webnovel

[ 07 ]

Langkah Lucyana berlawanan dengan kebanyakan siswa yang berbondong-bondong pergi ke arah gerbang sekolah. Perpustakaan adalah tujuan Lucy.

Sehabis menyapa guru perpustakaan yang juga hendak pulang, Lucy langsung masuk ke dalam ruangan beribu buku itu.

Tak lama dari sela-sela rak Lucy melihat gerombolan siswa memasuki perpustakaan. Harryan, Carlo, dan Aji datang dan langsung merapikan buku yang berserakkan. Mereka juga tidak mengerjakan Pr.

Tapi Harryan? Dia kan sudah mengerjakan PR, untuk apa anak itu disini?

Entahlah, Lucy tidak tahu dan kembali menyusun buku-buku.

"Lucyana.."

"BUNDAA!" Lucy terperanjat dan hampir saja melempar buku filsafat ke arah Felix.

"Astagaa, Lix! Kamu tuh ya, bikin banget aja!" Lucy menaruh buku filsafat ke rak yang berbeda. "Kalau nyapa tuh jangan pake deep voice dong, serem tau!"

Felix langsung tertawa keras setelah tidak sengaja berhasil membuat Lucy terkejut.

"By the way, lo anaknya emang kagetan apa?—ak!" Felix yang baru terkikik langsung dilempari buku oleh Harryan tanpa alasan.

"ADA LUCY GA?!"

Jovanka melirik ke beberapa sudut. "LUCIEEEE?"

Semua melihat ke arah pintu. Disusul Jovanka, Kalila berlari mencari Lucy.

"Lucy nya di sebelah cogan!" sahut Harryan.

"Cot." Kalila hanya melenggang melewati Harryan.

"Kita tinggal ke toilet bentar kamu udah ilang," ujar Jovanka.

Lucy terheran, "Kalian kenapa nyusul?"

"Ya jalanin hukuman bareng dong!" potong Kalila yang langsung menyusun buku-buku khusus kelas 11.

"Tapi kan kalian ga di suruh sama Pak—"

"Kita kan nyontek nya bareng, masa iya kamu di hukum sendirian." Jovanka melirik Lucy sekilas lalu mulai membersihkan deretan buku dengan kemonceng berbulu hitam.

"Ooh bagus, kalau gitu bagi-bagi tugas aja. Lo nyapu," Harryan menunjuk Jovanka. "Lucy beresin buku sama yang lain, terus lo ngepel." kalimat terakhir, Haryyan tujukan untuk Kalila.

Kalila lantas mendelik tak terima. "Dih kok gue? Ogah! Lo aja yang ngepel! Gue Jojo sama Lucy beresin buku! Laki-laki bagian nyapu sama ngepel," ujarnya kemudian.

"Felix refused your invitation."

"Gue ga mau ngepel." Sahut Aji yang entah dimana wujudnya.

"Gue juga gak mau, capek woi." Jovanka ikut berbeo.

"Tiga lawan dua, lo kalah berarti lo yang ngepel." Harryan tersenyum sinis ke arah Kalila yang sudah kesal.

"Eh Lucy gak di itung enak aja," sambar Jovanka.

Aji dan Felix bergabung menunggu bagaimana kesepakatannya.

"Cewek yang nyapu atau cewek yang ngepel ?" Tanya Aji.

Kalila langsung memukul lengan Aji. "Itu si maunya lo!"

Yang di pukul mengaduh. Sekali lagi mereka menunggu jawaban Lucy. Seakan suara Lucy sangat menentukan nasib hidup mereka semua.

"Aku aja yang ngepel, kalian beresin buku aja deh," final Lucy.

"Ngga! Kita jangan ngepel, Lucy!" seru Kalola.

"Gapapa ko biar aku aja yang ngepel, aku ambil pel nya dulu." Lucu pergi dari kelima orang itu.

Lucy mencari alat kebersihan di dekat toilet perpustakaan. Namun toiletnya sudah terkunci. Langkahnya kini mengarah ke lantai dua gedung B, kelasnya. Ia yakin kelasnya pun pasti belum dikunci.

Mendorong satu pintu, betapa terkejutnya Lucy yang menangkap sosok laki-laki berada di dekat jendela. Hampir saja ia memekik keras sebab terkejut.

