webnovel

HEXAGON 1 - Spektrum Warna

[BUKU KESATU] Pada periode keenam kehidupan, kristal energi misterius mengubah wajah Bumi menjadi sebentuk utopia. Di bawah payung monarki kerajaan Soteria, manusia supramodern terlarut dalam suka cita kedamaian. Peradaban yang sempurna terlampau menyilaukan mata, hingga mereka tak menyadari kehadiran sang pembawa energi gelap yang siap mendominasi semesta. Superhero adalah dongeng kanak-kanak, namun Arvin terikat dengan mimpi tersebut. Menjadi olok-olok, dibayangi masa lalu, dan dicengkeram banyak lawan, ia tetap berusaha menjadi seseorang yang berarti demi janjinya terhadap sang ayah. Sampai suatu ketika, Arvin dihadapkan dengan kekuatan rahasia yang akan mengubrak-abrik jalan takdir. HEXAGON

andrianchun · SF
レビュー数が足りません
11 Chs

Pecahan Enigma (part 4)

Pada tahun Epsilon, dikatakan bahwa bumi sedang dalam keadaan sekarat. Hantaman asteroid menghancurkan dua perlima kehidupan yang ada di permukaan bundarnya, layaknya kiamat yang sanggup memusnahkan seluruh kehidupan. Tahun-tahun berikutnya, bertahan hidup adalah hal tersulit yang dapat dilakukan oleh manusia. Namun saat insting kehidupan membuka matanya, manusia yang terselamatkan itu masih berusaha bernafas dan tetap melangkah maju hingga sekarang.

Kehidupan bergerak menuju zaman Zeta. Batu asteroid yang sebelumnya menjadi batu bencana itu, telah diubah menjadi sebuah batu berkah berkekuatan abadi. Energi yang tak terhingga lahir dari dalamnya, menjadi alasan mengapa umat manusia bangkit kembali dari keterpurukannya. Energi yang membuat wajah Bumi kini telah berubah. Energi yang mampu menggerakkan manusia dan alam sekitarnya untuk mencapai titik keseimbangan. Energi yang tersimpan dalam bongkahan batu kristal, bernama --

"HEXAGON." / "Hooaaahm."

Sebuah perkataan tegas yang berakhiran titik dan disambut dengan suara menguap yang panjang itu tiba-tiba menciptakan keheningan.

"Arvin!"

Anak bermata merah gelap itu gelagapan sambil mendongakkan kepalanya -merasa namanya dipanggil. Entah berapa kali Arvin menguap dalam sejam tadi. Pelajaran Filsafat ini terdengar seperti dongeng sebelum tidur yang membuatnya terlena. Dan sepertinya, sekarang dia sedang kena batunya.

"Coba ceritakan kembali apa yang ibu sampaikan tadi!" wanita tua yang kini berdiri di depan kelas itu menunjuk Arvin dengan pointernya, terlihat seperti nenek tua yang menghunuskan tongkat sihir ke arahnya.

Gawat, Arvin tidak menyimaknya dengan benar. Terakhir yang ia dengar, guru itu menjelaskan tentang Hexagon.

Arvin sedikit mengetahui tentang batu itu, "Aaa. Jadi, Hexagon adalah sebuah batu ajaib berkekuatan aneh yang turun dari langit." Ia memulainya dengan hal absurd yang membuat seisi kelas menatapnya dengan seribu pertanyaan.

"Dan kalian tahu, Hexagon adalah batu yang diciptakan oleh para dewa yang di dalamnya mengandung kekuatan spiritual, dan-dan-dan kekuatan tersebut dapat dikendalikan oleh manusia!"

"Arvin!" Guru Filsafat itu buru-buru menghentikan ocehan Arvin, "Setelah jam pelajaran, temui ibu di ruang kepala sekolah." Kemudian guru itu melanjutkan pengajarannya tanpa mempedulikan Arvin yang membeku seperti es di tempat duduknya. Sepertinya, ia akan kena poin pelanggaran lagi karena tidak mendengarkan pelajaran dengan baik.

<<<>>>

Sementara itu di tempat lain, suara kedip digital terdengar berbunyi ritmis dari dalam ruangan yang kondisinya sangat tertutup. Dinding ruangannya terdiri dari alloy -logam campuran-yang berwarna putih metalik.

Suara gas sesekali menyembur dan berdesis pelan dari labu-labu percobaan yang tengah dibakar diatas bunsen.

Kemudian bunyi langkah kaki terdengar menggema. Berhentilah seorang wanita yang memakai pakaian serba aneh, dengan rambut panjangnya yang disanggul amat besar, menyerupai bentuk cakram. Ia seperti tidak berasal dari bumi. Atau mungkin karena ia memiliki selera busana yang antimainstream.

"Ekstraknya sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita akan menemukan cara termudah untuk menghancurkan Soteria." Ucap wanita itu sembari menggoyang-goyangkan tabung kaca di tangannya.

Seorang pria di hadapannya kini menyeringai. Matanya menatap tabung kaca yang berisi cairan hitam bening itu dengan pongah.

"Bagus, Natasha. Kita memang tidak punya banyak waktu lagi." Pria berjubah hitam itu menyilangkan kakinya, menikmati segelas wine di atas kursi khusus di dekat jendela. Pikirannya yang telah menang sebelum bertarung membuatnya menyunggingkan seulas senyuman licik.

Seorang pria kini memasuki ruangan itu. "Jadi, apa sudah kau pikirkan langkah selanjutnya, Dvhl?" ucap pria yang berambut coklat gelap panjang dan berkepang.

Kemudian sesosok pria yang agak gemuk mengikuti pria itu, "Ya, kuharap kita tidak menghabiskan waktu hanya untuk memutar otak di medan pertempuran, ketika gagal dengan rencana ini." Tukasnya sedikit pesimis sekaligus skeptis.

Ternyata bukan hanya Natasha yang memiliki selera busana yang nyentrik, tapi kedua pria ini juga.

"Oh, pertanyaan bagus Xenna. Dan Victor, jangan sebut ini sebagai pertempuran, okay? Aku tidak suka istilah itu. Kita anggap saja kita sedang menjalankan 'diplomasi tingkat tinggi'." Seloroh pria berjubah hitam yang dipanggil Dvhl itu sambil berdiri.

"Nah, aku hampir lupa mengatakan pada kalian, bahwa kita telah memiliki plan kedua. Plan A, kita lakukan sesuai dengan rencana awal. Tapi jika The Lights gagal mendapatkan batu putih itu, kita akan beralih ke Plan B. Kita terpaksa menjadikan Negeri Cahaya sebagai kubu kita." Sambung Dvhl, sambil menenggak sisa sari anggur di tangannya. Dan mengeratkan genggamannya pada gelas kosong itu dengan wajah berapi-api.

<<<>>>