Kicauan murai yang cerewet antarkan salam pagi hambar untuk Ichi yang baru saja menggeser pintu kaca, kaki telanjangnya sudah langsung saja menghambur tapaki rumput hijau berpangkas rapi menuju gazebo kecil di dekat kolam ikan yang jernih. Ada sisa-sisa jejak embun di setiap helai dedaunan. Gemar sekali Ichi hirup aroma pagi setengah enam yang masih bersih kaya akan oksigen, semua menguar dari produksi alamiah segala tumbuhan di tempat ini. Sebenarnya tanpa dia sadari, bibir ranumnya itu sudah tidak sedatar tadi, sebab rekah manis sudah membuat dua sudut bibirnya tertarik untuk sunggingkan seulas kecil yang begitu berharga.
Ichi adalah tipe gadis yang sulit untuk bahagia, baginya memajan senyuman pada paras ayunya adalah suatu hal yang merepotkan dan tidak membuat segalanya menjadi lebih baik. Jadi, mungkin harus diadakan sayembara kecil untuk siapapun yang dapat mengembalikan tawa barangkali mendatangkan kebahagiaan pula untuk si gadis--yang berani mendekat saja sudah hebat. Sebenarnya akan ada sedikit penjelasan dibalik ini.
Dulu Ichi bukanlah gadis yang setertutup ini. Dia tetap gadis pada umumnya, gemar sekali mendaftar seratus aktivitas menyenangkan yang akan dia lakukan ketika usianya telah menginjak tujuh belas tahun. Sering turun dari ranjang dan menyingkirkan dua tangan ibu dan ayah yang memeluknya, lalu mengendap-endap keluar dari kamar hanya untuk mencari kunang-kunang di dekat mata air. Itu kenangan indah yang dimilikinya ketika usianya bahkan masih kisaran lima tahun dan kala itu berkunjung ke villa milik ayahnya di pulau Jeju, pulangnya mendapat dua cubitan kecil dari ibu di paha, katanya itu sangat berbahaya. Rindu sekali.
Melihat dunia yang indah, membuatnya cepat lantas mengimpresikan bahwa hidup memanglah menyenangkan. Dulu ia ingin sekali pergi ke gereja dan berdoa bersama cinta sejatinya, setelah itu hidup bahagia dalam selubung restu semesta melalui ibu dan ayah. Hebat sekali rasa-rasanya ketika dulu memikirkan itu, ia sangat percaya bahwa dunia diciptakan Tuhan memang untuk bersenang-senang.
Dua manusia diberi dua jalinan benang untuk hidup mereka, keduanya saling berliku penuh simpul, saling kait mengait membentuk suatu jalur yang sudah ditentukan Tuhan bahkan sebelum kita berwujud. Pakar bilang itu takdir hidup, serupa susunan rumit yang diciptakan untuk menentukan segala takdir yang akan dihadapi. Dua jalinan manis dan pahit berkonotasi sebagai benang biru dan merah.
Tatkala Ichi telah yakini bahwa seisi semesta memang semanis gula-gula, nyatanya semesta tunjukkan sisi gelap dari dunia yang dianggapnya sempurna itu. Semesta hebat sekali tahu isi pikirannya, seakan ingin sadarkan Ichi untuk cepat-cepat tahu dunia yang dipijaknya dengan sebenar-benarnya bahkan sampai pada mikro-partikel aspek jalan hidup dan segala cerita yang termuat di setiap belahannya. Semudah membalik telapak tangan, semudah itu Ichi terima faktanya.
