Andi menancap gasnya dan mulai mendekati mobil itu dengan kecepatan penuh. Kemudian Andi sengaja mendekatkan mobilnya dengan mobil tersebut hingga terjadi gesekan yang sangat kuat sekali sehingga mengeluarkan percikan api di kedua bodi itu. Lalu pria tua itu memaki Andi dengan suara kencang.
“Jancukkkk!!!! Sialan setan!!! Demit Alas Purwo, demit Alas Roban. Sebentar lagi kamu yang akan mati!” umpat pria tua itu yang tidak terima body mobilnya tergores.
Andi tertawa terbahak-bahak lalu dengan jahilnya, Andi menabrak mobil itu dengan kencang. Pria itu semakin marah dan ingin lari dari kejaran Andi. Namun pria itu mencoba untuk menancap agar bisa lari dari kenyataan. Upz... Salah bukan lari dari kenyataan. Melainkan lari dari tanggung jawab. Namun pria tua itu semakin sial. Karena di depannya sebuah kontainer tepat berada di depannya. Sehingga terjadi...
Citttt!!!
Suara ban berdecit sampai mengeluarkan percikan api. Pria tua itu sangat beruntung sekali. Hampir saja pria tua itu kehilangan nyawanya.
“Syukurlah!!!” ucap pria tua itu.
Sementara itu Andi yang berada di area segera mendekati pria itu. Lalu Andi dengan cepat menangkapnya.
Tak lama kemudian datang Joko dan para pengawal. Mereka langsung mendekati Andi yang memegang sang tersangka.
“Winata!” seru Joko.
“Apakah kamu mengenalnya?” tanya Andi.
“Lebih baik kita bahas di markas,” jawab Joko dengan cepat.
Joko mengangguk tanda setuju. Lalu Andi mengingat ada tali di dalam mobil yang ditumpanginya tadi.
“Jok... Jok...,” panggil Andi.
“Sialan lu... Manggil gue pake jok... jok... Memangnya gue jok mobil apa?” kesal Joko.
“Ya maap,” ucap Andi cengar-cengir. “Tolong ambilkan aku tali tambang yang berada di dalam mobil.”
Lalu Joko mendekati mobil itu dan mengambil tali tambang yang berada di jok mobil dan memberikan ke Andi.
Andi yang menerima tali itu langsung mengikat Winata dengan kuat. Setelah itu Andi menyuruhnya Winata masuk ke dalam mobil.
Setelah itu Joko meminta para pengawalnya membersihkan kekacauan yang ada. Kemudian Joko masuk ke dalam balik kemudi. Sedangkan Andi duduk di belakang bersama Winata. Di dalam perjalanan. Winata mulai memandang Andi dengan seksama. Winata akhirnya mengeluarkan suaranya dan mulai menyombongkan dirinya.
“Bukannya kamu adalah jongosnya Bayu?” tanya Winata sambil mengejek.
Andi yang dikatakan jongos (pembantu) hanya diam saja. Namun di dalam hatinya Andi sangat marah dan ingin memaki Winata. Joko yang mendengar Winata yang mengatakan Andi jongos sangat marah sekali. Terkadang Joko ingin menghajar Winata habis-habisan.
“Aku bukan jongosnya Bayu tahu. Kamu belum tahu siapa aku? Aku bisa menghancurkan kamu dalam waktu sekejap,” batin Andi.
Sesampainya di markas White Eragon. Joko memarkirkan mobilnya dengan asal. Andi segera menarik baju Winata. Winata yang ditarik bajunya malah diam seperti patung.
“Jalan enggak Lo,” bentak Andi.
“Dih... Jongos marah-marah,” ejek Winata.
“Lu belum tahu siapa Andi? Dalam hitungan detik lu bisa hancur lebur,” ucap Joko dingin.
“Benarkah itu?” tanya Winata sambil mengejek.
“Joko. Jangan ngasih tahu gue siapa? Lebih baik lu diam saja,” tegas Andi.
“Kalau jongos... Ya jongos. Enggak usah diperpanjang urusannya,” ledek Winata.
“Masuk enggak lu,” ancam Joko.
“Enggak usah pake kekerasan,” pinta Andi ke Joko sambil melihat beberapa pengawal bertubuh besar yang sedang berdiri tegak.
“Pengawal!!!” teriak Andi.
“Baik Tuan,” sahut mereka serempak sambil mendekati Andi.
“Bawa orang ini ke ruangan bawah tanah!” titah Andi dingin.
“Baik Tuan,” balas sang Pengawal.
Kemudian kedua pengawal bernada besar menarik Winata. Mereka langsung membawanya ke dalam ruangan bawah tanah. Sedangkan Winata yang tidak terima ditarik kedua pengawal itu berteriak-teriak.
“Hey.... Andi... Awas saja kalau gue bebas!” teriak Winata yang suaranya menggelegar hingga ke luar dunia.
“Woy... Berisik tahu!” teriak Joko yang menutup kupingnya.
Beberapa saat kemudian suara Winata mulai menghilang dari pandangan mereka. Joko dan Andi mengelus dadanya.
“Sialan tuh orang,” kesal Andi.
“Entah kenapa dia bisa menjadi CEO di Asco Group International cabang Balikpapan?” tanya Joko yang tidak terima.
“Hanya paman Aryolah yang tahu sebenarnya apa yang terjadi?” jawab Andi masuk.
Selang beberapa menit datang beberapa mobil dengan parkir asal. Joko hanya bisa mengeluh kepada orang-orang yang berada di dalam mobil.
“Makanya halaman depan markas enggak beraturan,” batin Joko yang kesal sambil masuk ke dalam.
