webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · 都市
レビュー数が足りません
15 Chs

Tenant Criteria

Satria terus melangkahkan kakinya. Berbolak balik, di tempat. Tidak ada rencana untuknya kembali melanjutkan kegiatan yang sebelumnya ia lakukan. Beberapa saat lalu, ia sedang asyik berolahraga dan berencana untuk membersihkan diri sebelum pergi keluar, menikmati waktu waktu liburannya sekali lagi.

Lalu entah mengapa dan bagaimana bisa, mendadak bayangan seorang gadis yang beberapa saat ini —tak menentu, terkadang memenuhi pikirannya, mulai seringkali ia temui itu justru terus terpatri di kepalanya.

Sesuatu yang jujur saja menjelma menjadi sebuah perasaan aneh yang tidak pernah Satria rasakan dan dapat jelaskan.

"Saya gak pernah merasakan hal ini, sebelumnya. Penasaran dengan orang lain, apa ini, Satria? Ini benar-benar bukan seperti dirimu sendiri."

Menghempaskan tubuhnya ke sofa, pria berwajah rupawan itu nampak memejamkan mata. Mencoba untuk mengumpulkan niat, hingga sesaat setelahnya pria itu bangkit dan menuju lemari es untuk mencari minuman penyegar agar tubuhnya kembali bersemangat.

"Arggh!" mendesah berat, acara minum air mineral saja menjadi terlihat luar biasa ketika diperagakan olehnya.

Rupanya, memiliki wajah yang rupawan membuatmu dapat melakukan segala hal kemudian mengubahnya menjadi seperti sebuah karya.

Tidak perlu bersusah payah untuk memperagakan sesuatu bak iklan atau model, Satria memikat siapa saja yang melihatnya melakukan hal-hal sederhana seperti tadi, dengan klise dan mudah.

Baru saja yang hendak mencari sarapan sebelum ponselnya berdering. Tanpa menunggu lagi ia langsung menjawab panggilan yang rupanya berasal dari Ilham —Seaman Madya, sosok yang bertanggung jawab atas semua aspek di ruang kemudi, bertanggung jawab kepada nakhkoda atas segala hal yang berhubungan dengan mesin— dan berujar, membalas singkat.

"Um, ada apa, Ham?"

"Capt, apa yang kau lakukan kepada Dody?!" berteriak, seperti seseorang yang tengah memendam emosi yang sedang melampiaskan kekesalan, suara itu cukup terdengar mengerikan untuk sekelas Ilham yang tidak pernah berteriak padanya, "Kau mengusirnya?"

"Apa maksudmu?" karena mendapati pertanyaan mendadak yang terdengar tidak sabaran dari sosok yang senantiasa mendampinginya ketika berlayar tersebut, tentu saja membuat Satria cukup terkejut.

Waktu masih terlalu pagi, dan jika dipikirkan, diingat kembali Satria tidak melakukan apapun yang menjadi alasan untuk mendapati kemarahan di waktu yang sedini ini.

Helaan napas membungkus pembicaraan di antara keduanya,"Aku bertanya apa yang telah kau lakukan pada kenalanku yang berniat untuk menyawa rumahmu —yang sempat kau bicarakan beberapa waktu yang lalu itu!"

"A-ah, saya ingat sekarang." memijat pelipisnya merasa pembahasan kali itu terasa berat padahal hanya merupakan kesalahpahaman yang tidak berdasar, "Pria itu? Astaga, saya tidak pernah menyangka kamu akan bertanya pada saya tentang alasan mengusirnya dari sana." melanjutkan dengan menambahkan kakehan di akhir kalimat, Satria tertawa misterius.

"Itulah yang ingin aku tanyakan, Capt." suara Ilham kembali terdengar, masih belum santai, nada menggebu-gebunya tetap kentara, "Aku mendapatkannya dengan susah payah, tetapi kau justru mengusirnya dalam semalam. Kau bahkan tidak memberitahu padaku tentang apapun, dia mengeluh —"

"Mengeluh?" Satria menyembah kalimat yang diucapkan oleh bawahannya tersebut dengan cepat, "Permisi, tuan, apa saya sedang salah dengar?"

Siapa yang mengeluh?

Pria itu?

Bukan dirinya, tapi pria itu yang mengeluh karena harus pindah tempat yang ia tawarkan secara gratis tersebut?

"Capt ... kau mengatakan bahwa keadaan ini adalah kondisi genting yang harus segera ditangani." Ilham menegaskan kembali apa yang sebelumnya selalu saja dibebankan kepadanya, ulah Satria yang tidak pernah berhenti untuk meminta bantuannya menyelesaikan permasalahan mengenai seseorang yang dapat mengurus rumah lamanya tersebut.