Hingga sampai pada keadaan yang tiada pernah disangkanya, benang biru sebagai jalinan manis miliknya mendadak diputus, entah menghilang atau tercerai dari pasangannya. Ia tidak tahu maksud Tuhan mengambil benang birunya secara paksa hingga tinggallah sehelai benang merah yang telah menjadi kusut. Tetapi yang ia tahu, yang dilihat dan dirasakannya benar-benar berantakan. Tidak lagi merasa dunia menyenangkan, melainkan hanya rasa sakit yang datang dari percikan api neraka. Semua definisi dari impresi dunia sudah runtuh, bahkan kerangkanya pun sudah sirna tersapu gelombang berkekuatan hebat hingga mampu menggulungnya sekaligus juga seluruh manis ruapannya. Bodoh sekali berpikiran dunia yang berotasi ini akan tetap selamanya statis.
Jadi selepas dihadapkan dengan banyak persoalan dunia yang tiba-tiba saja rumit. Ichi merasa segalanya menjadi gelap, tidak ada setitik pun cahaya yang mampu membuatnya kembali tersadar. Rupanya perlahan ia paham, dunia telah menurunkan tirainya, dan ingin tidak ingin Ichi harus menghadapinya. Dunia membutuhkan gadis yang kuat, maka Ichi harus lebih kuat dari yang telah dipatenkan. Maka lahirlah satu prinsip; ketika seseorang dihadapkan pada suatu yang menyenangkan, mereka akan cepat sekali melupakan kenyataan.
Mereka harus tahu yang sebenarnya sebelum rasa sakit yang membongkar semua hingga tidak ada lagi yang tersisa selain gelap dan pekat. Yang ia lakukan pada dirinya ... untuk tidak pernah memajan senyum. Baginya itu munafik. Ichi sadar bahwa dirinya cantik, lalu ia harus memanfaatkan senyumannya untuk menjerat banyak orang agar mendekatinya, begitu? Untuk apa bila pada akhirnya semua yang mendekat perlahan akan menyingkir setelah tahu bahwa yang ada pada dirinya hanya satu warna. Hitam pekat.
Ichi tidak akan memikat siapapun meski ia mampu. Sebab ia percaya, setiap manusia yang didekatnya akan terimbas, alih-alih berujung terjebak dalam kubangan pekatnya. Jadi bukankah lebih baik ia tampilkan saja wajah suram dan kusut dari awal? Itu agar orang-orang mengerti dari awal bahwa dirinya memang bukan tipe gadis manis rumahan yang baik-baik saja. Meski Tuhan akhirnya putuskan untuk hanya memberi satu benang pada hidupnya, yakni benang merah, ia tidak pernah lupakan kewajibannya. Ia ingin dirinya tak pernah menemukan atau ditemukan seseorang. Sebelum menutup tirai kamarnya, sejenak menatap gelap langit yang indah, itu yang selalu dipanjatkannya setiap berbisik kepada Tuhan.
Malam adalah Ichi. Bintang dan bulan tahu bahwa malam itu gelap, namun mereka bukannya meninggalkan malah justru terus kembali setiap malam itu jatuh. Meski bintang dan bulan adalah jajaran sahabat yang selalu menemani, namun di antaranya tidak pernah tahu mengapa ketika langit malam sedang hujan, dia tidak pernah ingin ditemani. Benar, bukan? Mana ada bintang ketika malam sedang hujan? Ichi ingin sekali seperti malam. Namun sayangnya, jika ia bersikeras menjadi malam, akan ada jutaan gemintang dan berjuta periode bulan yang dikorbankannya. Sebab Ichi adalah malam gelap yang seringkali hujan. Mereka tidak akan pernah dapat menunjukkan eksistensinya lebih lama, hanya ada kelabu yang menjadi penghalang semua bintang dan bulan bersinar. Itulah mengapa lebih banyak yang akan pergi daripada bertahan.
