webnovel

GERIMIS SENDU

WARNING (21+)!!! Harap bijak memilih bacaan. Terdapat adegan yang mungkin kurang nyaman. Atau kurang cocok untuk pembaca di bawah 21 tahun. seorang gadis yang hidupnya penuh dengan cobaan yang sama sekali tak pernah ia ingin hal itu terjadi dalam hidupnya. lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang selalu dipenuhi dengan kekerasan fisik maupun verbal. Ali, cowok satu angkatan yang jauh hati pada Davina meskipun awalnya mereka saling membencinya. Pria baik dan tulus pada Davina. Rico Hardinata, pria playboy yang punya segudang antrean wanita yang bisa dengan mudah ia dapatkan. Suatu ketika terjadi tragedi yang mengakibatkan kenangan indah akan masa sekolah berubah menjadi kenangan paling buruk untuk ketiganya.

YuiSakura · 都市
レビュー数が足りません
400 Chs

Malu dan Duka

Hari sudah lewat maghrib, Davina sudah mulai terlihat resah dan gelisah. Mereka pergi dari rumah Davina dengan cara yang tak baik. Tentu Davina khawatir.

"Kamu mau pulang?" tanya Ali.

Davina menggelengkan kepalanya. Namun, ia juga takut jika tak pulang ayah dan Darwin kakaknya, akan marah.

"Kamu udah ijin ke luar rumah, Nduk?" tanya Alma.

"Engga, Bu," sahut Davina.

"Lho, nanti dicariin," sahut Alma.

Ali menatap ke arah Davina. Tergambar jelas dari sorot matanya yang terus berkedip dan helaan nafasnya yang berkali kali terdengar.

"Aku antar pulang, yuk. Nanti aku yang ngomong ke orangtua kamu," ujar Ali.

Davina menggelengkan kepalanya. Ia tentu saja takut pulang ke rumah. Meskipun ayahnya sudah memukuli sang anak begitu parahnya, sang ibu tetap tak melaporkan sang suami. Dan membiarkannya begitu saja.

"Ibu bukan ngga kasih ijin kamu di sini. Kamu ini, kan, anak perempuan. Engga baik, kalau engga pulang. Pulang, ya, Nak," ujar Khadijah.

"Engga apa apa, nanti aku yang bilang," ujar Ali.

Tak ada yang bisa Davina jelaskan pada Ali. Ini masalah keluarganya. Dan Ali tak akan mengerti. Ia akan sama seperti orang lain meminta agar ayahnya dilaporkan.

"Ya, udah," sahut Davina.

Ali mengambil motornya dan mengantar Davina Kembali ke rumahnya.

"Davina!" panggil Alma saat Davina hendak naik motor Ali.

"Iya," sahut Davina.

Alma menghampiri Davina lalu memeluk gadis itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Davina. Ia tak pernah dipeluk seperti ini oleh seseorang.

"Semua hal pasti ada jalan keluarnya. Lari dari masalah, tak menyelesaikan masalah. Hanya akan menundanya dan akan menjadi bom waktu. Kamu masih muda, masih panjang rentang masa depan kamu," ujar Alma.

Tak ada yang bisa Davina jawab. Rasanya seperti tertusuk belati. Kaya kata itu begitu hangat. Tapi hatinya sangat sakit merasakannya.

Ali dan Davina akhirnya pulang ke rumah Davina. Dalam perjalanan, Davina meneteskan air mata tanpa Ali ketahui.

Sampai di depan rumahnya, Davina segera turun. Ia memegangi kaos yang dipakai Ali. Rasanya ia tak ingin masuk ke dalam rumah.

"Aku ketemu ayah kamu, ya?" tanya Ali.

"Jangan," ujar Davina.

"Kenapa?" tanya Ali.

"Engga apa apa. Kamu pulang aja," ujar Davina.

Ali tak ingin meninggalkan Davina begitu saja. Ia bisa melihat jelas raut ketakutan di wajah Davina.

"Kamu baik baik aja, kan? Aku engga tega kalau kamu begini," ujar Ali.

"Engga apa apa," sahut Davina.

PRANG!

Dari dalam rumah Davina terdengar suara benda pecah. Dan beberapa kata makian yang begitu kasar.

Davina memejamkan matanya karena ayahnya sedang kalap seperti biasa.

"Ali, buruan pulang," ujar Davina.

"Ada apa?" tanya Ali.

"Engga ada apa apa. Kamu buruan pulang," ujar Davina.

"Aku besok akan ke sini lagi, ya?"

"Engga tahu. Pokoknya sekarang kamu pulang dulu," ujar Davina khawatir.

BRAK!

Pintu rumah Davina terbuka, sang ayah melemparkan pakaian Wati, ibunya.

"Pergi dari sini! Aku engga butuh wanita yang ngga bisa jaga anak! Aku akan cari istri lagi!" pekik Dirman.

Ali melihat dengan jelas, Dirman melemparkan pakaian dan mengatakan kata kata yang begitu kasar.

"Ali," ujar Davina lirih.

