Evan berusaha sekuat tenaga membuka matanya. Pelan-pelan ia mencoba mengatur nafasnya. Hal yang pertama ia lihat adalah wajah wanita yang sejak kemarin mengkhawatirkan dirinya, Dewi.
"Apa aku udah di surga?" tanya Evan.
Dewi terkesima mendengar ucapan pertama yang muncul dari mulut Evan. Ia bangkit dari duduknya yang semula di sebelah Evan.
"Kamu pingsan sejak kemarin," kata Dewi.
"Hah, dari kemarin?" tanya Evan kaget sambil mencoba duduk.
"Iya, dan Genta sudah sangat penasaran dengan ceritamu selama disana."
Evan tiba-tiba menunduk lesu. Ia kemudian bercerita dengan detail apa yang terjadi kemarin selama kembali ke masa lalu.
"Eh, aku turut berduka yah."
"Iya, makasih."
Evan baru sadar kalau ia berada di rumah Dewi. Di rumah megahnya. Evan melihat Dewi sedang membuatkan teh hangat untuknya. Dari sudut pandang Evan, ia mulai melihat daya tarik Dewi. Bukan masalah ia berasal dari orang kaya, namun dari cara Dewi merawat Evan.
Bahkan menurut Evan, Dewi selalu berusaha tampil sederhana dan menyembunyikan lata belakang keluarganya yang kaya raya itu.
"Dewi…"
"Iya?"
"Makasih ya."
"Ngga usah terima kasih. Hitung-hitung ini ucapan terima kasih karena kamu udah mau menjadi sukarelawan di mesin milik ayahku."
"Tapi, kalau aku boleh usul. Sebaiknya mesin itu dimusnahkan saja, Dewi"
"Heh, apa maksud kamu?"
"Iya, mungkin dengan adanya mesin waktu itu, orang jadi berlomba-lomba untuk mengubah takdir. Benar kan?"
Dewi sepakat dengan pandangan Evan.
"Iya, aku juga berpikir demikian. Tapi, bagaimana jika kita bisa menggunakannya untuk hal yang baik?"
"Misalnya?"
"Aku dari tadi malem berpikir, bagaimana jika aku bisa kembali dimasa ayahku kecelakaan, dan aku bisa mencegah kejadian itu."
"Tunggu, jadi kamu mau masuk ke mesin waktu itu?"
"Iya, dan kamu harus gantian bantu aku. Aku udah bicara dengan Genta. Besok pagi kita berangkat kesana lagi"
"What?"