webnovel

I Don't Care About Love

Cinta? Satu kata yaitu BUTA! Cinta yang membuat ibuku yang super cerewet dan ayahku yang super dingin bersama. Cinta yang membuat perbedaan agama dipaksakaan untuk bersatu. Cinta yang membuat jarak antar kota atau antar pulau bahkan antar benua terasa dekat. dan Cinta yang membuat sahabatku, orang yang sudahku anggap saudara, bahkan orang yang aku percaya, orang yang gak bakal tega menghianatiku. Dengan tega MENGHANCURKAN KEPERCAYAANKU! Dan kesimpulanku cinta itu BUTA!

Quinwriter · 若者
レビュー数が足りません
184 Chs

Permainan Terakhir

"Assalamualaikum." Aku menatap sekeliling pelataran rumah berwarna abu-abu yang sedang aku kunjungi ini. Sebuah suara seseorang dari dalam rumah terdengar hendak membuka pintu. Aku pun bersiap untuk menyapanya.

Ceklek

"Walaikumsalam," jawab seorang gadis yang keluar dengan memakai dress garis-garis hitam putih, dan rambut curly-nya yang berwarna hitam yang membuatnya semakin terlihat cantik.

"Mau masuk dulu Yun? Atau kita langsung aja?" tanyanya berbasa-basi.

"Langsung aja, Gin." Dia adalah Gina pacar barunya Divo.

Aku pun kembali berjalan pelan menuju mobilku yang terparkir di depan pagarnya. Tak lama ia ikut menyusul lalu masuk ke dalam mobilku dengan duduk di sampingku. "Emangnya yang lain kemana, Yun?" tanya Gina sembari menutup pintu mobil.

"Tauk deh, gue ngajak mereka. Tapi mereka pada sibuk, Gin. Bete gue, mereka diajak pada gak bisa. Untung ada lo Gin. Jadi gua ada temen."

"Kalo butuh apa-apa ajak gue aja. Lagian gue siap membantu. Lo kan sahabatnya pacar gue," tawarnya.

"Ah lo serius?" tanyaku dengan senang hati.

Gina mengangguk semangat. "Dua rius malah," ucapnya sambil membentuk jarinya tanda piss.

"Lo gak cemburu kan?" tanyaku tiba-tiba bahkan aku juga tak mengerti dengan muncungku ini, berkata tanpa berpikir.

"Ya cemburu tu pasti ada, tapi gue memahami kok kalian sahabatan. Supaya gue gak terlalu cemburuan sama kalian gue mendekatkan diri ke kalian."

"Mendekatkan gimana? Kita kan pernah deket Gin. Lo lupa dulu waktu SMP kita pernah buat genk gitu, hahaha." Aku terkekeh mengingat masa SMP yang terlintas di pikiranku.

"Gak lupa lah. Maksut gue PDKT ulang gitu." Aku miliriknya sambil tersenyum. "Eh gue boleh nanya?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk tanpa melihatnya, karna harus fokus menatap lurus jalanan.

"Lo gak apa-apa pacar lo diambil ... Ng ...."

"Dera?" Kulirik Gina yang mengangguk. "Gue itu udah putus Gin sama Gadha, ya ... walaupun Gadha gak pernah ngasih jawaban waktu gue ngajak putus. Terus setahun kemudian, gue dapet kabar mereka pacaran, Gin. Lo tau 'kan gimana dulu gue cemburuan banget sama Dera yang terlalu deket sama Gadha? Lo tau? Dulu waktu gue, Gadha, Dera dan temen yang lainnya hunting foto, salah satu temen gue gak sengaja motret pose mereka yang uhm ... buat gue cemburu. Lo tau, gue ngapain pas liat foto itu?" Aku mengerem mobil di lampu merah, lalu menoleh ke arah Gina, ia menggeleng.

"Gua hapus," lanjutku seolah memberi jawaban dari gelengannya. Kenangan itu membuatku terkekeh mengingatnya.

"Kok bisa? Mereka gak tau?" Gina tampak penasaran.

Lampu berubah hijau aku kembali menjalankan mobil. "Mana taulah, kan kamera gue jadi gue duluan yang ngecek itu semua foto. Gue hapus aja, muak gue liatnya." Seringaianku terlihat sangat puas telah melakukan hal itu diwaktu silam.

"Iya juga ya," ucap Gina. "Terus terus cerita lagi, dong." Ia terlihat menggeserkan tubuhnya lebih mendekat, ingin tau. "Sebenarnya gue kepo banget, bukan cuma gue aja sih temen-temen gue yang kenal kalian juga kepo banget tau, Yun."

"Kayaknya gue nge-hits seketika, Gin hahahaa"

"Ya iyalah Yun. Secara lo kan sahabatan tuh sama Dera. Kalian kan terkenal tu kompaknya. Bahkan sampe sekarang masih bertahan; masih utuh gitu."