Ali lantas menoleh ke arah Davina. Gadis itu terlihat malu tapi juga sedih.

"Pergi," Dirman menarik tubuh Wati dan mendorongnya keluar rumah.

"Pak! Pak! Ini bukan salah ibu. Ini salahku! Pak!" Dani kakak kedua Davina terlihat membujuk sang ayah yang terlihat kalap sekali.

"Kumohon pergi, Ali. Kumohon," ujar Davina dengan suara yang bergetar. Ia benar benar malu. Karena Ali harus melihat kejadian ini depan mata kepalanya.

Dirman melihat Davina bersama Ali di depan rumah. Kemarahannya pun semakin memuncak karena hari sudah malam dan Davina baru pulang.

Ia menghampiri Davina dan menarik anak itu dengan kasar. Ali yang melihat itu langsung menahan Dirman agar tak bisa menyeret Davina.

"Siapa kamu!" pekik Dirman.

"Ali pergi!" sahut Davina.

"Bapak engga boleh begitu! Dia perempuan, apalagi dia anak Bapak!" pekik Ali.

"Anak kecil mau sok tahu. Pulang sana! Jangan dekati anakku!" sentak Dirman.

"Engga saya engga akan pulang!" sahut Ali.

"Ali, jangan Ali. Jangan!" pinta Davina.

"Jadi kamu dirawat di rumah sakit karena ayahmu? Kenapa engga lapor polisi? Ini penyiksaan namanya!" sahut Ali.

Wati segera menghampiri Davina, ia juga menarik sang suami agar tak meluapkan emosinya kepada Ali yang tak tahu apa apa.

"Nak, kamu pulang, ya. Ini masalah keluarga kami. Kamu pulang," ujar Wati.

"Iya, Ali. Kamu pulang," ujar Davina.

"Sana!" hardik Dirman.

Ali menatapnya ke arah Davina yang terlihat begitu tertekan.

"Pulang!" hardik Dirman seraya memukul kepala Ali.

"Bapak, jangan!" pekik Davina.

Davina segera menghampiri Ali dan memintanya untuk segera pulang.

"Pulang, Ali. Pulang," ucap Davina lirih.

"Besok kita ketemu lagi, ya," ujar Ali.

"Pulang ngga!" Dirman hendak memukul Ali lagi namun segera ditahan oleh Wati dan Davina.

Ali segera menyalakan mesin motornya dan berlalu meninggalkan rumah Davina.

***

Keesokan harinya, Ali datang kembali ke rumah Davina. Namun ia tak diijinkan bertemu Davina.

"Saya, kan, mau ketemu baik baik? Kenapa ngga boleh?" tanya Ali.

"Ngeyel aja, nih, orang. Engga boleh ya, engga boleh!" pekik Darwin.

Selama beberapa hari, Ali terus terusan ke rumah Davina namun tetap tak diijinkan untuk bertemu.

"Huuuftt" Ali menghela nafas kasar saat makan di kantin sekolah.

"Kenapa, Li?" tanya Margo teman sekelas Ali.

"Heum, engga apa apa," jawab Ali.

"Mikirin gebetan, ya? Kamu beberapa waktu lalu sering banget di depan kelas listrik. Demen sama Ratna, ya? Cakep emang,sih," ucap Margo.

"Engga, Cuma ngembaliin barang aja," ucap Ali.

Sesekali ia menyeruput es teh pesanannya. Raut wajahnya begitu terlihat kalau ia memikirkan sesuatu.

"Cepet tua, nanti kamu kalau mikir terus," ujar Margo.

"Apaan," sahut Ali.

Rombongan kelas listrik datang hendak makan di kantin. Ratna yang juga datang duduk tepat di depan Ali bersama teman teman yang lain.

"Li, disamperin cewek, tuh," goda Margo.

"Apaan, sih?" keluh Ali.

"Cocok lagi. Ceweknya cakep cowoknya cakep. Anaknya bakal cakep juga!" ujar Margo sambil tersenyum.

"Aneh aneh aja," gumam Ali tanpa melihat ke arah lain.

Entah mengapa candaan Margo malah menjadi gosip yang dipercaya oleh sekitarnya. Dari situ, tersebar gosip kalau Ali dan Ratna ada sesuatu.

Ali tak terlalu menggubris hal itu karena pada kenyataannya ia memang tak suka dengan Ratna.

Berbeda dengan Ratna, lama kelamaan, ia jadi terbiasa dan tak menyangkal hal itu.

"Ali!" sapa Ratna saat selesai pelajaran. Mereka tak sengaja bertemu di jalanan menuju ke perpustakaan.

"Oh, hai," ujar Ali.

"Mau ke perpustakaan, ya?" tanya Ratna dengan nada manis.

"Ya, jalan ke sana, sih, ke perpustakaan, ya," gumam Ali.

"Ih gitu banget. Maaf, ya soal gosip yang beredar. Aku engga ada maksud buat ... "

"Oh engga masalah. Cuma gosip, kan?" gumam Ali santai.

Bersambung ...