webnovel

GERIMIS SENDU

WARNING (21+)!!! Harap bijak memilih bacaan. Terdapat adegan yang mungkin kurang nyaman. Atau kurang cocok untuk pembaca di bawah 21 tahun. seorang gadis yang hidupnya penuh dengan cobaan yang sama sekali tak pernah ia ingin hal itu terjadi dalam hidupnya. lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang selalu dipenuhi dengan kekerasan fisik maupun verbal. Ali, cowok satu angkatan yang jauh hati pada Davina meskipun awalnya mereka saling membencinya. Pria baik dan tulus pada Davina. Rico Hardinata, pria playboy yang punya segudang antrean wanita yang bisa dengan mudah ia dapatkan. Suatu ketika terjadi tragedi yang mengakibatkan kenangan indah akan masa sekolah berubah menjadi kenangan paling buruk untuk ketiganya.

YuiSakura · 都市
レビュー数が足りません
400 Chs

Masalah Baru (21+)

Tapi entah mengapa, Davina masih saja menatap Ali. Kancing bajunya bagian atas sudah terlepas dua buah. Itu berarti bagian dalam milik Davina sudah terekspos di depan Ali.

"Tu - tutup," ujar Ali sambil berbalik membelakangi Davina.

Namun, entah setan apa yang sedang merasuki Davina, gadis itu meraih tangan Ali.

"Vina, aku .... "

"Ali .... " Davina menunduk sambil tangannya menggenggam erat tangan Ali.

Kini Ali memberanikan diri untuk menatap ke arah Davina. Wajah gadis itu memerah. Ada sesuatu yang terbakar di dalam diri keduanya.

"Vina .... " Ali menatap kekasihnya itu dengan tatapan yang tak biasa.

Ia langsung meraih dagu Davina dah memagutnya sedemikian rupa sehingga Davina tak berkutik sama sekali.

Untuk ukuran anak remaja, Ali termasuk pintar dalam bermain dengan bibirnya.

DUAR! DUAR!

Terdengar suara petir menyambar. Ternyata di luar hujan. Rintikan air hujan mulai membasahi tanah di sekitar sekolah.

Davina dan Ali terlalu terbuai akan asmara yang terjalin di antara keduanya.

"Aah, Ali!" Davina memekik saat Ali dengan sengaja memegangi bagian bulat miliknya.

Ali menatap ke arah Davina yang matanya terpejam karena sentuhan tangannya. Ini adalah kali kedua ia begitu kurang ajar menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrimnya.

"Aaah, Ali!" Sekali lagi Davina memekik saat tangan Ali meremas bagian itu dengan sedikit tekanan.

"Rasanya gimana?" tanya Ali yang ingin tahu mengapa gadis ini memekik. Namun pekikan itu sungguh membuat Ali ketagihan.

"Engga tahu, rasanya aneh," sahut Davina.

"Aneh gimana? Sakit?"

"Sakit, tapi .... "

"Tapi apa?"

"Tapi geli," sahut Davina malu - malu.

Ali tersenyum menatap gadisnya itu. Tangannya ia beranikan untuk membuka seluruh kemeja Davina.

Ia menatap ke arah benda bulat itu dengan sangat takjub. Sementara Davina memalingkan wajahnya ke arah lain karena ia sangat malu.

Ali memegang benda itu dan melihat ekspresi Davina. Sentuhan pertama tak membuat reaksi apapun.

Ali kemudian menekan dengan sedikit tekanan.

"Aauw!" Davina memekik.

Karena semakin penasaran, Ali membuka penutup benda itu. Terlihatlah isi bagian itu. Hanya saja saat itu Davina langsung menolak.

"Ali, kita terlalu jauh. Aku ngga mau," ucap Davina.

Sejenak Ali menatap ke arah Davina. Dan Ali teringat akan ibu dan adiknya. Ia langsung mengurungkan niatnya untuk melakukan hal itu lebih lanjut.

"Maafin aku," ucap Ali.

Davina segera memakai pakaiannya. Mereka terdiam selama beberapa saat, sembari menunggu hujan reda.

"Ali, ini ngga benar," ujar Davina.

"Aku, tahu. Tapi aku ngga pernah bisa kontrol diriku saat ada kamu. Gimana kalau kita nikah aja, Vin. Aku ... aku terlalu tergila - gila sama kamu. Dan aku ngga mau kamu jadi milik orang lain. Kita nikah," ujar Ali.

"Ali itu engga mungkin. Kamu tahu bapakku engga suka sama kamu," ujar Davina sedih. "Lagipula kita masih sekolah. Engga mungkin kita nikah."

BRAK!

Sesuatu terjatuh di depan kelas Davina. Davina dan Ali langsung bangkit. Mereka takut apa yang mereka lakukan tadi diketahui oleh orang lain.