"Emang bener ya? Jangan melihat sesuatu dari cover buku kadang di dalamnya bisa jauh lebih baik atau jauh lebih buruk," ucapku seolah menyiratkan sesuatu. "Gue percaya sama mereka. Gue sayang sama mereka, Gin. Mereka itu udah kaya saudara gue. Walaupun kami jarang ketemu atau jarang cerita, jarang berbagi kesedihan ataupun kebahagiaan. Gua rela ngelakuin apapun untuk mereka Gin. Tapi sayang itu dulu."

Gina mengelus bahuku seolah sedang memberikan semangat.

"Itu dulu saat gua belum tau kecewa tu sesakit ini sedalam ini seterluka seperti ini Gin ...," lanjutku.

"Gua tau rasanya Yun."

Lo gak tau Gin. Cuma gue yang tau, gak ada yang tau gimana rasanya jadi gue.

"Sudah sampai Gin. Yok turun." Ajakku sembari mematikan mesin mobil.

"Yok, lupain masalalu, kita happy-happy sekarang," ajaknya.

•••

"Yang ini bagus gak?" tanyaku pada Gina meminta pendapatnya mengenai dress yang sedang aku pegang.

Gina menggeleng.

"Ini," tanyaku lagi memberikannya pilihan lain.

"Cobain aja dulu," sarannya.

"Gimana?" Aku berdiri di hadapannya mengenakan dress yang kupilih.

"Mayan," jawabnya tanpa minat.

Gina menyodorkan satu buah dress cantik yang sederhana. "Nih coba," ucapnya.

Kuambil baju yang disarankannya dan memakainya di ruang ganti.

Sretttt

"Gimana?"

"Bungkus mbak." Bukannya menjawab Gina langsung memerintah pegawai butik.

"Gak salah gue ngajakin calon desainer handal."

"Lo bisa aja." Ia terkekeh. "Kemana lagi kita?" tanyanya saat kami keluar dari butik.

"Makan yuk?"

"Pantesan lu gendut Yun, makan mulu."

"Jahat lu!"

Ddrrrt drrrtt

"Halo"

"Lu dimana Yun?"

"Lagi jalan sama Gina di mall."

"Gue lagi di bandara nih."

"Lo pulang?"

"Iya. Gue kesana ya."

"Oke gue tunggu."

"Smsin lo dimananya."

"Sipp bos!!!"

Aku menutup telepon dan meletakkan ponsel ke dalam tas.

"Siapa?" tanya Gina penasaran.

"Erno." Aku membuka pintu restoran. "Dia mau nyusul kita."

•••

"Dari sini keliatan juga ya jembatan itu," gumamku kembali menatap jembatan yang beberapa waktu lalu aku tatap bersama seseorang terlarang..

"Emangnya kenapa? Mau lo pindahin?tanya Gina dengan tersenyum geli.

Gue terkekeh. "Lu kira gue punya kekuatan super mindahin tu jempatan."

Gina pun ikut terkekeh.

"Lo tau gak? Jembatan itu punya cerita loh untuk gue." Tanpa sadar bibirku tersenyum tipis, menatap jembatan tersebut penuh arti, di mana aku sedang mencoba menerawang; mengenang.

"Dulu gue suka ke sini sama Gadha. Kalo di sini kan juga keliatan tu jembatan, malah lebih jelas. Jadi dari awal jembatan itu masih belum dibangun. Terus jadi rencana mau ada pembangunan jembatan. Lalu menjadi benar-benar dibangun. Gue selalu ke sini sama dia, ibaratkan jembatan ini saksi hubungan gue dengan Gadha yang putus-nyambung. Dan tahun kemarin, jembatan itu jadi. Itu bertepatan dengan mereka jadian, Gin. Sayang, gue udah putus."

Sakit banget gue ngingatnya, sakit banget.

"Yun?" Aku langsung menoleh dan ternyata Erno. Ia mengacak rambutku dengan lembut. "Sudah jangan diingat lagi."

"Iya Yun, jangan diingat lagi. Gue tau lo kuat. Lo perempuan terkuat dan tersabar yang pernah gua kenal," timpal Gina.

Kalian gak pernah tau. Dan sejahat apa gue sekarang. Kalian gak pernah tau.

"Lo ngapain disini?"

Ia mendelik tak terima. "Lo ngigau, ya? Kan gue udah nelpon lo tadi, Yuna gendut, jomblo!" ledek Erno dengan penghinaan yang telah kelewatan yang buat gue gak tahan buat mencubit lengannya.

"Adaw ... sakit."

"Rasain!"

"Kalian lucu!" Aku seketika kembali mengingat keberadaan Gina yang berada bersama kami, aku pun langsung menoleh ke arahnya.

"Lo kira kita lagi lawak kali, ah." Erno mencebikkan bibirnya.

