Hanin diam. Dia hanya menggeleng kecil kala bujari Zaki menyeka lembut pelupuk matanya. "Mn..."
"Hahh... cantik sekali," puji Zaki. "Tapi kenapa menangis? Bukankah kata-kataku tadi hanya pengandaian?"
Ada perih di mata Hanin. Semua dari luka yang teramat dalam. Pun tersimpan lama karena berbagai kekecewaan.
Kepercayaan setinggi gunung yang dia tanam pada kakak sepupunya itu, terbakar dan musnah tak bersisa sejak malam itu.
Malam yang buram sekali dalam ingatannya. Entah hari apa. Entah tanggal berapa. Dan entah dimana—yang pasti itu adalah hal yang paling abstrak hingga sekarang.
Mengubahnya.
Mengubah Zaki.
Mengubah pandangannya ke dunia ini.
"Ah, iya... aku baru ingat," kata Zaki tiba-tiba. "Kudengar dari Yusuf kau dekat dengan Khilmy ya, sekarang?" tanyanya selidik.
DEG
Mata Hanin menegang. "K-Kak Khilmy?" tanyanya refleks.
Zaki pun mendengus. "Hmph... jadi benar, ya..." desahnya jengkel. "Sejak kapan, hm? Dan kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"
"T-Tidak kok..." sangkal Hanin. Lalu segera melengos untuk memutus kontak mata.
"Ho... tidak tapi kau sampai memanggilnya seakrab itu, hm?" bantahnya. "Kak, ya? Haha... kedengarannya mesra sekali..."
Hanin pun langsung terlihat murung. "M-Maksudku tidak sedekat itu juga, Kak," katanya sepelan angin. Dia menatap Zaki dengan senyuman paksa kali ini. "K-Kak Khilmy itu kan... baik ke semua orang."
"Hmph, menurutmu begitu?" tanya Zaki retoris. Namun Hanin tetap mengangguk demi meyakinkannya.
"M-Mn."
Zaki mendecih. "Cih... jadi kamu mau bilang dia bukanlah siapapun?"
"I-Itu—"
"Memang kau pikir aku percaya, hah?!" bentak Zaki. Membuat Hanin terpejam. Sebab hal-hal kasar selalu menjadi mimpi buruk baginya. Terasa mengancamnya. Kemudian melemahkannya begitu saja.
"Ugh..."
"Bukankah sudah kubilang kau milikku?"
"T-Tapi Kak Khilmy hanya temanku, Kak..." lirih Hanin. Matanya kembali menggenang perlahan. Kedipnya membuat percikan basah. Hingga lelehan hangatnya turun ke pipi. "J-Jadi jangan marah..."
Suara Hanin semakin parau. Nyaris hilang. Sebab butuh keberanian besar untuk mengatakan itu.
"Begitu," kata Zaki datar.
Hanin terperangah sejenak. Dia pikir akan mendengar bentakan lagi atau semacamnya. Tapi tidak.
"M-Mn."
"Lalu, imbalannya?"
DEG
Tatapan Hanin berubah kosong.
"I-Imbalannya?"
Zaki tersenyum. "Kau meminta seorang teman, kan?" tanyanya. "Tidakkah itu terlalu besar kalau izinnya kuberikan secara Cuma-Cuma?"
Hanin diam. Dia terpana. Bingung. Tapi lantas merona begitu keningnya dikecup sayang.
"Mn, K-Kak Zaki—"
"Bukankah kau tahu yang kuinginkan?" bisik Zaki. Menyela tepat di telinganya Hanin. "Dan apa kau tidak merindukan sentuhanku?"
DEG
Hanin panik.
"A-Anu aku—"
"Sssstt..." desis Zaki. Dia tahan belahan bibir itu dengan telunjuk. "Sedikit pun?" tanyanya serius.
Dari mata ke mata.
Hanin mencari-cari sosok Zaki yang dulu masih bisa dia kenali. Yang ramah, murah senyum, selalu perhatian, dan baik padanya dalam situasi apapun. Sayang nihil.
"T-Tapi kan, ini tidak boleh..." kata Hanin pelan.
Zaki mendengus geli. "Hmph, serius kau masih peduli soal itu?" tanyanya. "Setelah selama ini?"
Kata-kata itu membuat udara ruangan semakin dingin. Entah kenapa.
Hanin pun kembali mendorong Zaki. "A-Aku tidak mau..." tolaknya. "Jangan, Kak..." tolaknya lagi.
"Jangan, katamu?"
"Ugh..." keluh Hanin. Lalu mencoba membela diri. "T-Tapi aku sudah belajar terus sekarang. T-tidak seperti waktu itu—"
"Bukankah itu terserahku?" sela Zaki.
DEG
"J-Jangan..."
Seketika Hanin pun berpaling begitu Zaki mendekat lagi.
"Hei..."
Kecupan gagal pun berakhir di leher.
"K-Kumohon..."