Namun, mengapa Tuhan harus hadirkan Yoon dalam hidupnya? Doanya seharusnya terkabul. Siapa yang menemukan siapa? Tidak ingin meragukan kuasa Tuhan, Ichi pikir Tuhan hanya akan menyakiti Yoon. Pria itu tidak tahu apapun dan harus terjebak dengannya. Ia tidak peduli atas pernikahan ini, namun dirinya tidak ingin membuat orang lain akhirnya terluka. Jujur saja, dirinya tidak pernah takut terluka, sebab luka sudah banyak menghampirinya. Namun Ichi paling takut melukai, sebab bila ia melukai, akan banyak karma yang datang lagi. Ichi sudah cukup tenang dengan hidupnya yang kelam, namun jangan dibubuhi dengan konflik luar biasa lagi. Disisi lain, jikalau semesta kirimkan Yoon untuk dekat dengannya, apakah itu berarti Yoon bidak semesta yang dijadikan sebagai bagian dari benang merahnya?
Menghela napas tertahan, Ichi sudah duduk di gazebo kayu ulin ini. Lima menit hampa dihabiskannya untuk menatap kolam ikan saja. Sedari tadi gemericik akibat sirip ikan yang berkelepakan di dalam air menjadi relaksasi pikirannya yang berkelana jauh ke antah-berantah. Baru dua hari lalu ia temukan tempat ini, yang tentu masih dalam lingkup area istana Yoon. Ini jadi tempat favoritnya sekarang, hendak bagaimana lagi? Hanya tempat tinggal Yoon saja kini yang telah menjadi hidupnya.
Ichi masih tidak habis pikir dengan ayah yang menjodohkan mereka. Usianya bahkan belum genap dua puluh tahun dan harus dijadikan sebagai budak pernikahan. Dikungkung dalam suatu ikatan sakral konyol bersama pria yang sejatinya belum pernah senoktah pun dilihatnya. Lebih idiotnya lagi, perjodohan itu dilakukan tanpa sepengetahuannya. Mereka hanya diberi waktu seminggu untuk saling mengenal, sedang di hari ketiga yang tidak dapat disebut kencan, Yoon sudah harus kembali ke Seoul dan terbang ke Amerika untuk segera menghadiri rapat penting. Alhasil apa? Ichi yang mengira perjodohan batal malah justru dipercepat.
Mendadak sepasang kaki telanjangnya terasa dijatuhi dua bulir air. Rupanya langit sedang berniat untuk tumpahkan air hasil kondensasi awan itu. Tidak perlu menunggu lebih dari lima belas detik untuk ribuan rintik turun bagai menyerbu hantam bumi. Bunyi rintikan teredam jatuhnya air hujan ke dahan-dahan pepohonan dan tumbuhan menimbulkan bising menyenangkan bagi telinga Ichi. Tangannya tertarik untuk menengadah, menyenangkan sekali merasakan setiap tetesnya jatuh basahi telapak tangan bagai menggelitik. Masukkan ke dalam daftar checklist harian, Ichi telah tersenyum lebar sepagi ini. Katakan saja bahwa ini mustahil, tetapi memang gadis berdarah Jepang ini memang jarang sekali membagi senyumnya.
Bukannya malah berhenti, dilongokkan kepalanya itu dan mendongak guna tatap langit. Setengah menyipit dan mengerjap sebab terang saja wajahnya dijadikan alas tadah hujan. Ichi sudah seperti orang gila ketika dirinya justru tertawa-tawa idiot dengan mata yang setengah mengerjap-kerjap. Kalian hanya tidak tahu rasanya, hujan itu menyenangkan sekali. Jika dulu ibu selalu bilang kalau main hujan akan membuat Ichi sakit kepala dan flu, kini Ichi justru tidak lagi menghiraukannya. Entah sudah berapa kali ia melanggar nasehat ibunya itu, maafkan Ichi.
Riang Ichi mendadak sirna, rekah senyumnya yang idiot perlahan luntur. Payung hitam tiba-tiba saja menghalangi turunnya hujan, membatasi seluruh rintik hujan milik Tuhan itu. Meraup wajahnya yang kuyup dan kembali melihat ke depan. Wajah sungutnya lantas cepat terpajan, alisnya mendadak mengernyit nyaris bersinggungan satu sama lain. Tidak boleh bahagiakah?
