webnovel

PART-2

Setelah embusan napas berat, kedua kakiku melangkah

gontai keluar dari lift. Aku lupa kalau di dalam lift itu ternyata ada Pak

Dewa. Mungkin dia mendengar percakapanku dengan Kayla. Biarlah. Aku tidak

peduli. Aku tidak pernah mencampuri urusannya. Kuharap dia juga begitu.

Di lantai tiga puluh ini, hanya ada ruangan bos

besarku, ruanganku, ruang meeting yang besar dan satu ruangan lagi yang

digunakan oleh tangan kanan Pak Dewa. Aku masuk kedalam ruanganku. Ruangan yang

cukup besar menurutku. Entah siapa yang mendesain ruangan ini. Bahkan ruangan

ini memiliki sofa panjang yang bisa ku gunakan untuk rebahan.

Aku mendaratkan pantatku di sofa panjang yang

empuk. Kedua mataku masih sangat mengantuk. Mungkin lebih baik aku tidur dulu.

Hampir saja kupejamkan mataku, tapi urung ku lakukan karena indra pendengaranku

menangkap suara langkah kaki seseorang berjalan ke arahku.

Pak Dewa. Dia lagi dia lagi. Aku bosan melihatnya

setiap hari. Kalau bukan karena aku butuh pekerjaan ini. Mungkin aku sudah

jauh-jauh hari meninggalkan tempat ini.

Aku terlanjur membencinya, sejak pertama kali

bertemu dengannya lalu ia menabrakku dan tidak meminta maaf justru marah-marah

padaku . Pak Dewa bilang kalau aku pembuat masalah! Aku membencimu Dewa. Aku

muak melihatmu. Mati saja kau!!!!! Uhh!

"Ya pak ?" Akhirnya aku membuka pintu.

Bertanya padanya tanpa tersenyum sedikitpun.

"Selamat pagi, Gadis. Saya bawakan makanan

utukmu. Di makan, ya. Kau pasti belum sarapan, kan ?"

"Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya sudah

makan kok. Bapak makan aja sendiri." kataku datar dan berhasil

membuatnya sangat kesal. Aku bisa melihat jelas kalau ia hampir akan meledak.

"Gadis yang baik, bisakah kau menghargai

pemberian saya ? Tolong terima dan makanlah!" Dewa tersenyum manis. Tapi

dengan senyumannya itu, aku justru semakin membencinya.

"Baik, Pak saya terima." Aku menerima

makanan dari Dewa. Lagi pula aku belum sarapan. Lumayan bisa mengganjal perutku

dan menghemat pengeluaran dompet.

"Gadis, bisa bilang terima kasih ?" Dewa

tersenyum manis. Senyummu membuatku muak, Dewa.

"Bapak ikhlas atau tidak? Kenapa saya harus

bilang terima kasih? Kalau tidak iklas, nih saya balikin!" Aku

menyodorkan lagi bungkusan makanan itu pada Dewa.

"Makan aja. Saya tahu kau lapar, Gadis. Dan

tidak perlu repot-repot bilang terima kasih. Saya permisi." Dewa lalu

menutup pintu ruang kerjaku. Dan berlalu entah kemana.

Aku membuka kotak makanan yang diberikan Dewa.

Isinya menarik, aku melahap nasi putih dengan tumis cumi. Tinta hitam dari cumi

ini membuatku lebih berselera. Rasanya lezat sekali. Aku menghabiskan makananku

yang lezat ini dengan cepat. Setelah itu, kuteguk susu hangat yang barusan

diantar office boy. Salah satu yang selalu membuatku bahagia adalah makanan.

Tanpa mereka mungkin hidupku lebih kacau.

Oh! Bagaiamana bisa makanan membuat hidup

seseorang jauh lebih indah?!

Aku tidur kurang dari lima jam semalam. Setelah

perutku penuh aku merasa sangat mengantuk. Ahh, memang penyakit orang

Indonesia. Kalau kenyang pasti diserang kantuk.

Kurebahkan tubuhku diatas sofa panjang yang empuk.

