Lagi-lagi Hanin menjawab dengan gumaman. "Mn."
Membuat suasana disana sungguh canggung luar biasa.
Yusuf tahu akan begini, tapi memang... mau bagaimana lagi kalau sudah dititipi pesan.
"Begitu," kata Yusuf. Mendadak jadi bingung menyusun kata-kata selanjutnya.
"M-Memang kenapa, Kang?" tanya Hanin tanpa menatap. Dia justru memaku lantai saat itu.
"Eh? Ah, itu..." desah Yusuf. "Tadi Zaki titip pesen buat kamu," jelasnya perlahan. "Katanya kamu harus sempatkan ke kantor kalau sedang jaga air."
Mendengarnya, Hanin malah terlihat linglung sekali. "Oh..." desahnya pelan. "Mn."
Yusuf pun menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. Bingung setengah mati. "Semoga dia paham yang kukatakan..." gumamnya cemas. Tapi kemudian menaikkan oktaf suaranya. "Pokoknya sempatkan, ya Nin? Soalnya sepupumu itu mau ngomong soal Bapakmu. Kan kemarin sempat telepon."
Sayang, Hanin tetap diam begitu saja.bahkan hingga bel persiapan musyawaroh berdering sekali pun. Membuat Yusuf harus cepat-cepat pergi sebagai petugas syawir malam ini.
"Ah, ya sudahlah..." gumam Yusuf. "Yang penting pesan tadi sudah kusampaikan," katanya sebelum pergi.
Hanin justru memejamkan mata lagi setelahnya. Menikmati hembusan angin. Menikmati suasana malam yang temaram. Pun menikmati nyanyian jangkrik yang sejak tadi bersahutan seperti pesta.
Hanya saja, Cuma sebentar. Sebab Hanin tahu, jika pesan itu diabaikan, maka seseorang akan marah padanya dalam waktu dekat.
Hanin pun membuka mata lagi. Berkedip-kedip. Lalu segera berdiri dan menuju kantor... persis seperti dalm instruksi. Sembari mengira-ngira kapan nanti dia kembali.
***
Di dapur kantin, Mirza sedang menggoreng donat. Bernampan-nampan adonan sudah mengantri perhatiannya. Pun berbakul-bakul mendoan sudah siap disuguhkan di meja.
"Geni..." panggil Mirza tanpa menoleh. Fokusnya tetap pada wajan di depanya. "Hei, aku boleh minta tolong ndak?" tanyanya urgen.
Sayangnya, tak ada sahutan sekali pun.
Mirza pun menoleh ke belakang. "Eh?"
Tidak ada siapapun disana. Padahal tadi Geni masih mengupas bawang untuk persediaan masak besok.
BRAKH!
GLUDUK! GLUDUK!
"ADUH!" seru Geni dari luar. Bersamaan dengan 3 es batu yang berjatuhan di atas lantai keramik.
Refleks, Mirza pun meninggalkan meja kompor. "Hei, Geni! Kamu ndak papa, kan?" tanyanya setelah membuka pintu.
Geni jutru meringis-ringis saat itu. Dia bahkan menahan tawa, meski kakinya baru saja tertimpa lagi. "Hihihi... ndak papa kok, Kang. Barusan saya Cuma lagi atraksi..."
"Atraksi apanya!" bentak Mirza cemas. "Ya Allah... lihat kakimu! Belum kering juga luka yang tadi, sudah petakilan lagi, kamu!"
Darah pun merembes dari sana. Mengalir jatuh. Tepat pada sandal Geni dan mewarnainya.
"Hehe... habis Kang Khilmy bilang saya haru ambil es sendiri kalau dia ndak balik-balik," kata Geni. "Dan saya kelupaan tadi, makanya—"
"Tapi tetap saja, kan..." sela Mirza. Lalu menatap miris jemari Geni. Tak hanya kaki, yang di tangan pun sama parahnya saat ini. Sebab luka-luka itu mulai membiru. Bahkan ada yang pucat karena baru menahan dingin dari es batu. "Kamu harus hati-hati untuk lain kali, mengerti?"
Geni malah tersenyum mendengar omelan itu. "Nggih, Ibuk," katanya. Lalu menyalimi tangan Mirza selayaknya peran anak.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Bola mata Mirza langsung membulat saat tersadar. "Apa katamu tadi?!"
"Hehe..." cengir Geni. Tak peduli samasekali. Dia justru memunguti es-es itu sebelum masuk begitu saja.
Kesal, Mirza pun mengepalkan tangan tanpa sadar. "Astaghfirullah... anak ini!" desisnya seorang diri. "Hei, Geni! Kamu itu minta dihukum, ya? Hah?!" bentaknya. Lalu mencak-mencak menyusul Geni.
"Nggih, boleh..." jawab Geni santai. Dia tersenyum. Lalu memukuli es-es itu dengan palu. Prak! Prak! Prak!
BRAKH!
Satu per satu. Hingga remuklah ketiganya jadi serpihan dalam termos.
"Memang saya mau dihukum apa, Kang?" tanya Geni antusias.