webnovel

Imperfect Boyfriend

TAMAT. Proses Revisi. Clarissa Annabelle ditakdirkan hidup dalam kesedihan. Kedua orang tuanya berpisah sehingga tidak ada lagi rumah untuknya mendapat kasih sayang. Ketika waktu mempertemukan gadis itu dengan seorang lelaki dewasa, Annabelle merasa sangat nyaman. Mereka menjalin hubungan meskipun terpaut umur cukup jauh, hingga takdir kembali mempermainkan perasaannya saat Dhani menikahi wanita lain. Annabelle berusaha mencari kebahagiaan dengan meninggalkan semua orang yang telah melukainya, mencari kisah baru dan berharap ada sedikit kebahagiaan untuknya. ~ Cover by Mendystxxx. FB: Ikka Fahrie IG: Ikka Fahrie

Ikka_Fahrie · 若者
レビュー数が足りません
219 Chs

Dekapan Dirga

Ketukan langkah seseorang yang memasuki ruang rawat Abel membuat Lia terbangun. Hari sudah pagi dan saatnya suster mengecek kondisi Abel.

Diliriknya jam dinding yang telah menunjuk pukul setengah tujuh, beruntungnya hari Sabtu adalah hari libur di sebagian sekolah menengah pertama termasuk SMA pusaka. Lia kembali memejamkan mata ketika suster dan Abel sedang berbicara tentang perkembangan kondisinya.

Tidak lama setelah selesai dengan pemeriksaan rutin, suster akhirnya keluar. Lia segera beranjak dari sofa, lalu duduk di kursi lipat dan melihat raut wajah Abel yang menekuk.

Sekalinya helaan napas terdengar cukup berat dari mulut gadis itu. Suster bilang kondisinya cukup membaik dan boleh meminta izin dokter supaya bisa pulang secepatnya.

Namun, Abel justru kebingungan terkait biaya rumah sakit selama dua hari dua malam itu. Tanpa uang dari Dani, tentu ia tak bisa berbuat apa-apa. Siapa peduli jika Abel tidak makan sekalipun? Dani-lah yang selama ini membiayai keseluruhan kebutuhan hidupnya.

"Soal biaya rumah sakitnya, gue masih ada uang simpanan kok, Bel," ucap Lia lirih.

Abel langsung menatapnya, terlihat mata nan jernih itu berkaca-kaca. "Nanti lo gimana mau jajan? Gue yakin buat rawat inap ini pasti banyak," kata Abel.

"Gue sih masih dapat transferan dari bokap tiap minggu. Lo pakai dulu-lah, kayak sama siapa aja," sahut Lia mencoba mencairkan suasana.

Tanpa ada penolakan lagi, Abel langsung mengangguk pelan dan mengalungkan kedua lengannya pada leher Lia.

"Gue bakal ganti kalau Dani udah transfer. Dia mungkin lupa enggak transfer kemarin karena buru-buru balik ke Surabaya," batin Abel berbicara.

"Mandi sana, acem …," ejek Abel setelah berhasil menguasai diri dari air mata.

"Dih, emang situ enggak asem? Dua hari lo 'nggak mandi, tahu?" celetuk Lia seraya memasang ekspresi mengesalkan.

"Gue kalau mandi, harumnya sampai ke Dani yang ada di Surabaya. Makanya gue jarang mandi, takut dia 'nggak bisa nahan kangen," kata Abel dengan percaya diri.

Tentu saja mereka berdua tergelak, sampai akhirnya Lia memutuskan kembali ke rumah kost untuk membersihkan diri dan mengambilkan baju ganti untuk Abel.

Ruangan Seruni yang hanya ia tinggali sendiri itu terasa sangat sepi setelah kepergian Lia. Abel bosan berada di atas brankar, lalu memutuskan turun untuk sejenak berjemur di balkon kamar.

Kebetulan mentari pagi mulai menyinari sisi kamar tersebut, membuat Abel merasakan hangatnya pada seluruh tubuh setelah membuka pintu balkon.

Cukup lama ia berdiam diri di sana, sambil memandangi birunya langit berhias gumpalan-gumpalan awan serta kicauaan burung yang menjadi penghibur.

Tiba-tiba saja ucapan Lia kemarin terlintas lagi dalam ingatannya. Usia Dani memang sudah matang. Andaikan dia memang akan menikah dengan orang lain, itu pantas saja.

Abel sadar, dia hanya anak SMA yang masih bau kencur.

"Tapi gimana kalau Dani beneran nikah? Padahal selama mama sama papa pisah, dia yang udah biayain hidup gue. Nanti gimana gue bayar sekolah kalau 'nggak ada Dani? Hiks …." Pada akhirnya air bening tak kuasa ia tahan.

Abel menekuk lutut, memeluknya dan menenggelamkan wajah di balik lipatan tangan. Menangis sesenggukan hanya seorang diri.

