webnovel

[ 02 ]

"A-ayah..?"

Lucyana mengerjapkan matanya, memastikan penglihatannya tidaklah salah.

Benar. Itu Lingga Kamarel, Ayah nya. Tanpa pikir panjang Lucyana langsung melangkah cepat—

"Ayah! Tadi aku dicakar kucing itu tapi aku gak nangis dong! Aku hebat kan?"

Langkah Lucy melambat dan berhenti tepat di hadapan seorang pria paruh baya yang sedang memeriksa keadaan lengan gadis kecil itu.

"Kakak, kamu siapa?" gadis kecil itu bersuara.

Menyadari seseorang berdiri di sisinya, pria paruh baya itu menoleh dengan terkejut. Ia bangkit dengan gugupnya, mencoba memastikan sosok putrinya itu selama beberapa saat.

Ketiga manusia itu saling melempar tatapan bingung.

"Ayah kenal sama Kakak ini?" gadis berusia 5 tahun itu menatap Lingga dan Lucyana secara bergantian.

Lingga sempat tak berkutik selama beberapa saat, "Lucy bisa kan pulang sendiri kan?" Gadis berambut ikal itu pun mengangguk yakin. "Lucy pulang duluan minta bersihin luka sama Bunda, Ayah ada perlu dulu sebentar."

Anak perempuan itu kemudian melambai pada Lingga tanpa menatap gadis disebelahnya.

Lucyana sempat melirik gadis kecil itu. Ia mendengar sebutan 'Ayah' dari mulut gadis itu—dan Lingga memanggil anak kecil itu dengan nama yang sama dengannya. Lucyana.

Lucy mencoba memberanikan diri. Tangannya mulai mengepal dan begitu gemetar. Namun ia menyeringai pada detik berikutnya. "Ah, jadi dia anak gadis Ayah?"

Mulut Lingga sudah terbuka, namun ia tidak mengatakan apapun selama beberapa saat. "Kenapa kamu bisa disini?—"

"Kenapa namanya harus Lucyana?" Gadis itu menyela, lalu menatap Lingga dengan mata yang memerah.

Lingga menghela napas panjang dan terduduk di kursi taman. "Duduk dulu, biar Ayah jelaskan."

Meski enggan, Lucyana tetap terduduk pada akhirnya. Kini Ayah dan anak itu saling memperhatikan. Ah, sebenarnya tidak, Lucy hanya membuang wajah ke arah samping ketika Lingga menatapnya dengan perasaan.. bersalah?

"Kamu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik," puji Lingga sambil tersenyum. Ingin sekali rasanya membelai surai sang putri, namun rasanya itu tidak mungkin.

Yang di puji masih tak mau menatap. Pria berusia 42 tahun itu menghela napas. Sepertinya memang bukan pujian yang ingin Lucy dengar saat ini.

"Anak perempuan tadi, dia anak Ayah, adik kamu juga,"

Otot-otot di dahi Lucy kian berkerut. Sesuatu di dalam dadanya seketika mencelus namun bibirnya menyeringai samar.

"Ayah rindu kamu, nak. Waktu iyu Ayah pikir dengan memberi nama yang sama dapat meredakan rasa rindu Ayah." Ujar Lingga yang berusaha jujur.

Gadis berusia 18 tahun itu hampir saja menyeringai untuk yang kedua kalinya di hadapan Ayahnya.

Lucyana menoleh, "Kalau Ayah bener-bener ngerasa begitu seharusnya Ayah berusaha temuin Lucy," ia bisa merasakan gemeretak pada gerahamnya. "Dengan ngasih nama yang sama, bukan berarti Ayah bisa nemuin diri aku dalam sosok anak yang lain."

Lingga diam. Ia sudah menduga suatu saat Lucy akan bereaksi seperti ini.

"Harusnya Ayah gak pergi menghilang selama 6 tahun ini. Seharusnya Ayah ada di saat Lucy sama Bunda benar-benar butuh Ayah." Seluruh darah dalam tubuh Lucyana mendidih. "Kenapa Ayah bisa setega ini? Kenapa Ayah pergi bertahun-tahun lalu berkeluarga lagi tanpa sepengetahuan Lucy juga Bunda?!"

