webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · 都市
レビュー数が足りません
15 Chs

Treating Wounds

"Tetapi, dibalik kebahagiaan itu aku juga ikut merasa sedih."

Jadi, begitukah gadis ini menilai Satria? Memberi pendapatnya mengenai pertemuan di antara mereka?

Mengapa setelah mendengar hal tersebut tiba-tiba hati Satria terasa seperti teriris sesuatu, jantungnya mencelos, luruh begitu saja. Kecewa, yang tidak bisa ia gambarkan di dalam kata-kata.

Bungkam, satu-satunya hal yang dapat dilakukan, meskipun ingin sekali memberikan sanggahan dan melontarkan kalimat tanya yang memenuhi pikirannya.

Merasa sedih? Mengapa?

Baru pada detik berikutnya, Satria melihat Zea mulai kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda, "Kamu adalah orang pertama yang mengetahui sisi menyedihkan di dalam kehidupanku. Dan, seperti orang pada umumnya, aku hanya tidak ingin terus menerus bertemu denganmu dan merasa dikasihani, mengingat moment-moment buruk yang pernah kulalui."

Awalnya Satria berpikir alasan Zea tidak menyukai pertemuan di antara dirinya dan gadis itu adalah karena ketidaknyamanan yang ia buat tanpa sengaja.

Rupanya, bukan atas alasan tersebut. Dan, ini juga bukan karena kesalahan siapa-siapa. Hanya terjadi begitu saja, ini membuat Satria kesulitan untuk mengutarakan emosinya. Ia tidak lagi merasa kesal dan marah, tidak juga merasa iba, biasanya kesulitan merespon kejadian yang saat ini mengikat keduanya.

"Aku bahkan bertekad untuk menghindarimu jika kita kembali tidak sengaja di pertemukan." kelakar Zea, panjang lebar. Ia benar-benar gadis yang sangat jujur. Bukan berusaha untuk menyakiti hati orang lain tetapi ia mengungkapkan kebenaran yang dirinya rasakan.

Satria mematung, "Itu ... terdengar sedikit mengecewakan." pada akhirnya, setelah lama memilih untuk tetap diam.

"Apa aku membuatmu kecewa?"

"Um, sedikit." Satria membentuk jemarinya, memberi sebuah gambaran sebanyak apa dirinya merasa sedih, "Untuk ukuran seseorang yang seharusnya kamu beri gelar penyelamat, " memiringkan kepalanya, menyipitkan mata, "Amat sangat tidak terduga justru bertemu dengan saya adalah sesuatu yang diam-diam kamu hindari."

Zea hanya tersenyum tipis mendengar bagaimana Satria mengungkapkan isi hatinya saat ini. Ia tahu bahwa pria itu tidak merasa tersinggung sama sekali dengan kalimatnya, karena memang ia juga tidak berniat untuk melakukan hal tersebut.

Tujuannya berkata seperti itu adalah, ia hanya terus-menerus merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa setiap kali bertemu dengan Satria yang tahu tentang kesulitan di dalam kehidupannya.

"Yah, baru kali ini seseorang yang mengatakan bahwa ia menyesal setelah bertemu dengan saya." saling pandang, sedetik berikutnya hanya ada moment bertukar senyuman yang terjalin diantara keduanya.

"Apa mereka semua diselamatkan olehmu?"

"Menurutmu?"

Bicara dengan Zea memberikan begitu banyak —bermacam-macam respon emosi yang tidak pernah Satria bayangkan.

Apa karena selama ini ia tidak pernah peduli akan apapun kecuali berlayar?

Inikah alasannya tiba-tiba jadi begitu tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kehidupan orang di sekitarnya? Orang asing yang bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengannya.

Tidak.

Sepertinya hipotesis yang itu keliru. Karena, sebelum itu, jika memang Satria membutuhkan sesuatu yang menarik perhatiannya selain berlayar, ia pasti sudah mendapatkannya dengan bertemu orang-orang baru pada setiap kali waktu berlibur yang ia habiskan.

Tetapi, yang kali ini tidak. Sungguh, rasa penasarannya bener-bener begitu kentara, membuatnya ingin dapat melakukan banyak hal untuk teman barunya tersebut.

Mengusir pikirannya, Satria berujar kembali. Ia berusaha keras untuk memberikan topik agar gadis di sebelahnya tidak terus-menerus memasang ekspresi sedih.

"Mereka sungguh pengganggu yang tidak berguna. Keberadaan mereka hanya menyulitkan orang lain." mengalihkan pembicaraan pada hal yang lain, Satria hanya tidak ingin kesedihan menjadi sesuatu yang mengikat keduanya saat ini.