Rasanya nyaman sekali. Aku menyukai tempat ini. Aku mengambil ponselku lalu

membuka aplikasi pemutar musik. Aku memutar musik sembarang dan menyandarkan

kepalaku disandaran sofa.

Aku membuka mataku. Rasanya aku memang tertidur

lelap beberapa jam ini. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah tidak

terdengar alunan musik dari ponselku. Aku terkejut saat menyadari ternyata

sekarang sudah pukul 11.45 Wib.

Astaga!!!

Lima belas menit lagi waktu istirahat. Aku tidur

lima jam hari ini! Aku tidak menyangka tidur selama itu. Kudengar seseorang

mengetuk pintu ruanganku. Mungkin itu Pak Dewa. Mungkin setelah ini dia akan

membunuhku!

Aku membuka pintu dan ternyata yang datang adalah

Kayla.

Wait! What? Kayla?

"Dis! Dari mana saja kau! Aku menelponmu! Aku

mencariku kemana-mana!"

Dasar Kayla! Dia memang tidak punya sopan-santun

sama sekali! Apa dia tidak tahu aku bary bangun?

"Maaf, Kay. Aku ketiduran. Baru bangun."

kataku pasrah.

"Hah!!!" jeritnya.

Aku menunggu reaksi berikutnya. Mungkin Kayla akan

memelukku.

"Gadis, seharusnya kau katakan padaku atau

Rizal. Kami selalu ada untukmu. Kenapa kau memendam semuanya sendiri? Ada

apa?" tanyanya lembut.

Aku seperti melihat seseorang sedang menguping

pembicaraanku dengan Kayla. Atau mungkin hanya perasaanku saja ?. Ahh, lupakan!

Kayla kalau sedang marah bisa fatal jika diabaikan.

"Tidak, Kay! Aku baik-baik saja. Aku hanya

mengantuk dan tertidur. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Maaf."

"Kau sudah makan, Dis ?"

"Sudah, tadi pagi. Tunggu sebentar, aku akan

memesan makanan untuk kita." ucapku seraya menampilkan senyum terbaik.

Meskipun dalam beberapa hal Kayla sangat-sangat menyebalkan, tapi aku senang

dia begitu perhatian padaku.

"Aku membawa makanan untuk kita."

"Kau tidak perlu melakukannya. Aku..."

kalimatku menggantung. Sulit mengatakannya. "Tidak mau merepotkanm."

"Husssht! Stop talking about it!

Aku tidak pernah merasa direpotkan sama siapa pun. Aku justru tidak akan

memaafkan diriku sendiri jika terjadi hal buruk padamu!" katanya tegas.

"Thanks, Kay. If you were a man, i

will marry you right now!." Kayla tertawa. Dia mengambil tasku dan

melihat isi dompetku.

Aku menyesal memujinya. Dia membuka dompetku dan

kembali berteriak. Dasar pembuat pembuat onar!

"Astaga, Dis!!!! Cuma seratus ribu !!!?

jeritnya histeris. "Kau mau makan apa sebulan? Kau bisa tambah kurus kalau

seperti ini! Apa kau tidak pernah menganggap aku dan Rizal selama ini!"

Kayla masih marah-marah. Aku lupa kalau dia memang

pemarah. Harus dengan cara halus menghadapinya.

"It's okay, Kay. Aku bisa cari

sampingan lain. Kerja part time atau yang lain. Jangan berlebihan seperti itu. I'm

fine." kataku meyakinkan.

"No, Gadis! Kayla mengeluarkan dompetnya dan

mengambil segepok uang seratus ribuan. Mungkin lima juta.

"Ini lima juta."

Voilla! Tebakanku benar, kan?

"Pakai ini! Jangan pikirkan bagaimana

menggantinya. Pakai saja untuk kebutuhanmu "

"Tidak, Kay!"

"Gadis, please." Kayla memohon.

"Kay, aku tahu maksudmu baik. Tapi aku juga

tidak mau terus-menerus bergantung padamu. Aku tidak mau menjadi bebanmu dan

Rizal. Kalian terlalu baik padaku."

"Gadis," Kalya memegang pundakku.

"Kita ini kan sahabat. Aku tidak pernah merasa di repotkan. Tolong, terima

ini."

