webnovel

Hasrat Genderuwo

Dina adalah seorang wanita yang pernah menjadi gundik dari bangsa genderuwo. sehingga melahirkan anak yang buruk rupa. Dina yang malu, akhirnya hijrah ke Surabaya untuk memulai kehidupan barunya. bahkan dia menikah dengan Angga, seorang Pelaut yang cukup sukses. Resiko menjadi istri pelaut adalah sering di tinggal sehingga membuat Dina menjadi kesepian. sampai suatu ketika dia merasakan hasrat yang sangat menggebu. Hanya Genderuwo yang bisa menuntaskan syahwatnya. sehingga tanpa sepengetahuan Angga, Dina kembali terbuai dengan masa lalunya, terjerat lebih dalam. ingin sekali dia terbebas, namun dia tidak kuasa melepas hasratnya yang semakin menjadi-jadi.

Lazuarrdi · ファンタジー
レビュー数が足りません
414 Chs

Supervisor Songong

Aku berjalan dengan tergopoh-gopoh ke restoran. jam operasional restoran di mulai pukul sembilan pagi. itu artinya aku sudah dua jam aku telat.

Terlihat sekuriti yang berjaga di basemen, tepat di pintu masuk karyawan memandangiku sinis.

Namun, tidak sepatah katapun terlontar dari mulutnya. Meski, aku tersinggung dengan pandangannya, tetapi aku tidak mau menanggapinya. Lalu, aku bergegas menuju loker cewe. Tidak semuanya tampak sepi.

Segera aku mengganti pakaian dan berbenah diri dengan tergesa-gesa. Baru dua hari kerja, aku sudah telat. Dan ini semua gara-gara Anton dan Pak Sugeng. Meski logika memintaku untuk segera lepas dari mereka. Namun, entah kenapa ada satu sisi dimana aku merasa nyaman. Terlebih kalau bersama Anton.

Penampilanku sudah ok, aku pun beringsut menuju restoran. sesampainya di kasir tempat aku bekerja, seorang supervisor menegurku.

"Bagus ya kamu? jam berapa ini? kenapa baru berangkat!" Seorang wanita menggunakan pakaian formal bersendekap sembari memandangiku.

"Maaf Bu, saya tadi terlambat bangun." Sahutku singkat. Aku menunduk dengan posisi kedua tangan yang bertumbuk di depan. Aku masih menghormatinya karena dia atasan dan memang ini adalah kesalahanku.

"Oh gitu." Dia menggerakan kepalanya sembari alis yang yang tebal terangkat naik. Posisi yang semua bersendekap tangan, kemudian berubah menjadi berkacak pinggang.

"Kalau bukan karena pemilik restoran ini yang membawamu kerja disini! sudah kupecat kamu! baru dua hari kerja sudah bikin masalah."

Kini, aku mendongak. Tatapanku bertubrukan dengan tatapannya matanya yang tajam. Apa yang dia katakan memang benar. Tetapi, nada bicaranya yang membuatku sangat terusik.

"Maaf Bu, ini memang kesalahan saya. Saya salah. saya berjanji untuk datang tepat waktu." Aku menekan nada bicaraku serendah mungkin. Tidak mau terjadi konflik yang lebih besar. Aku berfikir dengan begitu masalah akan selesai. Tapi ternyata, Wanita di depanku ini justru menyinggung masalah lain.

"Kamu sudah bersuami?" tanyanya penuh selidik. Aku menghela nafas sejenak. membuang emosi bersama karbondioksida yang kukeluarkan.

"Sudah Bu. Suami saya adalah seorang pelaut."

"Pantes ganjen." dia memandangku dari atas sampai bawah, seakan merendahkan.

"Maksud ibu apa?" sahutku dengan nada yang terasa sesak. Lantang sekali wanita ini berkata.

"Iya, suami kamu jauh, makanya kamu ganjen sama pria lain. tak tanggung-tanggung lagi, sama Pak Pras Bos pemilik restoran ini!" Mulutnya seperti kendaraan kencang tanpa rem. Rahangku gemeletukan.

"Maaf ya Bu. Tapi pak Pras sendiri yang memintaku untuk bekerja disini. lagian aku sama beliau tidak punya hubungan apa-apa."

"Oh, iya? Kau pikir aku tidak tahu kalau Bu Wiwin memecatmu secara tidak hormat? Gara-gara kerjamu enggak becus?"

Aku terdiam sembari memandanginya nanar. Sementara wanita ular tersebut tersenyum miring penuh kemenangan.

"Tapi Pak Pras membelamu di depan ibunya sendiri, sampai terjadi pertengkaran hebat. Sampai akhirnya beliau membawamu kesini?" dia melirik ke atas sembari mengetukan telunjuk ke dagunya beberapa kali. setelah beberapa saat, dia menoleh ke arahku, "Dukun mana yang kamu pakai sampai Pak Bos tergila-gila sama kamu!"

Buk!

Aku mendorongnya secara refleks sampai mengenai mesin komputer kasir. Karyawan kasir yang lain sampai menjerit. Emosi sudah terbendung lagi. Wanita itu merintih kesakitan.

"Aku diam bukan berarti kamu bisa menginjak-nginjak diriku ya! Sekali lagi kau bicara seperti itu! ku sobek mulutmu pakai pisau." Aku menuding ke arahnya. Wanita itu mendelik. Dia bangkit dan langsung mencengkeram rambutku.