Sementara orang berada di dalam mobil keluar dengan wajah tengilnya. Mereka masuk ke dalam dan melempar kunci mobil dengan asal. Setelah itu mereka mendekati Joko dan Andi.
“Apa yang lu dapatin Andi?” tanya Irwan.
“Gue menangkap CEO Asco cabang Balikpapan,” jawab Andi.
“Maksudmu Winata?” tanya Bayu.
“Iyalah. Siapa lagi?” jawab Joko yang kesal.
“Bukannya dia berada di Balikpapan. Tapi kenapa Winata berada di Jakarta?” tanya Saga.
“Kamu tahu kenapa Winata berada di Jakarta?” tanya Fendy yang baru datang sambil melemparkan kunci mobil dengan asal.
“Gue enggak tahu,” jawab Bayu.
“Dia adalah suami resmi dari Larasati yang tidak pernah dipublikasikan ke media. Sekaligus paman kandungnya,” jelas Fendy.
“Apa???” pekik Bayu.
“Ya aku sudah mendapatkan informasinya dengan lengkap. Lu semua enggak menyangka siapa itu Winata dan juga Laras,” imbuh Fendy.
“Apakah orang tuanya tahu?” tanya Saga yang penasaran.
“Tidak. Mereka tidak pernah tahu. Atau enggak mau tahu apa yang mereka kerjakan. Di mata mereka adalah uang, uang dan uang,” jawab Fendy.
“Hufth... Untunglah,” ucap Bayu yang mulai tenang.
“Tapi lu harus nikah dulu. Kalo lu kagak nikah hidupmu enggak bakalan aman,” bujuk Saga.
Bayu mendengus kesal karena disuruh menikah. Mau tidak mau Bayu segera melancarkan aksinya.
“Tenang saja. Tunggu saja sebulan. Kalau sebulan gue kagak nikah juga. Jangan panggil nama gue Bayu,” kesal Bayu.
“Gue tunggu kabar lu,” sahut Fendy.
“Ke mana Winata?” tanya Bayu.
“Winata berada di dalam ruangan bawah tanah,” sahut Joko yang melemparkan botol air mineralnya di tong sampah.
“Apakah kita enggak ke sana?” tanya Andi.
“Sudah pagi. Kalau mau mengeksekusi Winata nanti malam saja,” jawab Bayu. “Beristirahatlah kalian. Beberapa jam lagi ke sekolah.”
“Betul juga,” ucap mereka dengan pasrah.
Mereka akhirnya bubar dan masuk ke kamar masing-masing. Yang dikatakan oleh Bayu benar. Mereka akhirnya beristirahat selama dua jam saja. Meskipun mereka mafia. Tapi mereka harus butuh istirahat yang cukup.
Di kediaman rumah Mulyadi. Rani mengerjapkan-ngerjapkan matanya. Lalu Rani melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kemudian Rani tidak lupa mengucapkan syukur dan mulai berdoa. Selesai berdoa Rani melihat Icha yang masih tertidur pulas. Hati Rani sangat trenyuh karena tidak tega melihatnya.
Beberapa hari lalu Icha mengatakan kalau dirinya sudah didepak dari keluarganya. Pikiran Rani terus melayang. Rani sangat sedih sekali merasakan nasib Icha. Disisi lain Icha sangat iri sekali kepada Rani. Meskipun hidupnya kekurangan. Rani bisa merasakan hidupnya tidak pernah sebahagia ini.
“Apakah setiap permasalahan orang kaya harus mengorbankan anak-anaknya? Kenapa harus mengorbankan anak-anaknya? Betapa beratnya hidupmu Cha. Tetaplah bersabar Cha. Aku tahu kamu bisa melewatinya,” batin Rani.
Rani memutuskan untuk bangun dan mulai membersihkan tubuhnya. Setelah selesai Rani segera membangunkan Icha.
“Icha.... Icha,” panggil Rani.
Icha membuka matanya lalu melihat Rani. Icha bangun lalu meneteskan air matanya. Kemudian Icha memeluk Rani sambil menangis.
Mendengar Icha menangis Rani menjadi bingung. Lalu Rani melepaskan pelukannya dan melihat Icha.
“Pagi-pagi begini kamu sudah menangis. Ada apa Icha?” tanya Rani.
“Aku takut Ran,” jawab Icha yang terisak.
“Kamu takut apa?” tanya Rani yang bingung.
“Aku takut ulat keket itu membunuhku,” jawab Icha.
Rani menggelengkan kepalanya, “Icha... Itu tidak benar. Mimpimu adalah bunga tidur.”
“Enggak itu serius. Aku diculik dari sekolah sama orang yang tidak dikenal. Aku dibawa ke rumah kosong. Setelah itu aku melihat ulat keket itu membawa pisau yang tajam dan menusuk jantungku,” ucap Icha yang sangat ketakutan.
“Cha... Dengerin aku dulu. Mimpimu itu tidak benar. Ulat keket itu tidak akan bisa membunuhmu,” ujar Rani yang meyakinkan Icha.
“Enggak Ran. Itu benar. Kamu tahu sendiri kalau aku bermimpi selalu jadi kenyataan,” tambah Icha.
“Cha. Lebih baik kamu mandi gih. Nanti kita terlambat untuk sekolah,” pinta Rani.
Icha mengangguk tanda setuju. Icha akhirnya turun dari ranjang lalu ke toilet. Sedangkan Rani merasakan sesuatu yang tidak nyaman ketika Icha menceritakan mimpinya itu. Dalam hatinya Rani, “Apakah mimpi Icha akan jadi kenyataan?”