Aku masih menimang penawaran Kayla. Tidak, mereka

terlalu baik padaku.

"Atau begini saja, kau pakai uang ini. Anggap

uang ini pinjaman dariku. Nanti kalau kau sudah punya uang, kembalikan

padaku."

"Are you serious, Kay?"

"Of course. Pakai saja dulu. Biar

hidupku tenang. Karena aku tidak akan merasa tenang kalau kau tidak membawa

uang sepeser pum."

"Thanks, Kay. Kalian baik sekali. Kau

dan Rizal. Kalian sudah seperti saudara kandungku sendiri."

"Kita memang saudara; Gadis." Kayla

memelukku erat. Aku beruntung memiliki dia.

Pak Dewa masuk ke ruanganku. Tanpa permisi dan

tanpa mengetuk pintu.

"Ada apa ini ?" Dia bertanya tanpa rasa

bersalah.

"Bapak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk

?" Aku menatapnya tanpa rasa takut sedikit pun.

"Saya berhak melakukan apapun di perusahaan

saya, Gadis."

"Terserah Bapak." Aku mengurai pelukannku

pada Kayla.

Kayla bersiap menyemprot Dewa dengan kata-kata

buruk. Dia membalikkan badan dan terbelalak ketika melihat bos besarku.

"Ohh, jadi ini bos yang katamu menyebalkan?

Yang kau benci itu? DEWA?"

"KAYLA?"

Mereka saling kenal?

"Kau apa kabar?" Kayla bertanya antusias.

"Baik. Dan kau?"

Sekarang mereka saling berpelukan. Ohh tidak!

Sahabatku dan musuhku. Apa aku sedang bermimpi?

"Wait! Gadis,apa Dewa bosmu?"

Aku mengangguk mantap. Kayla spontan menonjok perut

Dewa dengan sekuat tenaga.

"Aww! Sakit, Kay"

"Rasakan! Kau sudah membuat temanku menangis!

Gadis sangat membencimu!" cecar Kayla.

"Aku tidak bermakud menyakitinya, Kay. Aku

melakukan semua itu karena aku menyukainya. Kau bahkan berniat menikahi

Gadis."

"What?"

Aku tahu Kayla pasti terkejut mendengarnya. Pak

Dewa memang sering mengatakan hal itu. Sudah biasa.

"Aku menyukai Gadis sejak pertemuan pertama

kami. Tapi kau tahu dia masih menjalin hubungan teman SMP-ku, kau tahu,

Bastian. Aku menunggunya berpisah dengan Bastian. Jadi Gadis, will you marry

me??"

"Pak, Bapak tolong kalau bicara jangan

mengada-ada." Aku mulai kesal. Dewa mulai lagi dan lagi.

"Apa aku salah dengar?" Kayla bingung

mendengar ucapan Dewa.

"Tidak, Kay. Sekarang Gadis dan Tian sudah

resmi putus. Apa kau setuju kami menikah?"

"Setuju, Dewa. Aku tidak menyangka kau jatuh

cinta pada sahabatku. Aku tidak sabar menunggu undangan pernikahan kalian.

Jadi, tunggu apa lagi?"

"Menunggu dia." Dewa menunjukku.

"Gadis, kau harus menikah dengan Dewa."

"Tidak, Kay. Tidak akan!" ketusku.

"Dewa, dia terlanjur membencimu. Susah kalau

sudah seperti ini."

"It's okay, Kay. Wanita mana yang tidak

memujaku? Cepat atau lambat dia pasti akan jatuh cinta padaku. Dan saat itu

tiba, aku akan segera menikahinya dan membuatnya bahagia." ujar Dewa penuh

percaya diri.

"I trust you, man!"

Ponsel Kayla berdering nyaring. Ia mulai sibuk

dengan ponselnya. Entah dengan siapa dia berbicara.

"Maaf, sepertinya aku harus pergi sekarang.

Tadi aku membawa dua bungkus makanan. Kalian bisa memakannya berdua."

Seseorang mengetuk pintu dari luar. Kayla membuka

pintu dan masuklah Tian. Aku muak melihatnya.

