webnovel

GAIRAH DUDA MUDA

Di usianya yang baru menginjak kepala tiga, Matthew Williams sudah menjadi duda dan memiliki seorang anak perempuan berumur lima tahun. Bukan hanya tampan, Matthew juga memiliki kekayaan yang berlimpah karena ia sendiri adalah direktur sebuah perusahaan yang berjalan di bidang properti, dimana perusahaannya itu sudah memiliki ratusan bahkan ribuan klien dari seluruh dunia. Dia memang memiliki segalanya, bukan hanya fisik yang sempurna tapi juga kehidupan mewahnya. Wanita manapun pasti akan tergila-gila padanya. Namun, disisi lain tidak ada yang tahu jika seorang Matthew kehilangan gairahnya setelah ia bercerai dengan istrinya. Karena hal itu, Matthew melalui hidupnya dengan hampa dan kosong. Ia seperti sudah kehilangan sesuatu pada dirinya, dan Matthew tidak bisa menyembuhkannya. Hingga suatu ketika, datanglah Elena Madison ke dalam hidupnya. Entah mantra apa yang digunakan oleh pengasuh putrinya itu sehingga membuatnya selalu bergairah hanya ketika melihatnya saja.

Shawingeunbi · 都市
レビュー数が足りません
26 Chs

MAMA BARU?

"Karena kau, gairahku yang sempat memadam kini kembali menyala."

Elena tidak bisa menyembunyikan semburat merah muda di pipinya setelah perkataan Matthew kembali berputar di kepalanya. Padahal sekarang bisa dibilang bukan waktu yang tepat untuk dirinya mengingat-ingat kejadian semalam.

Gairahku.

Jujur saja Elena tidak pernah membayangkan jika dirinya yang menurutnya tidak cantik-cantik amat, bisa membangkitkan gairah seseorang yang sudah lama padam. Lebih tidak bisa dibayangkannya lagi, orang itu sesempurna majikannya.

"Bibi!" Intrupsi Michella akhirnya membuyarkan Elena dari lamunan singkatnya. Ya, sekarang jam kerjanya masih berlangsung, ia sedang menemani Michella bermain dengan bonekanya, tetapi karena Matthew terus memenuhi pikirannya seharian ini, ia jadi tidak fokus bekerja bahkan lebih banyak mendiamkan Michella.

Oh, astaga. Kembalilah fokus, Elena. Batinnya mengingatkan dirinya.

"Apa kau perlu sesuatu, Michella?" tanya Elena setelah merasa bersalah pada gadis kecil itu karena mengabaikannya terus-terusan.

Michella nampak terdiam, namun bibirnya terlihat bergerak-gerak tidak jelas seakan menimang-nimang kalimat yang akan gadis kecil itu katakan pada Elena sekarang.

"Katakan saja, Michella. Apakah kau ingin aku melakukan sesuatu untukmu?" Elena kembali bertanya dengan suara lembut, sambil mengusap puncak kepalanya dengan sayang.

"Apakah bibi memiliki mama?"

Dahi Elena mengernyit, namun kemudian ia kembali tersenyum dan dengan lembut menanggapi pertanyaan dari Michella.

"Tentu saja aku punya, memangnya kenapa Michella tiba-tiba bertanya seperti itu?"

Michella menggeleng, tapi wajah kecilnya jelas menyiratkan ekspresi murung. Kini Elena mengerti, pasti ada sesuatu hal yang membuat Michella mengingat ibunya.

"Apakah Michella merindukan mama Michella?" Elena bertanya untuk memastikan keresahan gadis kecil itu.

Dan diluar dugaan justru Michella menggeleng. "Tidak."

"Tidak?" ulang Elena.

Michella mengangguk mantab. Elena kini dibuat keheranan karena reaksi gadis kecil itu. Entah mengapa ia merasa Michella memiliki mood swing yang sulit diprediksi, apakah mungkin hanya perasaannya saja? Lagipula dia hanya gadis kecil berumur 5 tahun, bukan gadis abg yang baru saja mengalami masa puber.

"Aku ingin mama baru," katanya.

Kali ini jawaban dari Michella membuat Elena tercengang. Jadi maksudnya gadis kecil ini menginginkan ibu lain selain ibu kandungnya sendiri yang artinya Matthew harus menikah lagi dengan wanita lain. Entah mengapa ada perasaan tidak rela di dalam hatinya.

"Michella, sepertinya sekarang jadwalnya kau makan kudapanmu. Kau ingin apa? Es krim, gula--"

"Apakah bibi sedang mengalihkan pembicaraan?" potong Michella tepat sasaran.

Elena heran, sebenarnya gadis kecil ini belajar membaca situasi dari siapa sih? Sepertinya ia sudah salah meremehkannya hanya sebagai anak kecil saja. Dia jauh lebih pintar dari anak seusianya.

