Minor

terdengar memenuhi seluruh

ruangan. Dengan lincah jemari kiri

Rose bergantian menahan senar,

sementara tangan kanannya

menggerakkan bow secara teratur.

Sungguh lagu yang dimainkan

Rose mengalun sempurna.

Temponya juga sangat pas sehingga membuat penonton

terhanyut dalam permainan

biolanya

Dari kursinya, Anneth

membelalak tak percaya. Ila tidak

mengira Rose memiliki

kemampuan sehebat itu sebagai

violinis pemula. Bahkan ia bisa

menandingi keahlian para

seniornya.

Tepuk tangan penonton

membahana usai Rose

menyelesaikan lagunya. Mr.

Robert sampai berdiri dari

duduknya karena bangga atas

penampilan Rose.

Berbanding terbalik dengan

yang dialami Anneth. Rencana

yang telah disusunnya gagal total.

Justru ia melakukan kesalahan

besar dengan mendaftarkan Rose ai pe a audisi. Kini Rose

sebagai

malah mendapat apresiasi dari

semua orang. Dan lebih parahnya

lagi, ia bisa terpilih oleh dewan juri

untuk mengikuti konser.

"Shit! Aku tidak akan

membiarkan Rose berada di atas

angin. Aku akan mencari cara lain

untuk mempermalukannya," batin

Anneth kesal.

Rose baru selesai mandi dan

mengganti bajunya dengan setelan

blazer. la butuh menyegarkan diri

setelah melewati proses audisi

yang menegangkan. Namun ia

bersyukur karena semua usahanya

tidak berakhir sia-sia. Impiannya

mengikuti konser besar akan

erwujud dalam waktu dekat."Rose, keluarlah. Tuan Denzel

mencarimu," seru Lily mengetuk

kalar Rose.

pintu

"lya, Auntie, aku segera turun.

Rose menyisir rambutnya lalu

bergegas menuruni tangga. Tidak

biasanya Denzel mengunjunginya

di sore hari kecuali ada masalah

kantor yang mendesak.

Setengah berlari, Rose menuju

ke ruang tamu. Ingin sekali

rasanya dia berbagi kebahagiaan

dengan Denzel.

"Daddy, kenapa kesini? Aku

baru saja akan berangkat ke

kantor. Maaf jika aku terlambat

karena aku menunggu

pengumuman hasil audisi," jelas

Rose.

"Saya ingin menjemput Nona.Saya pikir Nona pasti lelah jika

harus menyetir sendiri sehabis

mengikutidisi."

"Aku tidak selemah itu, Daddy.

Jangan meremehkanku. Sekarang

aku sudah menjadi wanita

dewasa, bukan anak-anak lagi."

"Bagaimana hasil audisinya,

Nona?" tanya Denzel penuh

perhatian.

"Aku lolos audisi dan terpilih

mengikuti konser," ujar Rose

kegirangan.

Tanpa sadar, Rose

menghambur ke pelukan Denzel.

Tindakan Rose yang tiba-tiba

membuat Denzel terkesiap, namun

ia membiarkan gadis cantik itu

nyaman dalam dekapannya.

Rose yang menyadari kelakuannya menjadi malu. la

melepaskan diri dari Denzel

sambil meminta maaf.

"Maaf, Dad, aku terlalu

gembira sehingga bersikap

kekanak-kanakan."

Tidak apa-apa, Nona.

Bagaimana kalau nanti kita makan

malam bersama untuk merayakan

keberhasilan Nona," tanya Denzel

mencairkan suasana.

"Baiklah, aku setuju, Daddy,"

ucap Rose tersenyum.

Denzel mengalihkan

pandangannya dari Rose. Menatap

gadis itu terlalu lama tidak akan

baik untuk dirinya.

"Mari Nona kita berangkat ke

kantor," ujar Denzel mendahului

Rose.Rose keheranan dengan sikap

Denzel yang mendadak berubah

dingin.

"Apa dia marah karena aku

memeluknya?" pikir Rose merasa

tidak enak hati.Rose mendengarkan musik

klasik deiearphone sepanjang

perjalanan menuju kantor. la tidak

ingin mengatakan sesuatu yang

akan menyinggung Denzel. Rose

ingin hubungannya dengan pria itu

tetap hangat layaknya kakak dan

adik.

Sementara Denzel lebih

memilih fokus pada kemudinya. la

berusaha mempercepat laju mobil

agar segera tiba di tempat tujuan.

Sungguh baru kali ini suasana

terasa sangat canggung bagi

mereka berdua.

"Nona kita sudah sampai,"

kata Denzel masuk ke area parkir.

Rose mengangguk kecil

sambil melepas earphone dari

telinganya. la menunggu Denzel

selesai memarkirkan mobil lalu

mereka keluar bersama."Daddy, nanti tolong bawakan

laporan perkembangan proyek

apartemen Raffles Tower. Aku

ingin memeriksanya."

"Baik, Nona."

Sebenarnya Rose ingin

sesekali mengunjungi lokasi

proyek untuk melakukan

peninjauan secara langsung,

namun Denzel melarangnya. la

tidak ingin kehadiran Rose terlalu

mencolok dan mengundang

kecurigaan di kalangan pekerja.

Rose memakai kaca mata

minusnya lalu mengikuti Denzel

memasuki gedung Brown Crop.

Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Denzel

mengucapkan salam kepada

asisten CEO tersebut. Mereka tahu

bahwa pria inilah yang sekarang

berkuasa menjalankan

perusahaan. Sedangkan untuk

Rose, mereka tidak terlalu

menghiraukannya. Gadis itu jarang

sekali terlihat di kantor. Dari

penampilannya yang biasa saja,

mereka mengira Rose sekedar

karyawan magang atau staf level

bawah yang akan dipekerjakan

Denzel.

Denzel mendahului Rose

masuk ke dalam lift khusus CEO.

la menekan tombol angka sepuluh

lalu bersandar pada dinding lift.

Lift merayap dengan lambat ke

atas hingga terdengar suara

berdenting.Denzel mendahului Rose

keluar dari lift dan berjalan

menyusuri koridor. Mereka

berhenti di sebuah pintu kayu

besar dengan plakat emas. Denzel

mengeluarkan kunci dari sakunya

lalu membuka pintu tersebut untuk

Rose.

"Silakan, Nona."

Ruangan besar itu terbagi

menjadi dua. Satu ruangan yang

luas untuk Rose dan di sebelahnya

terdapat ruang kerja yang dipakai

Denzel. Telpon di kedua ruangan

itu pun tersambung untuk

memudahkan mereka

berkomunikasi.

"Saya ambilkan dulu berkas

yang Nona butuhkan."

"lya, terima kasih. Aku akan memeriksa laporan keuangan,"

kata Rose menutup pintu.

Sebelum bekerja, Rose

memandang foto ayahnya yang

ada di nmeja. Tak terasa matanya

berkaca-kaca. Setelah penantian

sekian lama ia baru mengetahui

siapa ayah kandungnya ketika

maut telah menjemput. Sungguh

miris. Rasanya ingin sekali bisa

memeluk Louis Brown dan

memanggilnya "Daddy".

Melepaskan kerinduan akan sosok

ayah sebagai tempatnya

bersandar. Sayang sekali semua

itu tinggallah impian.

Rose meletakkan foto itu dan

memilih tenggelam dalam

pekerjaannya. Memeriksa banyak

laporan memberikan tantangan

tersendiri bagi Rose hingga ia lupa

waktu. Mungkin sifat ini diturunkan oleh mendiang

ayahnya yang terkenal sebagai

pria pekerja keras.

Karena terlalu asyik bekerja,

Rose sampai tidak menyadari jika

Denzel telah masuk ke

ruangannya. Pria itu meletakkan

tiga buah file di meja. la duduk di

hadapan Rose sambil

memperhatikan ekspresi wajah

gadis itu.

"Ada yang ingin Nona

tanyakan?"

Rose menggeleng pelan.

"Belum ada. Aku justru ingin

berterima kasih karena laba

perusahaan kita meningkat dua

kali lipat dibandingkan trwilan

sebelumnya. Oh ya, ini surat perjanjian dengan Grand Corp

yang sudah aku tanda tangani,"

ujar Rose menyerahkan dokumen

ke tangan Denze.

"Sebentar Nona, ada telpon

masuk."

Dengan cepat Denzel

mengangkat gagang telpon di

ujung meja Rose.

"Halo, Eve, ada apa?"

Denzel terdiam beberapa saat,

mendengarkan apa yang

disampaikan oleh sekretarisnya.

Mimik wajahnya berubah serius

seolah mendapatkan berita yang

sangat penting.

"Baik, aku akan

menyambutnya," kata Denzel

menutup telpon.

"Daddy, apa yang terjadi?"

tanya Rose mencari tahu."Nona, Tuan Max dari Grand

VCorp datang untuk meminta surat

kontrak kerja sama. Saya akan

menemuinya dulu."

"Baik, Daddy, temui saja Tuan

Max. Pekerjaanku disini masih

banyak. Tidak perlu mencemaskan

aku."

"Saya permisi dulu, Nona."

Dengan langkah lebar, Denzel

membawa dokumen di tangannya

lalu melangkah pergi.

Rose kembali memusatkan

perhatiannya pada pekerjaan.

Namun konsentrasinya terpecah

karena mendengar dering telpon

untuk kedua kalinya.

Semula Rose merasa ragu

tapi akhirnya ia menerima panggilan tersebut.

"Halo, Brown Group, selamat

siang," sapa Rose ramah.

"'Selamat siang, siapa ini? Apa

Tuan Denzel ada?" terdengar suara

merdu Trisha, resepsionis kantor

Brown Group.

"Saya Rose, sekretaris

magang. Tuan Denzel baru saja

turun untuk menemui perwakilan

Grand Corp," jawab Rose tenang.

la telah terbiasa menggunakan

identitas sekretaris sebagai

bentuk penyamaran di kantor milik

ayahnya.

"Maaf, Nona Rose saya hanya

ingin memberitahukan bahwa di

bawah ada pria bernama Luke

Brown. Dia memaksa ingin

bertemu dengan Miss Black dan

Tuan Denzel. Saya tidak bisa mencegahnya naik ke lantai

sepuluh karena dia mengaku

sebagai putranya Tuan Louis."

"Luke Brown?" tanya Rose

mengernyitkan dahi.

Wajah Rose memucat. Denzel

pernah mengatakan bahwa

ayahnya mengadopsi seorang

anak laki-laki dari panti asuhan,

karena istri sahnya tidak dapat

memberikan keturunan.

Mungkinkah Luke yang datang ini

adalah anak angkat ayahnya? Tapi

selama ini Luke tidak

mempedulikan bagian harta yang

diwariskan kepadanya. Bahkan

Rose belum pernah sekalipun

bertemu dengan pria itu. Kenapa

sekarang Luke tiba-tiba

mencarinya setelah tujuh tahun.

Bersambung...