Selain mengkhawatirkan biaya hidup, ia juga takut merasakan sakit hati untuk kesekian kalinya. Perpisahan kedua orang tuanya cukup menorehkan luka yang dalam, seakan ia tak sanggup harus menghadapi dunia tanpa seorang Dani yang telah menjadi penyemangat.

Sedangkan di dalam kamar, Dirga melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Brankar yang Abel tempati kosong.

"Ke mana Abel?" tanyanya dalam hati.

Dia lantas melihat pintu menuju balkon yang terbuka. Menduga-duga saja mungkin Abel sedang di sana. Dirga pun menaruh bingkisan berisi buah-buahan sebagai buah tangannya di atas loker. Kemudian, mengayunkan langkah menuju balkon.

Seketika cowok itu mengernyitkan dahinya kala melihat gadis bertubuh mungil tengah terduduk di lantai. Isak lirihnya membuat Dirga segera merengkuh tubuh itu, membawanya dalam dekapan.

"Bel, lo kenapa?" tanya Dirga seraya mencoba meraih dagu Abel.

"Bel?" Ia masih mencoba mencari tahu penyebab kesedihannya.

Namun, isakan Abel justru berubah menjadi tangis pilu. Semakin terdengar memilukan dan banjir air mata. Dirga tidak tahu apa permasalahannya, tetapi ia berharap Abel segera menyudahi kesedihan itu. Perlahan mengusap punggung ringkih berbaju piama milik rumah sakit, serta menuntun kepala Abel supaya bisa ia sandarkan pada dadanya yang bidang.

"Nangis aja, luapkan sampai lo merasa baikan. Nanti bilang ke gue kalau udah siap," kata Dirga menenangkan.

Meskipun tak senyaman pelukan Dani, tapi perlakuan hangat Dirga mampu mengurangi rasa sedihnya. Abel mencoba mengendalikan hati yang terasa sakit itu, mencoba mengangkat wajah yang kemerahan dan berderai air mata.

Malu. Tentu saja itu yang Abel rasa setelah menyadari bahwa ia baru saja menangis di depan teman sekolahnya. Bahkan teman yang baru saja akrab beberapa hari ini.

Sementara Dirga sibuk menyibakkan rambut yang tidak beraturan menutupi wajah Abel, menatapnya penuh kelembutan dan mengulum senyum. Berharap Abel berhenti menangis, secepatnya.

Detik itu juga, Abel memeluk kembali Dirga setelah saling tatap. Hatinya semakin berdenyut sakit mengingat bukan orang tua yang menjadi sandaran, akan tetapi orang lain.

Bersamaan datangnya Lia, ia melihat cowok yang ditaksir tengah memeluk sang sahabat. Gadis itu berdiri di tengah pintu dengan rasa cemburu. Tersenyum getir menyaksikan adegan peluk-pelukan itu yang tanpa sadar menggerus hatinya.

Beberapa saat Lia sengaja mendekat, membuat Abel dan Dirga sadar akan kehadirannya.

"Lo kenapa?" Lia menyentuh bahu Abel. Kemudian berdiri dengan lututnya, menyeimbangi mereka berdua.

Pelukan Abel beralih pada Lia dan kembali menangis di sana. Dia tahu, sahabatnya itu pasti paham apa yang membuat ia sedih. Lia terdiam sambil terus menepuk pelan-pelan pundaknya, dan sesekali mengarahkan tatapan pada Dirga.

"Udahan sedihnya, yuk. Kita masuk. Kita sarapan bareng-bareng," ucap Lia di sela suara sesenggukan Abel.

Dirga berdiri terlebih dulu, lalu meraih lengan Abel untuk membantunya beranjak. Setelah itu mereka berdua melangkah masuk, diikuti Lia yang menahan desiran aneh dalam dadanya. Perasaan aneh yang muncul ketika melihat Dirga memeluk Abel.

Semuanya kini sudah duduk di sofa. Lia membuka kantong plastik berisi sekotak roti bakar yang masih terasa hangat. Ia sengaja membeli roti bakar dengan isian coklat kacang kesukaan Abel, juga nasi beserta lauknya.

"Habis makan roti bakar ini, Lo pasti bisa ketawa lagi," ujar Lia seraya menyodorkan kotak rotinya pada Abel.

Lesung pipit muncul di sudut bibir Abel demi menghargai usaha Lia untuk menghiburnya. Dia lantas mengambil satu potong roti itu, lalu menggigitnya dan beruaaha menikmati meskipun yang ada adalah rasa pahit di dalam mulutnya.

Lia juga membagi kepada Dirga, cowok itu tampak sangat menikmati. Suasana terlihat mulai membaik kala mereka makan seraya bercanda. Mengundang senyuman seorang Clarissa Annabelle.

**

Hari itu juga Abel dibolehkan pulang atas izin dokter. Dia menggunakan uang Lia untuk biaya perawatannya. Hari-hari berjalan normal seperti biasa, bersekolah, jalan-jalan dan bermalas-malasan di rumah kost.