webnovel

I Love My Best Friend Papi

Anjani Cua Kim berkerja di Perusahaan milik Hartono Wijaya Kuncoro. Cua biasa disapa oleh putrinya Dani akhir akhir ini menarik perhatiannya. Kedekatan mereka membuat Cua memiliki rasa yang berbeda dengan pria mapan berusia 48 tahun itu. Lebih cocok di panggil Papa dari pada dipanggil sayang atau Mas. Tapi perasaan itu muncul setelah Cua mengabdikan diri selama 8 tahun bekerja di Perusahaan Hartono. Bagi Dani, lebih baik Papinya menikahi Cua dari pada menikahi sahabatnya Luna yang tidak jelas anak siapa yang dia kandung, batin Dani. "Tapi bagaimana dengan Randy?" Bisik Cua. Mereka tidak memiliki perasaan, tapi memiliki sebuah komitmen untuk menunggu usia mereka 26 tahun. Kini usia mereka sudah 26 tahun, tapi Randy tidak pernah memberi kejelasan pada Cua tentang satatus hubungan mereka, bahkan Randy menghilang dari peredaran kota. Dani selalu menggoda sahabatnya, memanggil dengan sebutan Mama, dan lain sebagainya. "Bagaimana dengan Tante Widya, Dani? Aku nggak mau jadi perusak hubungan Om dengan Tante." Ucap Cua pada Dani. "Mami enggak akan marah! Buktinya sudah sekian lama mereka berpisah ko, mereka hanya sibuk dengan dunia mereka sendiri." Tegas Dani meyakinkan Cua. Hartono menikahi Cua disalah satu desa, ternyata Randy lah penghulunya. "Bagaimana ini? Kenapa cinta masa lalu ku menjadi penghulu?" Batin Cua. Penantian Cua ternyata pupus sudah... begitu beratnya Randy menerima kenyataan bahwa cinta masa mudanya harus menikah dengan ayah sahabatnya sendiri. "Bagaimana dengan perasaan mu pada ku Cua?" Tanya Randy. "Hmmm, aku pernah berharap lebih pada mu. Tapi aku kecewa Ran! Maafkan aku!" Tegas Cua. Mereka akhirnya berpisah dan benar benar menghapus kenangan masa dulu demi bahagia bersama Hartono.

Tya_Calysta_4310 · ファンタジー
レビュー数が足りません
4 Chs

Mevaaah

Hartono memanggil putrinya. Dani masuk dengan wajah datar tanpa senyum. "Gimana Pi?" Dani menduduki sofa disamping Hartono menghadap Cua.

"Oke, semua sudah beres, silahkan temani Cua membeli baju kerjanya." Hartono berdiri menuju mejanya.

Cua terus mencubiti dirinya, apa ini mimpi? apa ini hanya ilusi hingga membuatnya setengah sadar.

"Cua.... hei... Cua..." Dani memanggil Cua, kerena Cua tidak menyahut juga, Dani melempar Cua dengan tisu yang ada digenggamannya.

"Eeeeh... iiiii... iya... sory, spechles aku." mengusap wajah polosnya dengan kedua tapak tangan.

"Hmmm... boleh aku ke toilet dulu?" izin Cua.

"Silahkan." sambut Hartono, mengarahkan tangan kearah toilet ruangannya.

Dalam toilet Cua melihat M-bankingnya. "Ooooh my God, mereka serius." batinnya. Cua mencuci wajahnya di wastafel menatap cermin. "Mimpi apa aku kemaren? this is real my job." berkali-kali mengusap wajahnya. Cua menarik nafas dalam mengatur langkahnya saat keluar dari toilet. "Hmmm... kita jalan sekarang?" pinta Cua.

"Mau kemana?" tatap Dani dingin.

"Ehmmmm... tapi mau ke apartemen kamu." senyum Cua.