Ayah dua anak itu seketika mengernyitkan dahi bingung. Sekali lagi Lingga mencoba memahami ujaran putrinya. Setelah beberapa saat diam, ia menghela napas.

"Apa Nadine masih belum menjelaskannya juga?"

Licy menatap sang Ayah dengan terkejut. Seumur hidup, baru kali ini ia mendengar Ayahnya menyebut sang Bunda dengan nama langsung.

"Apa.." kini giliran Lucy yang kebingungan. "Apa yang belum Bunda jelasin ke Lucy?"

Lingga mendengus kasar. "Wanita itu benar-benar.."

Menatap anak perempuannya, Lingga merasa dilema saat mengatakan, "Ayah dan Bunda kamu sudah cerai sejak 6 tahun lalu."

Dan, hanya dengan kalimat itu saja sudah mampu membuat Lucy membatu. Seluruh organ tubuhnya seolah melumpuh dalam hitungan detik.

"Mungkin ini berat untuk kamu, tapi sekarang kamu sudah dewasa, nak. Kamu harus paham dengan kondisi yang sekarang. Nadine juga seharusnya tidak menutup-nutupi ini dari kamu."

"Ah, jadi begitu," gumam Lucy setelah terdiam cukup lama, ia tersenyum menyedihkan lalu menatap Lingga.

"Jadi ini alasan kenapa Ayah pergi 6 tahun terakhir, ini alasan kenapa Bunda selalu ngalihin pembicaraan tiap kali Lucy tanya soal Ayah." Gadis bersurai hitam itu sempat tertawa miris sebelum memalingkan wajahnya yang memelas.

Air hujan sudah mulai berjatuhan dan mengetuk tanah. Sementara Lucy perlu mencerna segalanya saat ini.

Menatap Lingga, Lucy tersenyum, lirih. "Ayah gak perlu khawatir, Lucy paham sekarang," Lucy memasukkan kameranya ke dalam tas. "Lucy harus pulang."

Lingga mencoba mencekat tangan Lucy. Sudah lama ia tak bertemu dengan putri sulungnya dan kini Lucy memilih lekas pergi.

"Nak.."

Lucy mendapati Lingga berdiri tepat di hadapannya.

"Sebelum kamu pergi, bisa Ayah mau peluk kamu sebentar?" Pinta Lingga. Lingga memeluk dan menepuk pundak anak gadisnya sesekali. "Maaf, karena belum bisa jadi Ayah yang baik untuk kamu—"

Lucy segera melepas peluk, rasa kecewa terlanjur mendominasi perasaannya. "Aku pergi."

Lingga menatap bayangan putrinya yang perlahan menghilang dari pandangnya. Bahkan ia belum mendapat jawaban mengapa Lucyana bisa berada di tempat ini sendirian?

_____

Dengan kakinya yang kecil Lucy tidak tahu akan melangkah kemana. Angin dingin mulai menusuk permukaan kulitnya. Langit sore ini tidak bagus. Tidak ada semburat jingga disana. Hanya langit yang sudah menggelap. Itu terlihat horor.

Satu tetes,

Dua tetes—

Disaat seperti ini, tamu tak diundang hujan pun ikut memancing Lucy untuk menangis ketika menyusuri trotoar. Dadanya terasa jauh lebih sesak daripada tadi saat bertemu Lingga. Sebab air matanya lancang melolos tanpa henti sekarang.

Lucy tidak peduli dengan situasinya yang sudah seperti drama ini.

Gadis itu berpikir keras dengan apa-apa yang sudah dilaluinya lima tahun terakhir. Bagaimana bisa kedua orang tuanya begitu handal memainkan peran mereka masing-masing?

Lucy kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Ia merasa bodoh. Bagaimana bisa ia tak mengetahui bahkan tidak sadar dengan keluarga kecilnya yang sudah hancur, sejak lama?