Seorang anak laki-laki tengah memejamkan matanya dengan earphone di telinganya. Mungkin ia sedang mendengarkan satu lagu? Entahlah. Yang pasti anak itu belum pulang.

Sadar dengan kehadiran seseorang, Aziel menoleh dan melihat Lucy di ambang pintu. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Aziel melepas earphone yang bertengger di telinganya.

Lucy menelan saliva menatap anak laki-laki yang hanya terdiam itu. Ia memilih berdeham untuk memecah kecanggungannya.

"H-hai," sapa Lucy. Hanya itu yang terpikir olehnya.

Diantara minimal dua pertanyaan yang bisa dilontarkan seperti apa yang sedang Aziel lakukan di kelas atau kenapa ia masih belum pulang; Lucy memilih menyapa Aziel.

"Hai," balas Aziel dengan suara yang terdengar sangat halus di telinga Lucy.

"....."

Lalu mereka menjadi canggung.

Pel telah berada dalam genggamannya, dan Lucy masih bingung harus bersikap bagaimana.

"Aziel!" Setelah detik-detik penuh kecanggungan, Lucy akhirnya bersuara. "Soal terakhir kali, aku.. aku minta maaf."

Aziel mengerutkan alisnya yang tebal. Sedetik kemudian ia paham dengan arah pembicaraan Lucy.

"Maaf untuk?"

"Itu.. kemarin di Bandung aku udah banyak ngerepotin kamu. aku yakin baju kamu juga kotor gara-gara ingus aku," Lucy menahan malu. "Mana waktu itu ga bilang makasih, tadi pagi aku juga bikin kamu ga nyaman waktu perkenalan—"

Lucy terheran melihat air wajah lawan bicaranya yang justru tersenyum hampir tertawa.

Ia mengambil beberapa langkah kedepan. "Kenapa ketawa?"

"Kamu ngomong seolah kejadian kemarin itu sebuah kejahatan," kali ini Aziel tertawa.

Eh?

"Kamu ga marah? Tapi kenapa? Bahkan harusnya kemarin kamu anggep aku perempuan gila. Aku emang malu-maluin kemarin itu,"

"There's no reason to be mad at you or call you as a crazy girl because you're not," jawab Aziel. Namun sepertinya gadis itu butuh penjelasan lebih spesifik dari Aziel sekarang juga.

"Kamu ga perlu minta maaf lagi atau ngerasa bersalah soal kejadian di Bandung." Ia mengakhiri ujarannya dengan tenang.

Lucy masih menyurutkan pandangnya dan menggeleng samar. "Tapi tetep aja, kamu tau kemarin itu ingus-ah aku bener-bener malu banget sekarang."

"Anggap aja cara bertemu kita kemarin itu unik, aku ga keberatan." Laki-laki itu tersenyum tipis, mencoba memberi alasan yang lebih menenangkan.

"Can we be friend?"

Lima detik berikutnya Lucy habiskan dengan membisu. Ia memastikan pendengarannya tidak salah menangkap tawaran dari Aziel.

"Ah, itu," Aziel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maksud aku—"

"Sure, we can get closer and I hope we can be best friend too." Final Lucy tanpa ragu. Meski berakhir dengan terkekeh kikuk.

Oh? Apa ini?

Lucy dibuat membeku saat laki-laki di hadapannya itu kembali menarik kedua sudut bibirnya. Sebuah senyuman yang rasanya mampu menembus hingga membuat paru-paru berhenti berfungsi sesaat.

"Lucy,"

Suara itu membuat Aziel juga Lucy menoleh ke ambang pintu. Harryan telah berdiri disana.

Entah sejak kapan.

"Yang lain udah nunggu, ayo." Dingin Harryan.

Lucy lantas menepuk jidatnya. "Astagaa, iya aku lupa!" seru Lucy.

"Maaf Aziel, aku harus piket perpus, sampai ketemu besok Aziel!" Lucy melambai sembari berlari.

Aziel membalas lambaian gadis itu dengan tersenyum. Dan netranya sempat bertemu dengan milik Harryan, sesaat sebelum anak bernama Harryan itu melengang pergi.

Harryan tahu, kejadian di halte kemarin. Di bawah hujan. Di Bandung.