Manusia memang tidak pernah terlepas pada kenyataan bahwa mereka bisa terluka setiap waktu, namun meratapi luka hanya akan menambah rasa sakit yang ada. Karena itu, sebisa mungkin Satria menjauhkan pikiran buruk tentang malangnya hidup dari gadis ini.

"Kita sama-sama tahu, ini bukan zamannya lagi membuat seseorang takut pada ancaman hanya untuk demi keuntungan sendiri. Itu tidaklah baik, benar!" kembali membicarakan para orang-orang tak berguna yang membuat perjumpaan antara dirinya dan Zea terjadi, padahal di dalam hati ada rasa bahagia —sedikit, yang Satria rasakan dan ingin ungkapkan kepada para penjahat tersebut saat ini.

Di sisi lain, entah mengapa Zea merasa kali ini bukan dirinya yang tersulut emosi, melainkan pria asing yang membantu Zea tadi, ia mengumpati banyak hal; dimulai dari cara para preman itu mengganggunya, sampai gerakan mereka bertarung yang tentu saja tidak ada apa-apanya dengan pria ini.

"Tetapi terlepas dari semua hal tersebut, kamu benar-benar hebat, Zee." mengangkat kedua jempolnya dan diarahkan ke hadapan Zea, apresiasi itu diberikan secara tulus.

"H-hebat?"

"Benar. Meminta penjahat untuk melepaskanmu."

Zea mengerutkan dahinya, "Apa itu sebuah pujian?" tanyanya, memastikan.

Sebab apa yang ditujukan padanya tidak terdengar seperti itu. Ia akui bahwa apa yang sempat dirinya lakukan memang benar-benar konyol. Gadis itu hanya pasrah pada apa yang diberikan kepadanya.

Pria yang akhir-akhir ini entah mengapa terus terlibat dengan Zea dan semestanya itu tertawa nyaring, "Saya serius, Nona Zea. Ini memang sebuah pujian."

"Bertahan di kondisi seperti itu, terjebak antara hidup dan mati seperti tadi, terkadang membuat seseorang menjadi kehilangan akal. Siapapun, bahkan saya sendiri. Kondisi panik menyebabkan respon diri menjadi tidak terkendali, tidak sedikit yang akan melakukan tindakan gegabah seperti; memancing para penjahat bertindak kasar dengan melakukan sesuatu yang sebelumnya larangan dari mereka, atau melarikan diri padahal sudah pasti sia-sia."

Zea mendengarkan dengan penuh perhatian. Kalimat yang saat ini terlontar dari bibir pria itu terdengar seperti sebuah pelajaran yang tidak bisa didapatkan di bangku sekolah.

"Langkah menghindar dari bahaya yang mungkin saja bisa ditimbulkan para penjahat tadi, membuatmu terlihat ... keren. Sungguh, tidak semua orang bisa melakukannya, atau terpikirkan untuk melakukannya."

"Kamu tetap tenang dan tidak melakukan sesuatu yang justru semakin membuatmu kesulitan. Itu sudah lebih dari apapun."

Mendengar itu, entah mengapa membuat Zea merasa sesuatu yang hangat timbul di benaknya. Selain ilmu, pujian jelas terdengar di telinga gadis manis tersebut —komentar yang diberikan oleh Satrua.

Apakah seperti ini rasanya mendapatkan sebuah pujian dari tindakan baik yang kamu lakukan?

Dulu, dulu sekali, ia pernah merasakan hal yang sama. Apa yanv dirinya lakukan selalu mendapati pujian berharga dari sang Ibunda. Tepat ketika semuanya baik-baik saja, hal tersebut bukan hal yang sulit di dapatkan oleh Zea. Namun apa yang terjadi sekarang tentu saja berbeda.

Ia tidak lagi bisa mendengar hal tersebut semudah itu, bahkan setelah melakukan usaha yang sangat keras untuk melewati kerasnya hidup tetap tidak ada yang mengapresiasi tindakannya.

Sesuatu yang terasa panas memenuhi pelupuk matanya, siap untuk tumpah.

"Karena itu, Zee," terjeda sebentar, "bukan hanya dalam suasana menghadapi penjahat saja, hal yang sama juga berlaku ketika menghadapi takdir hidup yang kadang tidak sejalan." Satria tidak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Zea, "Keduanya kamu lakukan dengan sangat baik. Sejauh ini kamu berhasil untuk bertahan, itu sudah lebih dari cukup. Nanti, akan tiba saatnya, di mana kamu akan merasakan apa itu arti dari kemenangan."

"Kita tidak pernah tahu kapan, tetapi kapanpun itu itu kamu hanya perlu menunggunya."

"Saya yakin, saya menjamin hal itu."