"Ini hujan, Ichi. Kurasa matamu tidak buta." Yoon berdiri di hadapannya memegang payung hitam itu untuk melindunginya. Sepasang mata hazel itu memandanginya dengan sorot tak percaya. Pakaiannya santai dengan balutan celana khaki dan kaos hitam, kontras sekali dengan kulit pucatnya itu.
Ichi mendorong tubuh Yoon menjauh darinya, sebal sekali paginya harus dihancurkan oleh spesies ayam berkepala kucing ini. Ingin rasanya ribut dan menjambak Yoon sampai kulit kepalanya itu ikut mengelupas. Benci sekali dengan intonasinya yang lebih sering terdengar memerintah itu.
"Menjauh dariku! Sana pergi bekerja."
Kembali melangkah maju, setelah selangkah mundur di dorong Ichi tadi. "Ini hari apa memang?"
Mengalihkan tatap sebentar sembari mengingat, lantas kembali mendongakkan kepala menatap Yoon si es serut itu. "Kau menggangguku. Pergi." ujarnya datar.
Mengerutkan alisnya, Ichi dapat tangkap cepat seraut wajah menahan kesal yang berusaha suaminya itu sembunyikan. Mengangkat tangan kiri yang semula berada di saku, Yoon mengambil kasar pergelangan tangan Ichi. Memberondong tak tahu diri bahkan bisu tak ucap permisi. Diseretlah Ichi yang masih sibuk memberontak, payung hitamnya itu sudah dilemparkan Yoon tatkala mereka memasuki rumah.
"Ini apa, sih!" Mencoba lepaskan cengkraman erat Yoon dengan menghentak keras tangannya. "Lepaskan, Yoon!"
Ditanggapi sebunyi pun tidak, Yoon hanya terus seret Ichi dengan bungkam emasnya. Dua ART memperhatikan keduanya ketika melewati mereka begitu saja, menerka-nerka apakah pasangan baru ini sudah kembali bertengkar lagi untuk sepagi ini. Menaiki tangga dengan terburu-buru, Yoon seolah tidak sadari Ichi yang kesulitan seimbangkan langkahnya. Tidak perlu tunggu anak tangga paling atas untuk Ichi berhasil hentakkan tangannya lebih keras. Yoon yang satu anak tangga lebih tinggi dari tangga yang dipijak Ichi segera menoleh.
Ichi bidikkan sorot marahnya tepat pada kedua obsidian hazel Yoon, tajam sekali dan masih tidak berniat untuk berkedip. "Dunia bilang kau orang kaya, jadi semua orang kaya memang seenaknya begini, ya? Kau berpendidikan, bukan? Lulusan Stanford University memang semua bisu sepertimu?"
"Aku harus menidurimu. Sekarang juga."
"Apa?" Mulut Yoon luar biasa sekali rupanya, Apa Ichi harus memastikan lagi pendengarannya? Ucapan sekonyong yang dilontarkan Yoon barusan tidak mampu membuat Ichi dapat segera mengendalikan keterkejutannya. "Aku tidak mau!" sergah Ichi lantas cepat menaiki tangga lebih dulu.
Mungkin ia harus bersembunyi di kamarnya untuk sementara waktu. Yoon gila. Dia ternyata gila. Kendati dia suaminya, akan tetapi, apakah dia sungguhan tidak mengetahui umur Ichi? Ya Tuhan, demi peri gigi. Umurnya masih sembilan belas tahun, membayangkan dirinya dimasuki dan bermain di atas ranjang saja tidak pernah. Lagipula sembilan belas tahun terlalu dini untuk melakukan seperti itu. Astaga, Ichi ingin muntah.