"Haha! Apa maksudmu, aku hanya mengingatkanmu saja. Bukankah kau harus selalu tepat waktu memakan kudapanmu agar kau tidak gemuk--" Elena menghentikan kalimatnya. "Sejujurnya, aku tidak peduli mau kau gemuk atau tidak, tapi aturan itu, demi Tuhan kau masih kecil Michella! apakah karena semua aturan itu akhirnya membuatmu harus mengalami masa puber secepat ini?!" Elena emosi.

Sementara itu Michella hanya mengedipkan kedua matanya sebagai reaksi seakan-akan gadis kecil itu kembali berubah menjadi anak kecil berusia 5 tahun seumurannya. Elena pun menghela nafas, kini ia merasa seperti sesosok ibu yang begitu cerewet pada putrinya sendiri. Mungkin jika nanti ia sudah memiliki anak sendiri, keadaannya kurang lebih akan seperti ini.

"Lupakan saja! Sekarang aku tidak akan memaksamu, jam kerjaku akan habis 15 menit lagi, apa kau perlu sesuatu selain memakan kudapan?"

Michella menggeleng, namun kali ini gadis kecil itu tersenyum sehingga kedua pipi tembemnya semakin mengembang. Dan diluar dugaan tiba-tiba Michella memeluknya sangat erat. Elena yang tidak siap karena pelukan kejutan dari Michella hanya mampu terdiam. Rasanya hangat meskipun kedua tangan gadis kecil itu begitu mungil, bahkan tangannya melingkar tidak sempurna di pinggangnya.

"Apakah bibi mau menjadi mama baru untuk Michella?" ujar Michella tiba-tiba.

Mendengar itu, Elena nampak terdiam. Ia tidak salah dengarkan? Ibu baru untuk Michella yang artinya ia harus menjadi istri Matthew? Tentu saja ia mau! Tapi, apakah ia siap? Tidak, masalahnya apakah Matthew bersedia untuk menikahinya?

Hubungannya dengan Matthew belum sedekat itu. Dan bisa dibilang masih belum jelas akan menuju ke arah mana, pokoknya malam itu Matthew lah yang mengambil keperawanannya dan dirinyalah yang membuat pria itu kembali bergairah setelah sekian lama berpuasa sesudah bercerai dengan mantan istrinya.

Entah mengapa Elena merasa sedikit cemburu karena ia bukan yang pertama bagi Matthew, sementara pria itu saja yang pertama untuknya. Tapi, jika Matthew dan mantan istrinya tidak melakukan itu, mungkin Michella tidak akan lahir dan ia tidak bisa melamar pekerjaan disini, lalu tidak dipertemukan dengan Matthew. Kadang takdir memang harus berjalan serumit itu, tapi di sisi lain ia bersyukur, dengan adanya Michella di dunia ini, ia dipertemukan dengan Matthew lagi.

"Bibi?"

Mau tidak mau Elena harus mengembalikan kesadarannya karena panggilan Michella.

"Michella, untuk menjadi seorang mama itu tidak mudah, terlebih lagi papa Michella tidak mencintai bibi, itu akan sulit." Elena berusaha menjelaskan hal yang sederhana, agar Michella mampu memahami maksudnya.

"Tapi bibi mencintai papa kan?"

Elena terdiam. "Michella, perasaan orang dewasa sangat sulit dijelaskan."

"Seperti mama dan papa di masa lalu?" tebak Michella.

"Ya, sepertinya begitu," jawab Elena canggung.

Michella menghela nafas dan memasang ekspresi cemberut. Ia hanya ingin Elena menjadi ibu barunya, namun seperti yang wanita itu jelaskan, perasaan orang dewasa memang sulit ditebak.

"Tapikan bibi beda dari mama, bibi ya bibi yang selalu peduli dengan Michella. Sementara mama itu ya mama yang tidak peduli dengan keadaan Michella sedikitpun. Jika karena hal itu papa membenci Michella, maka jika ada bibi, mungkin papa tidak akan membenci Michella lagi."

"Mengapa Michella bisa berkata seperti itu?"

"Apakah bibi bisa menjaga rahasia?" ujar Michella sambil berbisik.

Dahi Elena mengernyit. "Rahasia?"

"Iya. Sebenarnya, aku tidak boleh mengatakan hal ini kepada siapapun, tapi karena aku mempercayai bibi, jadi aku akan membagikan rahasia ini," bisik Michella.

"Apa?"

"Jadi, kata paman Paul, bibi dan papa sepakat membuat adik. Berarti papa sudah bisa move on dari mama. Papa akhirnya tidak akan membenci Michella lagi setelah adik itu lahir."

Mata Elena sontak membulat sempurna seolah tidak mempercayai pengakuan Michella.

Ya ampun, Paul! Michella masih anak-anak, bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal itu padanya?! jengkel Elena dalam hati.

Sementara itu, tanpa mereka sadari, sejak tadi ada dua sosok pria jangkung mendengarkan percakapan mereka dari kejauhan. Salah satu pria bermata elang itu melirik tajam pria di sampingnya.

"Apakah kau puas, Paul?!"

Paul hanya cengengesan menanggapinya. Puas sekali. Batinnya. Lagipula, Paul hanya ingin membuat sahabatnya itu bisa kembali seperti dulu.