"Mengapa kau justru bersikap seperti ini?!" desahan berat, tanda frustasi dikeluarkan secara bersamaan oleh Ilham.

Pria itu pasti merasa begitu kesulitan karena ia tidak pernah menyangka bahwasanya Satria —sang Kapten, Nahkoda di kapal pesiar tempatnya bekerja tersebut— akan menjadi sosok yang begitu pemilih hanya dikarenakan sebuah rumah yang sebenarnya juga tidak pernah ia pikirkan.

"Benar, Ham. Saya memang sebelumnya mengatakan bahwa kondisi yang saya alami sangat urgent. Akan tetapi, tetap saja, bagaimana bisa kamu memberikan rumah tersebut kepada orang yang bahkan kebiasaannya begitu buruk."

"Kamu tahu? Baru semalam pria itu tinggal di rumah itu, tetapi laporan yang diberikan oleh para tetangga mengatakan bahwa ia terus-menerus membuat kekacauan. Apa saya memberikan tempat hunian gratis itu untuk dirusak olehnya dipergunakan sesuka hatinya?"

Ilham terdiam.

Yang sebelumnya ia begitu merasa jengah dan kesal kepada atasannya itu pada akhirnya memutuskan untuk mengunci mulutnya rapat-rapat sebelum kembali salah bicara.

Ia tidak mengetahui apa yang sepenuhnya terjadi, sehingga harus memprotes tanpa mencari tahu terlebih dahulu, itu merupakan tindakan yang bisa dibilang tidak terpuji.

Hening.

Satria masih belum selesai menjelaskan apa yang memberinya alasan kuat untuk menendang pria itu dari rumahnya, "Saya mencari seseorang yang secara sukarela untuk dapat tinggal di sana. Dengan syarat dapat menjadikan rumah tersebut sebagai rumahnya —merawat tempat itu, sebaik dan serajin yang ia biasa lakukan."

"Harus ada timbal balik, tidak serta merta dua orang yang berada di bawah kontrak untuk menjaga dan diuntungkan begitu saja."

Ceramah panjang lebar, Satria kembali mengingatkan. Ia bahkan harus kembali bermondar-mandir seperti layaknya seseorang yang tengah memberikan instruksi dengan sabar pada Ilham.

Pertama; rumah itu harus senantiasa bersih dan terjaga, perabotan yang menghiasi setiap ruangan harus ditata sedemikian rupa. Satria benci sesuatu yang tidak sejalan dengan hal yang seharusnya. Ia juga tidak suka kotor.

Kedua; penyortiran sampah tidak boleh terlupakan atau terlewati untuk dilakukan setiap harinya. Pria yang tertib, disiplin, dan taat pada peraturan, ia membutuhkan seseorang yang seperti dirinya dalam merawat tempat tersebut.

Ketiga; tidak ada kegiatan yang terlalu berlebihan yang dilakukan di rumahnya. Seperti pesta, atau apapun yang menimbulkan kekacauan sehingga berpotensi untuk merusak keindahan rumah

"Capt, tidak mudah mencari penyewa yang dapat melakukan setiap kriteria yang kau sebutkan tadi." setelah lama memilih untuk bungkam dan mendengarkan pada akhirnya Ilham memberikan komentarnya mengenai rentetan kalimat yang telah Satria ujarkan dan terangkan padanya.

Satria menghela napas, "Kamu hanya belum menemukannya, Ham. Itu bukan sesuatu yang sulit untuk dicari."

"Apa ada pria yang sesempurna itu yang bisa merawat rumahmu?!"

Benar, satu lagi. Kriteria yang tidak boleh terlewatkan.

Keempat; penyewa yang ia butuhkan haruslah seorang laki-laki. Tidak boleh perempuan atau makhluk yang tidak jelas identitasnya.

"Pria yang serajin —"

"Ada, buktinya selama ini saya melakukan hal tersebut. Ada, Ham. Kamu tidak lihat kebiasaan saya?"

"Itulah yang aku maksud, Capt. Pria sepertimu hanya ada satu diantara milyaran populasi di bumi ini." suara Ilham terdengar merajuk. Mengomel, memprotes. Semua cara tlah ia lakukan.

Ia kesal, karena tugas yang harus mendadak dirinya peroleh —dapatkan di masa-masa liburannya benar-benar begitu memberatkan, jujur saja.

Harus kemana lagi ia mencari seseorang yang bisa memuaskan kegelisahan Satria?

"Apa kamu sudah tidak lagi berminat untuk datang ke ke tempat yang sebelumnya —"

"Baik, akan aku lakukan. Aku akan mencari penyewa hingga ke seluruh penjuru dunia hanya untuk dirimu."