Keberhasilan Yoon yang mampu kembali mencekal tangan Ichi sebelum gadis itu berlari ke kamarnya patut diacungi jempol. Mereka sudah layaknya pemain film india yang bekejaran kesana-kemari. Sedang Ichi yang merasa dihalangi kebebasannya lantas cepat menghentakkan tangan kembali dan mundur selangkah demi jarang mereka yang hanya seukuran stik es krim saja. Kedua tangannya mengepal kuat dengan raut gusar.
"Kau dan aku, kita harus mulai terbiasa." Yoon menatapnya. "Aneh rasanya ketika kita justru tidur di kamar yang berbeda. Tidak harus berbuat sekarang, aku hanya ingin tahu."
Apa makna sebenarnya dari 'ingin tahu' itu?
Tapi benar, semenjak mereka menikah lima hari lalu, Ichi memang sudah mengutarakan keberatannya untuk itu kala pertama kali Yoon membawa ke rumahnya. Gadis itu mengatakan butuh waktu terbiasa. Yoon coba maklumi, sebab Ichi terbiasa tinggal sendiri di rumah Gwangju dulu. Namun rupanya, tidak perlu dalam tempo yang lama untuk Yoon ketahui bahwa Ichi hanya sedang berkelit. Mulai dari malu bila tidurnya akan berantakan sekali, sampai mengatakan hal mengerikan semacam suka menggigiti ibu jari orang yang sedang tidur di sebelahnya.
Jelaslah Yoon tahu semua itu hanya alibi konyol yang sengaja dibual Ichi. Ibu jari siapa pula yang akan digigit Ichi kalau dulu saat masih tinggal di rumahnya sendiri saja dia tidak ada yang menemani. Ibunya? Jangan satupun coba remehkan Yoon, ia tahu pasti di mana ibu dari istri kecilnya itu.
"Aku tidak bisa." Akhirnya Ichi mampu ucapkannya setelah terjebak dalam getar ketakutan. Melangkah pergi, sayangnya Yoon malah ikut melangkah mendahului Ichi dan menyambar tangan si gadis dengan cepat. "Aku tidak mau, Yoon!"
Kembali ketiga kalinya menghetak tangan yang baru lima detik dipegang Yoon. Sedang suami Ichi itu menoleh tak habis pikir. Menghela napasnya kelewat kencang, Ichi memang keras kepala, itu pemikiran Yoon dan pria itu tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi pada istrinya. Yoon hanya pikir, dirasai telah tiba di ujung perkara, hingga Yoon tanpa tedeng aling-aling kembali membuat Ichi terkejut. Menggendong Ichi adalah opsi terakhir.
Tersentak, Ichi menjerit. Siapapun yang berada di posisi Ichi pasti akan terkejut tanpa terniat, pasalnya Yoon menyergap begitu saja. Sepertinya mulai kini Ichi harus terbiasa dengan Yoon yang mungkin sewaktu-waktu akan menjadi bar-bar. Pria pucat yang menjabat sebagai suaminya ini kelihatannya lebih senang bermain dengan hal yang berbau posesif dan tindakan impulsif daripada membicarakannya lebih dulu.
"Kau pikir aku ini apa, hah?! Turunkan!"
Tidak pasif Ichi ketika mendapati dirinya digendong, cara Yoon menggendongnya benar-benar semacam maniak permainan di pusat perbelanjaan lalu memenangkan banyak tiket dan pulang membawa boneka barney besar. Ichi kini sibuk meronta dan pukulkan kepalan tangan kecilnya ke punggung Yoon. Peduli sekali memikirkan para ART yang sudah berkumpul mendongak saksikan mereka dari lantai bawah laksana pengambilan adegan syuting para pemeran drama Clean With Passion For Now. Antusias sekali Ichi memberontak seperti kucing kecil yang takut dimandikan majikannya, berusaha melepaskan dan bertubi memukul punggung Yoon berharap akan berbaik hati menurunkannya.