AWWW

"Dasar kau wanita murahan! Rasakan ini!" dia menjambak rambutku yang sudah tergelung rapi menjadi berantakan. Hal itu menarik perhatian semua pengunjung restoran. Beberapa Karyawan mencoba untuk melerai.

"Sudah jangan halangi saya, ayo ikut aku jalang!" ucapnya sembari menarik rambutku menuju belakang. cengkramannya begitu kuat. tanganku tidak sanggup untuk melepasnya. Akhirnya aku hanya berjalan membungkuk sembari mengikutinya.

BUKKK

KYAA

Tepat sampai di belakang restoran, aku menendang perutnya. Sontak dia membungkuk sembari memegangi perutnya yang kesakitan. Langsung aku mendorong tubuhnya sampai tersungkur di tanah.

"Mentang-mentang kau supervisor disini? kau bisa seenaknya menghina orang!" pekikku dengan emosi yang meluap. Cukup Anton dan Sugeng yang sering menghinaku. Kalau ada orang lain yang melakukan hal yang sama, kupastikan hidupnya tidak akan tenang.

"Jalang!" dia mencoba untuk bangkit. Namun sekali tendanganku cukup membuatnya tersungkur kembali.

"Hentikan!" Seru Pras yang muncul dari pintu belakang. ketika aku menoleh. Ternyata tidak hanya pras, melainkan beberapa karyawan juga ikut melihat.

"Ada apa Ini? hah?" tanya Pras sembari memandangiku dan wanita itu bergantian.

"Dia marah karena saya menegurnya Pak, dia datang terlambat tadi." Ujarnya dengan suara yang yang lemah lembut. Cuih. Ingin rasanya aku meludahi mulutnya itu.

"Apa benar begitu Dina?"

Aku hanya terdiam. Aku menatap sinis ke arah wanita yang sedang berakting seolah-olah dia yang teraniaya itu.

"Baik, sekarang kalian berdua. Ikut saya ke ruangan saya."

***

"Kamu saya pecat!" Tutur Pras yang membuat Wanita di sampingku terperanjat. Pras duduk di tempatnya, sementara aku dan supervisor sialan tadi duduk berdampingan di hadapannya.

"Lho Pak! enggak bisa gitu Pak! saya kan Cuma menegur dia!"

"Apa pantas menegur sambil menghina? Apalagi sampai menyangkut pribadi seseorang! Seharusnya sebagai atasan, kamu harus bisa memberikan contoh yang baik, bukannya menyalahgunakannya untuk merendahkan karyawanmu!" Tandas Pras yang nada bicara yang berwibawa.

Wanita menggeleng-gelengkan pelan. Mungkin, dia tidak habis pikir dengan Pras yang seakan berpihak kepadaku. Refleks dia berdiri sampai kursi tempat duduknya terdorong kebelakang.

"Sudah kuduga, kalau bapak punya hubungan khusus dengan dia sampai-sampai membelanya mati-matian." Tukasnya yang terkesan konyol.

"Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jelas-jelas kamu yang salah" Kini Pras yang berdiri. badannya condong ke arah wanita tadi.

"Saya tahu kalau Bu wiwin sangat membenci Wanita kampung ini, dan hmmmm... bagaimana ya kalau sampai keluarga keluarga ce Meimei tahu kalau Bapak ternyata selingkuh dengan karyawan rendahan seperti dia?" ujarnya tanpa rasa hormat sedikitpun.

"Jaga Mulutmu ya? Kau tidak berhak untuk mencampuri kehidupanku! Pergi dari ruangan saya!"

"Pras...Pras kau pikir saya takut! Saya tidak terima dengan perlakuanmu ini. Ingat! Cepat atau lambat usaha restoran ini akan hancur!" Ancamnya seraya berjalan keluar ruangan dan membanting pintu denga keras. Aku tidak tahu apa yang bakal wanita ular itu lakukan. Yang jelas, dia pasti punya sesuatu yang akan mewujudkan perkataannya. Aku sangat yakin akan hal itu.

"Kamu tidak apa-apa?" tutur Pras. Dia beringsut dari tempat duduknya dan menghampiriku.

"Kepala saya agak sakit Pak." Memang kepalaku agak sedikit ngilu karena di jambak oleh wanita itu. dalam lingkup ruang kerja, aku harus membiasakan diri untuk memanggilnya Pak.

"Vanny memang begitu. Dia dulu adalah karyawan biasa kepercayaan Mami. Sudah cukup lama dia ikut sama Mami. Sampai dia diangkat sebagai supervisor di restoran ini atas rekomendasi Mami. Karena mami begitu percaya dengannya, Dia bertingkah ngebossy. Dari awal, aku sudah muak dengannya, apalagi sikapnya yang suka mencampuri urusan orang." Jelasnya tentang wanita tua tadi.

Huh, pantas saja sikapnya belagu banget. rutukku dalam hati.

"Ya Ampun Dina berdarah. Kita ke rumah sakit ya?" serunya.

"Saya rasa tidak perlu Pak. Nanti juga sembuh sendiri. Saya tidak mau karyawan lain membenciku karena kedekatanku dengan bapak."

"Jangan begitu Dina..."

"Permisi Pak." Aku memotong perkataannya dan beranjak dari ruang itu menuju ruang loker.