"Kenapa kalian gak jadian?" Gina kembali berceletuk, yang buat aku dan Erno saling pandang. Kemudian kami terkekeh geli.

"Dia bestfriend gue selamanya, forover and always," jelasku.

"Bukannya si Erno pernah naksir lu and then PDKT-in lo?" Gina menatapku dan Erno bergantian.

"Hahaha. Itu kan dulu sebelum kita sahabatan. Lagian dia itu gak cocok jadi pacar gue cocoknya jadi sahabat walaupun kadang gak ada gunanya sih jadi sahabat." Aku meliriknya dengan geli. "Ya gak No?" Kusenggol bahunya karna dia tiba-tiba diam.

"Ha, iya iya." Ia terlihat sedikit gelagapan. "Eh gue mau pesen dong," lanjut Erno mengalihkan pembicaraan.

"Tenang udah Yuna pesan," ucap Gina.

"Aduh jomblo ku ini baik banget deh." Erno menyubit pipiku dengan gemas yang langsung aku tepis kuat-kuat.

"Tapi lo yang bayar nanti!" Aku menyeringai. "Semuanya!" Ia mendengus. "Eh gua mau ketoilet bentar, lo tunggu sini Gin." Aku pun berdiri meninggalkan keduanya lalu berjalan ke tempat yang tak bisa mereka lihat namun bisa aku lihat.

Jepret

"Permainan terakhir akan dimulai"

"Dera I'm coming"

•••

Dera Pov

Aku heran sebenarnya ada salah apa sebenarnya aku dengan Winda dan Marsha. Belum selesai masalah dengan mereka. Evna juga ikut salah paham dengan aku dan beberapa hari ini Gadha jadi aneh.

Sebenarnya apa yang udah terjadi? Aku bener-bener gak ngerti. Semenjak Gadha putus dengan Yuna. Aku berusaha ada disamping Gadha, untuk jadi sahabat yang baik. Aku benar-benar udah nganggep Gadha adalah sahabatku. Aku memposisikan Gadha sebagai sahabat yang wajib aku hibur. Aku tau saat itu dia sedih, kecewa dan patah hati sangat dalam. Sampai sekarang aku gak tau, apa alasan Yuna mutusin hubungannya dengan Gadha.

Walaupun aku selalu jadi penyebab mereka bertengkar, tapi aku tahu. Yuna hanya cemburu karna terlalu mencintai Gadha. Tapi saat itu. Yuna sepertinya sudah mantap dengan keputusanya.

Yang berakibat aku dan Gadha terjebak oleh yang namanya cinta. Dia jujur kalo dia sayang sama aku. Disaat dia mengatakan itu, ia sudah berbulan-bulan putus dengan Yuna. Aku tau ini salah dan aku selalu bilang sama Gadha kalo aku ini sahabatnya Yuna. Walau bagaimanapun Yuna, aku gak bisa nyakitin dia.

Tapi waktu yang buat kami makin terkurung. Bahkan, aku yang awalnya memang pernah menyukai Gadha, dulu. Membuat rasa itu hadir kembali. Rasa itu kembali muncul untuknya. Dan disaat setahun mereka putus. Gadha nembak aku, dia ngajakin aku pacaran dengan sembunyi-sembunyi. Walaupun akhirnya, keluarga aku juga tau.

Beberapa bulan lagi kami Anniversarry yang ke-satu tahun. Tepat Anniv yang ke-sembilan, aku ngasih tau hubungan aku dengan Gadha ke Yuna. Itu semua karna aku udah gak sanggup berbohong dengan Yuna lebih banyak dan juga selain itu aku takut, Yuna akan lebih marah kalau tau dari orang lain.

Aku tau sebaik apa pun hubungan aku dan Gadha yang tersimpan rapat, pada akhirnya semua orang akan tahu. Aku bersyukur saat aku memberi tahu Yuna, ia mengerti. Tapi aku cukup kecewa karna dia gak nepatin janji. Janji hanya dia yang tau. Tapi lagi-lagi aku bersyukur kalau aku gak ngasih tau Yuna. Mungkin sampai saat ini hubungan aku dan Gadha masih tersimpan, seolah kami masih bersahabat di depan semua orang.

Tapi sekarang. Aku mulai ragu. Ragu dengan ketulusan Gadha. Semenjak ulang tahun Yuna. Perlahan dia berubah. Aku tahu ada yang gak beres dan juga aku tahu sesuatu telah terjadi. Aku harus menyelesaikan semua permasalahan ini. Semuanya.

Ddrrtt ...

"Halo"

"..."

"Kamu tahu?"

"..."

"Oke kita ketemu"

"..."

"Nanti aku kirim alamatnya".

•••

Kau boleh mencaci ku

Kau boleh menghina ku

Kau boleh memukulku

Tapi ku mohon jangan tinggalkan aku

-Dera

•••