"Habis itu kita langsung ke butik. Papi meminta gue nemenin lo, buat rubah penampilan lo, besok hari pertama lo kerja." Dani mengambil tangan Cua berlalu meninggalkan ruangan Hartono.

"Hmmm... sebentar." Cua melepas genggaman putrinya, mengarah ke Hartono memberi hormat.

"Om... terimakasih, saya pamit, besok saya akan hadir tepat waktu." tunduk Cua berharap Hartono akan menjawabnya.

"Hmmmm..." Hartono hanya memandang laptopnya, tanpa memperdulikan Cua.

"Permisi om." tunduk Cua hormat.

Dani kembali menarik tangan Cua, menutup pintu ruangan dengan pelan.

"Saya permisi mba." ucap Cua pada Laras.

"Ya dek, hati-hati mas Dani." kekehnya.

Dani dan Cua berlalu meninggalkan ruangan tiap ruangan yang ada di lantai kantor Hartono, beberapa kali Cua melihat tabloit terpajang jelas wajah pengusaha sukses 'Hartono Wijaya Sukoco.'

'Siapa Dani ini?' batin Cua.

"Lo lihat apa seeeh." tanya Dani saat didalam lift.

"Siapa seh kamu? kok santai banget, trus Papa kamu kayaknya sangat peduli padamu." Pertanyaan bodoh Cua yang seharusnya tidak dipertanyakan.

"Papi... bukan Papa." tegas Dani.

"Iya Papi." jawab Cua meluruskan.

"Ya iyalah, gue anak semata wayang, tentu dia peduli." jawab Dani sarkas.

"Hmmmm... aku tau, tapi kenapa kamu kayaknya nggak peduli dengan semua ini." Cua berwajah bingung.

"Heiii... gadis lugu, jadi gue mesti gimana mau lo? mau happy-happy, jingkrak-jingkrak, trus ngedrugs, ngabisin duit keluarga gue, atau jadi simpenan?" wajah Dani berubah ingin tersenyum tapi ditahan.

"Yaaaah... nggak gitu, sayang aja, kalau kamu hanya lulus, trus tidur, kenapa nggak kamu kembangkan bisnis orang tua hingga manca negara." kekeh Cua.

"Lo didivisi mana?" Dani mengalihkan pembicaraan Cua.

"Promosi." jujur Cua.

"Ooooh... bareng gue besok jam 7.00 teng kita berangkat, kalau bisa lo pindah keapartemen gue, lebih deket ama kantor." ide Dani mengusap acak rambut Cua.

"Hmmm... temenin gue ke kampus dulu, mengalihkan jadwal kuliah ke malam." jelas Cua mengikuti langkah kaki Dani menuju mobilnya.

"Lo yakin masih mau lanjut kuliah?" tanya Dani tersenyum tipis.

"Yakin." tegas Cua. "Aku nggak boleh ngecewain Papa dan Mama ku." kekehnya.

"Oke... selesai dari kampus kita ke apartemen mami, lanjut ke butik." Dani merangkul bahu Cua.

"Iiiigh... jangan gitu aaagh, risih aku."

Cua melepaskan rangkulan Dani.

"Lo jadi cewek kaku banget seeeh." kesal Dani berlalu deluan menuju mobilnya.

Cua terdiam, kaget melihat kelakuan Dani. "Ya iyalah.... aku normal." ketus Cua.

Seketika langkah Dani terhenti. "Apa... ulangi...!!! gue nggak denger." Dani menatap tajam ke arah Cua, membuat tubuh Cua mundur seketika.

"Ulangi..." sarkas Dani menggema di area basemen.

Cua terdiam, wajah mereka saling tatap dan kaku.

"Denger yah, lo pikir gue suka dengan situasi ini??? haaaah??? gue bilangin sama lo, gue bantu lo, ikhlas, dan gue mau jadi temen lo, apa susahnya lo berteman ama gue, haaaaaah???"

Dani membentak Cua.