Sekejap saja, hanya butuh lima detik yang menceloskan jantung untuk Ichi tahu dan segera panik tatkala Yoon membawanya ke kamar (kamar yang seharusnya menjadi saksi bisu malam pertama pernikahan konyol mereka). Menjerit histeris delapan oktaf, refleks Ichi tatkala gadis itu terkejut yakni lantas menjambak rambut kepala siapapun yang ada didekatnya. Dan ... terealisasi. Alih-alih meringis, Yoon malah lebih mempercepat langkahnya. Sontak membuat Ichi menampar wajah Yoon bertubi-tubi dengan sorot ngeri (sebenarnya Ichi sudah hendak mencakar Yoon, tapi diurungkannya. Tahu saja wajahnya itu asetnya, pasti akan terpampang di depan banyak kamera media, banyak yang menyorotnya, wartawan belum lagi dispatch).
"Turunkan ak—Yoon!" Semakin meronta Ichi dan berujung memekik hebat kala Yoon menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang empuk besar itu.
Tidak indahkan sama sekali Ichi di atas ranjang, Yoon tinggalkan istrinya itu yang masih sibuk berseru-seru histeris untuk menutup pintu, menguncinya. Tergesa-gesa menyusul dan melompat dari kasur. Ichi berseru setengah berteriak membuat urat-urat lehernya tertarik semua. "Jangan ditutup!"
Naasnya, Ichi tiba setelah pintu benar-benar telah terkunci dan dia tidak menyadari itu. Ichi terus menalu gagang pintu kuat-kuat, berusaha membukanya tanpa lihat lubang kunci yang kuncinya telah raib dari sana. Prihatin barang sedikit pun tidak, Yoon malah diam-diam menyingkir dengan senyum miring iblisnya dan berdiri beberapa langkah di belakang Ichi. Menjadikan kucing kecil itu tontonan yang mengasyikkan demi melihat kepanikan Ichi yang berlebihan.
"Bermain denganku dulu, Ichi." begitu ucap Yoon dengan nada yang terdengar memiliki aura keberengsekan akut. Seperti psikopat seks barangkali?
"Mana kuncinya?" sambar Ichi dengan cepat berbalik.
"Kubilang: Bermain denganku dulu, Ichi."
Bahu Ichi naik-turun, wajahnya memerah dan telah merambati telingannya. Tangannya sudah mengepal kuat-kuat. Menatap tajam Yoon yang di sana. Namun, Yoon, suami Ichi itu menangkap sesuatu yang berbeda. Ada yang salah pada Ichi. Gadis itu ketakutan, semacam ada pemahaman primitif kala Yoon menatap manik mata Ichi. Sebenarnya butuh ketelitian ekstra guna meneliti ke dalam sorot dingin Ichi. Keresahan yang dipadu sempurna, hingga bulat Yoon katakan sebentuk ekspresi itu sebagai ketakutan. Itu yang dilihatnya, akan tetapi Ichi seakan berusaha tutupi menggunakan topeng wajah apik, memaksa setiap orang yang melihatnya untuk segera tinggalkan suatu impresi yang tidak ayal merujuk pada garang dan betapa beraninya dia. Alih-alih hanya sebagai upaya Ichi untuk tutupi perasaan yang sesungguhnya.
"Kau takut bercinta denganku, Chi?"
Mengambil permulaan dengan langkah pelan, dekati Ichi untuk puaskan batinnya yang tengah bertendensi pikirkan suatu keganjilan. Satu perkiraan Yoon benar, Ichi terlihat hendak beranjak dari posisinya. Ia mengira, Ichi terus pertahankan posisi demi tidak terlihat menyerah.
"Kau pikir aku sepenakut itu?" mendengus.
"Hebat. Kalau begitu kau tipe yang liar, ya?" Yoon menyeringai, "Aku suka."