Ali segera keluar, namun ia tak melihat siapapun di depan kelas.

"Ali gimana?" Davina terlihat ketakutan karena hal itu.

"Engga, kamu engga usah khawatir. Itu paling kucing," ucap Ali untuk memenangkan Davina.

"Aku ngga mau kita kayak begitu lagi. Aku takut Ali. Itu engga boleh kita lakuin," ujar Davina.

Ali menatap Davina dan merangkulnya. "Tenang aja. Engga akan terjadi lagi," ujar Ali.

***

Keesokan harinya Davina berangkat sekolah seperti biasa. Tak ada yang aneh. Namun saat melintas di depan Mading, beberapa anak terlihat berkumpul sambil bergunjing.

"Eh, masa, ada yang begituan di kelas?" ujar salah seorang siswa. Dan Davina tak sengaja mendengar.

"Itu ada fotonya," ujar siswa yang lain sambil menunjuk ke arah Mading.

Sontak Davina yang biasanya tak pernah peduli dengan apapun segera melihat ke arah Mading. Dan ia seketika gemetaran karena foto itu merujuk dirinya meskipun hanya terlihat sedikit bagian saja. Dan wajahnya pun tak terlihat. Baik dia maupun Ali.

Ia segera berlari mencari Ali ke kelasnya. Dan Ali ternyata tak masuk sekolah hari ini.

"Hah, gimana ini?" gumam Davina yang ketakutan luar biasa.

Ia berjalan gontai menuju ke kelasnya. Siapa? Siapa yang sudah memotretnya. Meskipun hanya menggunakan kamera VGA, dan tak ada wajah Davina ataupun Ali. Tetap saja, Davina sangat takut.

Sampai di kelas ia meletakkan tasnya. Rasanya ia ingin pulang saja. Baru kali ini dalam hidupnya, ia ingin pulang ke rumahnya yang juga penuh bencana di dalamnya.

"Vina!" sapa Ratna sambil menepuk pundak Davina.

"Eh!" Davina memekik karena kaget.

"Kenapa?" tanya Ratna heran.

"Eng - engga." Davina tak bisa menjawab Ratna dengan tegas seperti biasanya. Rasa cemas, takut dan kalut tak bisa ia sembunyikan saat ini.

"Ali katanya sakit, ya?" ujar Ratna.

"Hah, sakit?" Davina tak tahu bahwa kekasihnya sedang sakit.

"Iya, katanya semalam jatuh dari motor terus kakinya keseleo. Aku semalam SMS-an sama dua," ucap Ratna.

"Ah, begitu."

Davina tampak kecewa. Di saat seperti ini, Ali juga tertimpa musibah. Namun, karena ia tak memiliki ponsel, ia tak bisa tahu kabar terbaru dari pacarnya sendiri.

"Jenguk Ali, yuk," ajak Ratna.

Beruntungnya, Ratna tak membicarakan tentang gosip yang terpajang di Mading.

"Eum, aku engga bisa, Na. Hari ini aku mesti pulang cepet." Davina mencoba . mencari alasan karena ia tak bisa bertemu Ali dengan kondisi seperti ini.

Ia pasti ingin bercerita kepada Ali perihal yang terjadi di sekolah. Akan tetapi, itu tak bisa ia lakukan jika Ali sendiri sedang terkena musibah.

"Lah, kamu, kan pacarnya? Masa engga nengok?"

"Nanti aja kalau aku udah sempet," sahut Davina.

Selama seharian di sekolah, sungguh Davina amat sangat tak betah. Ia terlihat parno sekali. Apalagi jika ada yang berbisik - bisik. Ia akan merasa ia sedang digunjingkan teman - temannya.

Usai jam pelajaran selesai, tanpa basa basi, Davina langsung saja pergi meninggalkan kelas. Tak seperti biasanya, dia selalu mengkoreksi dulu pekerjaan dan tugas sekolahnya.

"Vina!" Rico yang juga baru saja keluar dari kelasnya, memanggilnya Davina yang melintas begitu saja di depan kelasnya.

Namun kali ini, Davina tak menggubris Rico sama sekali. Langkah kakinya juga terlihat terlalu cepat.

Rico segera mengejarnya Davina dan berjalan mengiringinya.

"Cepet banget jalannya?" tanya Rico.

Davina tak menjawab pertanyaan Rico. Pikirannya sedang kalut saat ini. Melihat ekspresi Davina yang terlihat cemas, hal itu membuat Rico cukup bertanya - tanya.

"Ada apa?" tanya Rico.

Davina hanya menggelengkan kepalanya. Tapi seorang Rico tak akan puas hanya dengan jawaban seperti itu.

Ia menarik tangan Davina dan menghadang Davina.

"Kalau aku tanya, kamu harus jawab. Ada apa?"

Bersambung ...