webnovel

2. Sektor Industri

Awan kumulonimbus terlihat lebih dominan di antara jenis awan lainnya, burung-burung dari spesies tertentu beterbangan dengan koloninya di atas langit biru. Rumah-rumah dan hal-hal lainnya terlihat sangat kecil dilihat dari atas sini, dekat dengan kaca bening kamuflase dinding. Berdiri seorang pria tinggi yang tengah memandang ke bawah dengan tangan menyilang di depan dada.

Sudah 20 menit pria berkemeja putih itu berada dalam posisi demikian, tanpa suara, tanpa pergerakan. Hanya matanya saja yang bergerak hampa kiri kanan, atas bawah berputar dan berbalik, memperhatikan setiap pergerakan yang terjadi di bawah sana.

Berada di ketinggian lebih dari 100 meter di atas permukaan tanah, menjadikan semua pergerakan selambat bahkan secepat apapun di bawah sana, tidak akan bisa ditangkap oleh indra penglihatan. Maka, jika pria itu berdiri seolah fokus memperhatikan kesibukan kota di bawah sana, itu adalah penarikan kesimpulan yang benar-benar keliru. Ia hanya sedang melamun, dengan cara yang elegan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu dari arah belakang yang ditangkap telinga, memaksa otak untuk bekerja mengirimkan sinyal pada anggota tubuh agar melakukan sebuah reaksi. Berhasil! Kepala pria bersurai hitam pekat itu menoleh, memandang lurus ke arah pintu lewat ujung mata. Ia hanya menoleh kurang dari 90°, tak berniat sama sekali untuk membalik badannya menghadap seutuhnya ke pintu. Bibir tipisnya segaris datar, tidak melengkung ke atas untuk tersenyum, juga tidak melengkung ke bawah pertanda sedih.

Kombinasi antara tatapan sinis dan mimik wajah yang diperlihatkan pria di sisi kaca besar itu, sudah pasti merupakan ekspresi tidak suka, ketidaksukaan itu jelas ia tujukan pada seseorang di balik pintu itu

Dua bilah pintu kayu dengan tinggi hampir mencapai 2,5 meter, memiliki ketebalan lebih dari 3 centimeter. Dari wujudnya saja, sudah bisa dipastikan bahwa orang di belakang pintu besar itu, sama sekali tidak mengetahui tatapan sinis pria di dalam sana.

Laki-laki berjas hitam yang masih berdiri di balik pintu berpikir bahwa tidak adanya suara dari dalam sana, menandakan bahwa atasannya sedang fokus memeriksa beberapa berkas. Jika hanya memeriksa beberapa data, tidak ada salahnya jika ia masuk ke dalam.

Disebabkan oleh pikirannya yang sempit itulah, ia menjerumuskan dirinya sendiri ke kandang harimau. Pria yang berpakaian rapi itu mendorong daun pintu dan langsung dihadiahi tatapan membunuh pria kekar di dalam ruangan sana.

Membeku selama 30 detik merasa terintimidasi oleh sorot mata dan raut tak bersahabat atasannya, di detik ke-31 ia beranikan diri melangkahkan kaki.

Pria tinggi di sisi jendela memperhatikan dari ujung matanya setiap langkah ragu-ragu yang terlihat jelas dari pria yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia menyilangkan tangan di depan dada, masih dalam posisinya tak bergerak semili pun, menegaskan pada orang yang baru mengetuk pintu tadi, bahwa ia sedang dalam mode tidak baik-baik saja.

Sampai pada jarak satu depa di belakang atasannya, ia mengulurkan sebuah tablet yang menampilkan sebuah foto.

"Ada lima belas fo-"

"Kau mau mati?" Belum tandas kata-kata pria malang itu, sudah dipotong oleh atasannya. Ia berbalik, menatap langsung mata karyawan di depannya.

"Kau tau aku mempekerjakanmu bukan untuk menunjukkan foto-foto wanita itu kan?"

Pria yang sedang menguji nasib di hadapan bosnya itu terdiam beberapa detik, memikirkan jawaban yang tepat untuk dilontarkan "Saya diminta oleh Nyonya untuk menyampaikan ini." Ia menghela napas dalam-dalam namun pelan untuk mengurangi rasa sakit atas cekikan tak kasat mata di lehernya.

"Beliau juga berpesan, mulai malam nanti, serta malam-malam berikutnya, tepat pukul delapan, akan diadakan pertemuan antara Bapak dan salah satu wanita di daftar ini."

"Tidak perlu repot-repot membuang waktu berharga mu untuk mempersiapkan pertemuan konyol itu. Aku tidak akan pernah datang!"

Kelakuan atasannya yang selalu menentang kehendak Nyonya besar itu memang selalu membuat kepalanya sangat pusing, belum lagi beberapa berkas yang masih menumpuk dan belum diselesaikannya. Memikirkannya saja, sudah menumbuhkan pemikiran-pemikiran sama sekali tak baik, misalnya membakar file penting tepat di hadapan bos pembangkangnya itu.

Tapi, mau bagaimana lagi, ia hanya seorang pesuruh yang digaji, uang masih mengatur segalanya, malang sekali. "Kalau tidak melakukan itu, bagaimana Bapak..-"

"Akan menikah?"