"Dis ,aku minta maaf karena sudah menuduhmu

tidur dengan Dewa."

Kayla spontan melayangkan tasnya ke wajah Tian. Dia shock mendengar apa yang barusan Tian katakan.

"Damn it! What do you talking about!!! She

is not bitch! Pantas saja Gadis memutuskanmu!

Sudah kuduga. Pasti Kayla melakulan hal itu. Dasar

onar!

"Kay, listen to me! Ini semua salah

paham. Aku tahu aku salah. Dan aku menyesal mengatakannya. Tidak! Aku tidak mau

putus dengannya! Aku akan menikahi Gadis secepatnya!"

Aku juga cinta sama kamu Tian. Tapi biarlah cintaku

akhirnya basi dengan sendirinya. Lalu digantikan dengan rasa benci. Karena kau

telah menusuk hatiku. Merobeknya. Bahkan menghancurkannya hingga

berkeping-keping. Aku mungkin bukan perempuan yang baik  untukmu. Begitu

juga sebaliknya.

"Gadis, kau masih mencintaiku?"

"Iya, masih."

"Terima kasih, Sayang. Kita balikan? Aku

berjanji tidak akan mengulanginya lagi." ucapnya seraya mendekat beberapa

langkah.

Aku melirik Dewa sekilas. Pria itu teraenyum begitu

manis.

"Tidak, Tian. Aku tidak mau jatuh di lubang

yang sama. Aku tidak mau sakit hati untuk kedua kalinya. Aku harap kau mengerti

maksudku. Dan mulai sekarang, jangan pernah ganggu aku lagi." Jemariku

bergetar saat mengatakannya.

"Gadis, please...."

"Maaf Tian. Aku tidak bisa."

"Tian," Kayla berdiri di antara aku dan

Tian." Sebaiknya kau pergi dari sini. Kehadiranmu hanya akan membuat Gadis

sedih. Aku tidak mau melihat sahabatku bersedih." Kayla mengusir Tian

dengan halus.

"Tidak, Kay. Aku tidak akan pergi sebelum

Gadis menerima aku lagi." kekeuh Tian.

"Hmbb, " Dewa berdeham singkat. Bastian

tolong tinggalkan Gadis sekarang. Saya ada urusan dengan dia. Dia harus

menyelesaikan laporan bulan ini sekarang. Anda bisa menemuinya nanti sepulang

kerja."  Dewa berkata dengan tegas. Entah apa yang dia katakan benar

atau tidak. Tapi memang dia yang berkuasa disini. Jadi dia berhak melakukan

apapun yang dia mau.

"Baik, Pak." Bastian meninggalkan

aku,.Dewa dan Kayla.

"Maaf, aku harus pergi juga. Ada beberapa hal

yang harus kuurus."

"Dewa, tolong jaga Gadis. Jaga sahabatku.

Jangan sampai Bastian mendekatinya lagi."

"What do you talking about, Kay!"

Kayla memang tidak waras.

Setelah memelukku Kayla beranjak pergi

meninggalkanku dan Dewa. Aku menatap punggungnya hingga punggung itu hilang di

balik tembok yang menjulang tinggi di ujung ruangan. Sekarang tinggallah aku

dan Dewa. Aku merasa ada yang aneh dengan dia. Dia terus tersenyum melihatku.

Mungkin dia terkena penyakit jiwa.

"Ayo, kita makan makanan dari Kayla

Gadis." Kata Dewa sambil tersenyum manis.

"Emmbb, Bapak bisa bawa satu kotak ke

ruangan Bapak. Dan saya akan makan disini." kataku singkat.

"Tidak. Tidak Gadis. Saya akan makan

disini."

"Bapak bisa tidak sehari saja tidak mengganggu

saya ?"

"Tidak!"

"Apa mau bapak ?"

"Marry with me, Gadis."

"I can't."

"Why?"

"Because i hate you."

"No problem, Baby."

"Whatever!"

"Wanita mana yang tidak memuja saya, Gadis? You

know it! Mereka mencintaiku karena ketampanan yang kumiliki dan tentu saja

uang. Aku punya banyak uang. Dan wanita mana pun pasti akan dengan senang hati

menikah denganku. Tapi, kenapa kau malah selalu menolakku?"