Cua terdiam menatap gerak bibir Dani. 'Kok marah yah???' batin Cua. "Hmmm... yaah maaf." Cua mendorong perlahan dada Dani, merasa sudah sangat dekat tubuh itu, membuat Cua jadi rasa-rasa gimana gitu... 'oooh my God, gini amat cewek satu ini kerasnya.' batinnya lagi. "Nggak perlu teriak-teriak juga, aku nggak budek." kekehnya sambil menutup bibirnya.

"Lo ngerjain gue?" sinis Dani.

"Udah aaah... jangan emosi-emosi, ntar ganteng kamu ilang." Cua membalikkan tubuh Dani agar terus berjalan menuju mobilnya.

Diperjalanan mereka saling diam. Dani mengantarkan Cua ke kampus, untuk mengalihkan jadwal kuliahnya, mengambil kelas karyawan.

Sangat-sangat membingungkan.

Menambah biaya, karena kuliah malam lebih mahal dibanding kuliah reguler, "hmmmmm."

"Lo ada duitnya?" tanya Dani.

"Ada... tadi dikasih Papa kamu." senyumnya.

"Papi bukan Papa." Dani mengalihkan wajahnya, kearah yang lain.

"Iya." Cua masih lesu.

"Udah beres, kok lesu.?" tanya Dani.

"Banyak biayanya, gimana nggak lesu." wajah Cua berubah sedih.

"Terus, duit lo masih ada kan?"

Dani memastikan Cua akan baik-baik saja.

"Masih, tapi berkurang banyak." rundungnya.

"Ya udah, nanti gue bantuin kalau lo ada keperluan mendadak."

Niat Dani tulus, tapi tidak dengan pemikiran Cua.

"Maksud kamu apaan bantu aku? emang wajah aku susah banget yah?" ketus Cua.

"Setidaknya, muka lo muka miskin, nggak ada senang-senangnya." jawab Dani tegas.

"Biarin, yang penting aku nggak mencuri, nggak nyusahin orang lain, nggak ..."

Cua terdiam.

"Nggak apa? lo kalau ngomong lanjutin donk, jangan setengah-setengah." Dani mulai nyolot.

"Udah ayoook cepet, gue di tungguin mami." Dani menarik tangan Cua, segera meninggalkan kampus.

"Sabar Mas Dani! Aku masukin ini dulu ke tas!" Cua duduk dikoridor menatap Dani berdiri dihadapannya.

Dani menatap layar handphonenya bermain game seperti biasa, Cua kembali ke bagian admin karena ada yang tertinggal. Dani memperhatikan Cua, 'anak ini memang lugu banget, wajahnya masih imut banget, nggak pernah dimacem-macemin cowok! Polos!' Kekeh Dani dalam hati masih lanjut memainkan mobil legent.

"Yuuk!" Bisik Cua menarik lengan Dani.

"Lo bisa nyetir?" Tanya Dani.

"Bisa!" Jawab Cua menghampiri kantin membeli air mineral karena terasa haus. "Kamu mau?" Tanya Cua basa basi.

"Hmm!" Jawab Dani masih fokus pada layar handphone.

Cua membayar dan memberikan satu botol pada Dani. "Nih! Minumlah! Biar fokus lagi kamu mainnya!" Senyum Cua ngeledekin Dani.

Dani mengerenyitkan jidatnya, "makasih yah!" Senyum Dani, memberikan kunci mobil pada Cua.

"Ck, kamu aja deh! Aku nggak tau jalan!" Tolak Cua halus.

"Lo aja, gue lagi fokus main! Ntar tabrakan, repot gue." Kekeh Dani.

"Tapi gue nggak tau jalan bro!" Ucap Cua.

"Mana handphone lo! Biar gue setting mapsnya! Biar lo pintar diJakarta." Kekeh Dani merangkul bahu Cua, walau Cua menolak dia tak peduli.***