Tentang Lingga, Lucy pikir ayahnya itu pergi selama ini, setidaknya karena urusan pekerjaan. Seperti apa yang Nadine katakan. Namun beberapa saat yang lalu, gadis kecil tadi telah berhasil membongkar kebenarannya.

Lalu Nadine, mengapa Nadine harus berbohong soal ini kepada Lucyana?

Rasanya Lucy tak mampu mencerna apapun saat ini. Pikirannya terlalu penuh dan kacau hingga ia siap untuk meledak.

Tangisan sang langit mulai terlihat. Langkah Lucy terus berjalan hingga melihat sebuah halte dari jarak dekat. Dengan tatapannya yang buram karena air mata, ia hendak menepi di halte.

Netranya terpatri pada sesosok laki-laki yang berjalan sedikit lebih cepat disampingnya.

Brugh!

Grep!

Tanpa ijin Lucy meraih tangan lelaki asing dan membuat si empunya memutar tubuh.

Beruntung, ada laki-laki di hadapannya yang terkesiap menangkap Lucy. Jika tidak gadis itu pasti sudah terjerembap ke tanah.

"Maaf," Lucy membungkukkan tubuhnya karena sudah tak sengaja memegang tangan lelaki itu.

Laki-laki itu mengangguk pelan seolah bersikap biasa saja dan menepi bersama di bawah halte. Bibirnya tak terkatup sempurna seolah ingin tersenyum pada tangisan langit.

Namun ia mendapat tatapan dari perempuan di sebelahnya. Laki-laki itu balik menatap Lucy dengan kebingungan. Tatapan Lucy seolah mengisyaratkan ia membutuhkan bantuan.

Tatapan sang gadis nampak kosong, meski jejak air mata jelas terlihat di pipinya. Gadis itu terlihat sangat kesepian dan penuh sendu. Pada detik berikutnya, ia melihat gadis itu menangis.

"Kamu gak apa-apa?"

"...."

"Kamu—"

Lucy terus mengejar bola mata itu, gadis itu menggeleng. "Tolong peluk aku,"

Grep!

Netra lelaki itu membulat. Tentu, laki-laki itu cukup terkejut meski ia tak bereaksi apapun.

Entah apa yang ada dalam pikiran pianis muda ini. Lucy mengambil satu langkah lebih dekat dan memeluk laki-laki di hadapannya.

Ya. Lucy baru saja memeluk seorang laki-laki asing.

Bisa dipastikan jika kewarasannya telah menghilang saat ini.

"Bunda, Ayah, bagaimana bisa mereka hebat berbohong sampai hari ini. Dan kenapa cuma aku yang gak tau apa-apa? Lalu sekarang, kenapa aku harus nabrak kamu? Kenapa aku bisa sebodoh ini?!"

Tangis Lucy pecah saat itu juga, pun dengan raungannya.

"Apa yang salah dalam diri aku sampai aku harus dihadapin sama kenyataan pahit ini.."

Gadis itu berteriak melawan derasnya suara hujan. Jika di dengar baik-baik, raungannya terdengar sangat parau dan.. sedikit frustasi?

Untuk pertama kalinya, tanpa berpikir lebih lama lagi laki-laki bernetra cokelat itu membawa Lucy ke dalam dekapannya. Membiarkan gadis yang sama sekali tak dikenalnya itu menangis.

"Itu pasti menyakitkan," ucap samar lelaki itu.

Apapun itu, satu hal yang diyakini lelaki asing ini, bahwa gadis yang memeluknya ini sedang tidak baik-baik saja.

"Menangislah. Kamu boleh nangis sebanyak yang kamu mau," ucapnya dengan penuh kelembutan. "Semuanya akan baik-baik saja."

Tanpa Lucy sadari, lengannya sudah melingkar erat pada laki-laki asing itu. Tangisnya benar-benar tak terkendali setelah laki-laki itu menepuk sesekali pundaknya yang kecil.

Tidak ada hal lain yang Lucy inginkan saat itu, kecuali menangis.