"Karna anda menanamkan kebencian yang begitu

mendalam kepada saya."

"Harus berapa kali aku meminta maaf?"

"Lupakan."

"Okay. Mari kita makan Gadis. Kau pasti

lapar."

Aku tidak melanjutkan perdebatan itu. Karena Dewa

pasti akan tambah senang dan aku tambah muak denngannya.

Dia terus mengajakku bicara saat makan. Aku hanya

menanggapi dengan anggukan kecil atau dengan kata "ya" dan

"tidak".

"Gadis, kau tadi ketiduran. Apa kau

sakit?"

"Kenapa Bapak tidak membangunkan saya?"

"Saya tidak tega. Mungkin kau butuh

istirahat."

"Saya baik-baik saja, Pak. Saya tidak

sakit." jawabku ketus.

"Kau naik motor hari ini?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Okay, kalau begitu nanti saya antar

pulang."

"Tidak usah, Pak Dewa."

"Ayolah Gadis. Sekali ini saja. Atau kau mau

Bastian menunggumu di bawah dan memaksamu bertemu?"

Aku lupa kalau Tian pasti akan melakukan apa yang

barusan Dewa katakan. Ohh! Ini jadi semakin rumit.

"Baiklah." Akhirnya aku mengalah.

Dewa keluar dari ruanganku saat makanannya tandas.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan

uang untuk mengganti uang Rizal dan Kayla. Aku tidak mungkin bekerja sampingan

karna waktuku terbatas. Ohh, ayolah Gadis berpikirlah!

Masih pukul 15.00 Wib. Masih dua jam lagi waktu

pulang. Aku mendengar suara ketukan pintu.

Tok tok tok...

Siapa ya ?

Aku beranjak menuju pintu dan membukanya.

Bastian!

"Gadis, aku minta maaf."

"Pergi, Tian!"

"Aku tidak akan pergi sebelum kau

memaafkanku!" erangnya.

"Aku sudah melakukannya!"

"Aku mau kita balikan seperti dulu!"

"Aku tidak bisa, Tian!" Aku sengaja

berteriak-berharap bantuan datang.

"Ada apa ini ?" Dewa masuk ke ruanganku

dan melihatku berada disudut ruangan. Ketakutan.

"Tian, apa yang kau lakukan!?" Dewa menarik

kemeja Tian dan berhasil membuat Tian sedikit menjauh dariku. Hanya sedikit

karena Tian tetep kekeuh berada di dekatku.

"Jangan ikut campur urusanku, Dewa!" ucap

Tian sinis.

"Gadis, kita perlu bicara!"

"Tian, kau membuat Gadis takut."

"Dia tidak takut. Dia hanya

merindukanku." Bisa-bisanya Tian mengatakan hal itu. Aku bahkan jijik

melihat wajahnya. Tapi aku lebih memilih diam dibanding melayani omongan Tian.

"Tian, Aku pemilik perusahaan ini. Tolong

pergi dari sini. Kau bisa bicarakan urusan pribadimu di luar perusahaan! Dan

jangan ganggu sekertarisku!"

"Dewa, kali ini saja. Tolong aku sebagai

temanmu."

"Aku tidak bisa memaksa Gadis, Tian. Lihat,

dia semakin ketakutan." Aku memang sedikit takut. Tian bukan seperti

yang biasanya aku kenal. Dia lebih beringas.

"Baiklah. Aku menunggumu nanti, setelah

waktunya pulang." Tian membelai rambutku lembut. Dan aku merasakan

nafasnya semakin dekat di wajahku.

Ya ampun. Apa yang akan dia lakukan? Dia hampir

mencium pipiku. Aku sempat melihat tangan Dewa menarik kemeja Tian. Tian pergi

meninggalkanku dan Dewa. Ia membanting pintu dengan keras.

Aku masih berdiri dipojok ruanganku. Dewa mendekat

dan memelukku erat. Sangat erat. Aku merasakan ketenangan disana. Di dalam

pelukannya.

DEWA?!!!!