Semakin dekat dan coba gapai Ichi, tetapi dia tidak membiarkan semua berjalan mulus. Ichi terus melangkah menghindarinya tanpa arah. Tatapan tajam Yoon yang mengintimidasi, sungguh pun mengoyak keberanian Ichi dalam-dalam. Kini tersudut. Yoon menyeringai melihat panik dalam mata Ichi kala dia tahu bahwa tubuhnya telah menabrak bufet kayu besar setinggi pinggang. Dengan gerakan cepat, Yoon mengunci tubuh Ichi dengan meletakkan kedua tangannya di masing-masing sisi bufet.
"Ini tidak lucu, Yoon." suara Ichi bergetar dan masih hebat untuk mengatasi.
"Kau takut bermain denganku sekarang, Ichi?"
Ichi mendongak dan langsung berhadapan dengan wajah Yoon yang terlalu dekat. Yoon menunduk, menatapi wajah resah Ichi dan belum ada niatan untuk mengalihkan atensinya. Keduanya sama-sama bisu, terjebak dalam piramida benak masing-masing, sedang suara detik jarum jam terdengar kian mendesak. Yoon jail meniup wajah Ichi pelan, lantas tertawa. Terdengar candu sekali tawanya, ingin mendengar itu lagi, hanya saja Ichi tidak sedang ingin untuk saat ini.
Ichi memejam begitu dirasai epidermis kulit wajahnya ditabrak lembut oleh hembusan napas beraroma mint milik Yoon. Entah ada apa dengan Ichi dan keberaniannya, ia malah menunduk, sembunyi-sembunyi menggigit bibir dalamnya kuat sekali sembari berprosesi menekan habis ketakutannya serta salurkan semua ke kepalan tangannya. Sungguh pun jantungnya sedang bermain gendang di dalam sana.
Kumpulkan keberanian dalam setiap tarikan napas yang diraupnya susah payah, Ichi pagankan diri hingga akhirnya berhasil mendorong tubuh Yoon menjauh meski kepayahan melakukannya. Pria itu mundur beberapa langkah yang dimanfaatkan Ichi untuk loloskan dirinya. Sebenarnya mudah saja bagi Yoon untuk dapat kembali seimbangkan tubuh yang sempat setengah goyah. Namun ceroboh ditandai dengan tersenggolnya vas kristal cantik di atas bufet kayu tatkala Yoon tengah berupaya menahan Ichi agar tidak kabur-kaburan lagi darinya.
Serta-merta suara gaduh nyaring terdengar ketika vas malang itu menyentuh lantai, bersamaan satu langkah Ichi yang baru saja meloloskan dirinya, dia lantas menjerit. Yoon tidak dapat presisikan apakah itu karena terkejut akan bunyi pecah-belah, atau lantaran Yoon yang menarik kasar tangan Ichi hingga gadis itu kembali berbalik. Semua itu terjadi secara bersamaan.
Akan tetapi, sepertinya Yoon-lah yang pantas dikatakan terkejut. Tidak ubahnya saat mendapati Ichi dalam keadaan pucat pasi, matanya membulat penuh ketakutan menatap Yoon dan baru disadarinya tubuh Ichi mengerut seperti udang bersama dua tangan terkepal di depan dada. Beberapa detik Yoon hanya terperangah pandangi Ichi, sibuk tafsirkan situasi rikuh yang memaksanya untuk pikir-cerna-telan habis semua. Seumpama batu, Yoon membeku tiada kunjung pahami yang terjadi pada istrinya dengan cepat.
Belum mendapat jawaban dari keadaan sebelumnya, Yoon malah sudah disuruh melompat pada situasi kompleks lain yang lagi-lagi memaksanya untuk tersadar lebih cepat bilamana tidak ingin sesuatu terjadi dan memperparah semuanya.
"Ichi!" mengguncang tubuh istrinya dengan kedua tangan mencengkram lengan Ichi. Yoon panik sekali, tidak ada waktu untuk dirinya memanajemen wajah agar tak terlihat begitu khawatir. "Ichi! Bernapas, Ichi!"