"Akan menikah!"

Mereka menyebutkan dua kata terkahir secara bersamaan, sebab pria di sisi kaca besar itu tau persis doktrin 'jahat' yang ditanamkan Mamanya pada siapa pun makhluk di kantor ini.

"Mama sudah menyuruhmu melakukan ini beberapa kali sejak 2 tahun lalu kan? Dan selama itupun, kau tidak mengerjakan sesuai keinginan Mamaku." Pria itu bejalan mendekat ke arah karyawannya secara perlahan, memegang pundaknya dan berkata

"Vin, kau masih sehat jasmani dan rohani hingga saat ini kan?" Itu bukan pertanyaan, itu adalah informasi yang dibalut nada bertanya dan jelas kalimat itu tak membutuhkan jawaban. "Jadi, kau hanya perlu mengabaikan gertakan kecil Mamaku sekali lagi saja. Mudah."

Benar, ini bukan kali pertama nyonya Bimantara meminta Gavin untuk mengatur 'kencan buta' bosnya dengan wanita-wanita pilihan ibunya. Tapi, setiap kali perintah itu diberikan, maka jawaban pria tampan di hadapannya selalu sama.

"Aku tidak akan datang."

Tau bahwa sekeras apa pun usaha yang ia lakukan tidak akan pernah menggoyahkan secentipun onggokan salju besar di hadapannya ini. Ia memutuskan untuk mengalah lagi kali ini, ia menunduk dan berpamitan pada atasannya untuk kembali ke ruangannya.

Sepeninggal sekretarisnya, pria yang menggulung lengan kemejanya sebatas siku itu melirik sofa abu-abu di sisi kanannya. Mamanya datang dan duduk di sana sekitar setengah jam lalu, tentu saja membahas hal serupa yang disampaikan Gavin tadi.

"Kamu itu udah tua. Mau nunggu sekarat dulu baru menikah?" Pertanyaan sarkas seperti itu seharusnya tidak boleh dilontarkan seorang ibu pada putranya. Tapi, jika anaknya terus menentang omongan ibunya, maka sedikit gertakan tidak akan menjadi masalah.

Lalu, pria yang menjadi bulan-bulanan ibunya sendiri itu sedang duduk persis di hadapan sang ibu. Menunduk dalam, merima semua perkataan dari wanita paruh baya itu lewat telinga kanan, lalu beberapa detik kemudian akan keluar dari telinga kiri. Dengan kata lain, dia tak lagi acuh mendengarkan kalimat templet yang disampaikan ibunya sejak 2 tahun lalu menyuruhnya segera menikah.

"Umur kamu itu udah ketuaan buat nikah. Coba lihat temen-temen kamu, mereka Udah punya istri yang ngurusin diri mereka, juga punya anak yang ngehibur mereka waktu capek kerja."

"Sewa asisten rumah tangga sama badut aja, Ma. Enggak perlu harus nikah."

"Jawab aja terus kamu ini!" Kini, tatapan mata wanita berpakaian sederhana namun terlihat elegan itu tak lagi bersahabat, sudah naik ke fase waspada.

"Pokoknya, sebelum umur kamu genap 30 tahun, kamu sudah harus menikah." Itu artinya  hanya tersisa 58 hari lagi menjelang usia pria itu yang ke-30.

"Ma. Bagaimana caranya bisa menikah secepat itu?"

"Setelah menikah dalam waktu 3 bulan mendatang, segeralah buatkan mama cucu. Tahun depan, Mama harus sudah menggantikan popok cucu Mama!"

"Bagaimana bisa Mama berpikir begitu?"

Tak acuh atas kalimat pertanyaan sekaligus penolakan putranya, wanita yang masih terlihat cantik meski sudah berusia paruh baya itu membuang muka, memandang ke luar gedung. Langit biru yang ia lihat sejajar dengan kaca besar itu, menunjukkan seberapa tinggi dan besar perusahaan milik putranya.

"Bahkan perusahaan mu bisa menciptakan produk baru dan berkualitas dalam waktu singkat, hingga berkembang sepesat ini. Kamu sebagai pengelolanya, tidak sanggup mengerjakan permintaan Mama yang sederhana ini?!!"

Apa-apaan Mamanya ini!! Apa hubungannya perusahaan dengan menikah dan cucu. Sungguh, wanita memang sulit ditebak.

"Perusahaan Yaz bergerak di sektor industri konsumsi, Ma. Jika sangat menginginkan cucu, Mama boleh pergi ke perusahaan yang mengelola industri makhluk hidup baru." Yaz menyandarkan punggungnya ke sofa, memejamkan mata, berusaha berpikir jernih untuk menghadapai kelakuan Mamanya.

"Capek mama berdebat sama kamu." Nyonya Bimantara berdiri dari duduknya "Nanti mama kirimkan beberapa foto ke Gavin untuk kamu pilih." Tidak perlu dan memang tidak memberikan waktu untuk bantahan anakanya, wanita paruh baya itu melangkahkan kaki menuju pintu.

Sebelum tangannya meraih gagang pintu, wanita itu berbalik.

"Aiyaz Bimantara! Jika dalam 1 bulan kamu tidak segera menikah, maka jangan  pernah  lagi bicara dengan Mama!"

_______________________

How?