Masih tiada ekspresi. Tidak sanggup menunggu lebih lama. Kadar persentase panik Yoon segera saja naik drastis. Dalam sekali gerakan, ia merengkuh Ichi ke dalam dekapannya. Gadis itu kaku. Yoon amat sekali menyesali perbuatannya. Sungguh, tadinya Yoon hanya ingin bermain-main sedikit untuk tahu penyebab sikap istrinya itu yang tampak sangat ganjil. Bodoh! Bisa-bisanya sebersit pikiran akan Ichi yang takut melihatnya telanjang menindihi tubuh mungil gadis itu dan membuatnya lantas berpikiran pendek.
Yoon tidak memedulikan sorot mata gadis itu terlampau ketakutan, ia masih terus saja menyudutkan gadis itu dan betapa abainya hingga kini ia sungguh tidak menyangka terhadap reaksi Ichi yang akan sebesar itu membuatnya panik. Ia merasa bersalah.
Terisak. Tubuh mungil yang semula kaku di dekapan Yoon mulai bereaksi. Tidak ingin tutupi itu, Yoon benar-benar lega, ia hanya tak sadar bahwa sedari tadi napasnya pun ikut tertahan. Tangan Ichi masih berada di depan dada, menjadi penghalang pelukannya, namun Yoon sungguh tak masalah. Justru masalahnya terletak pada Yoon yang luarbiasa diserang ketakutan. Perasaan teramat jarang dan hampir-hampir belum pernah dirasainya sehebat ini.
Tidak berhenti isakannya, nyeri sekali terasa bagi Yoon. Pilu yang didengarnya tak sanggup lebih lama didengar. Perlahan kepala Ichi bersandar di dada Yoon. Bersamaan dengan tubuh yang bergetar hebat, isak pilu kini bertransformasi menjadi tangis yang pecah di dekapan suami Ichi yang ceroboh itu. Tangis pertama yang didengar Yoon. Ia tak habis pikir, hanya perihal mendengar tangis gadis yang belum pernah menjalin hubungan dengannya sama sekali ini mampu menguras begitu banyak empati dan rasa bersalah yang merundung sesak.
"Maafkan aku," begitulah bisik Yoon lirih, menunduk coba intip sedikit wajah yang sudah merah sekali bermata sembab. Dia cantik, iya, Yoon akui. "Sungguh maafkan aku, sayang." mengecup lembut pipi Ichi sebelum akhirnya mendekapnya lebih erat, meletakkan dagu di atas kepala Ichi yang surainya sudah sangat berantakan.
Tidak ada jawaban, masih menangis, tangan Ichi mencengkram kuat kaos hitam Yoon sangat kuat pada bagian dada. Kini Yoon mengerti. Keras yang ditampilkan gadis itu hanya demi lindungi diri. Ichi tak ubahnya hanya gadis lemah. Tetapi sengaja membuat segalanya terlihat baik-baik saja guna tutupi wujud invalid asli hatinya. Membuat dirinya seolah berani, nyatanya Ichi tidak lebih dari seorang gadis yang berupaya menggahar diri agar tidak seorang pun tahu bahwa dia tengah dirundung ketakutan. Ichi miliki superfisial karakter yang kini mampu Yoon simpulkan sebagai dalih istrinya itu sembunyikan cacat dalam diri.
Cacat; ketakutan itu, apa sebabnya?[]
Hai, aku Niki!
Buku ini akan aku buat seperti semi novel yang sesungguhnya. Jadi, aku akan memadatkan setiap babnya. Kisaran 2.500 atau paling banyak bisa 3.000 kata. Dan bukan ingin bagaimana-bagaimana, tapi mungkin memang aku akan selesaikan buku ini sekitar empat puluhan chapter, bukan beratus atau ribu chapter.
Lalu, jika kamu suka, bisa tidak tinggalkan komen dan apresiasi lain kalian yang membuat aku lebih semangat? Tq, Seuc!