Rumah, 14.30
Sepulangnya dari sekolah. Bunda sedang asik menonton televisi. Kantor Bunda bekerja mengadakan acara jadilah Bunda harus pulang lebih awal dari biasanya. Aku diantar oleh tukang ojek online langgananku. Kata Bunda setelah kemarin kerja lembur hingga larut malam Bunda ingin istirahat sejenak.
"Kasihan sekali Bunda kelelahan," gumamku.
"SELAMAT UNTUK ESCAPRA GOLD COMPANY"
Kalimat yang ada di layar televisi yang ditonton oleh Bunda. Tayangan berita, sesi wawancara mengenai pencapaian salah satu perusahaan yang berbasis di Sungapura itu. Menurut salah satu pakar bisnis, perusahaan yang dulunya dirintis dari nol di Jakarta itu sekarang telah berhsail berbasis di Singapura kiprahnya semakin mendunia.
Atas pembukaan baru tambang emas di Afrika. Kini perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga Escapra ini telah berubah menjadi perusahaan global kelas dunia dengan valuasi terbesar nomor satu di kelasnya. Diperkirakan perusahaan ini telah menjadi perusahaan dengan nilai milyaran dolar.
Harga saham Escapra telah mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah menjadi 150 USD per lembar saham. Padahal harga saham IHSG dunia sedang menurun, Escapra tetap eksis berada di puncaknya.
Aku sedikit banyak mendengar berita tentang perusahaan ayah Devan di televisi. Kebetulan saat aku berjalan menuju dapur mencari minum di lemari pendingin.
"Devano pasti suatu hari nanti akan menjadi CEO sekaligus Komisaris Utama, pewaris tunggal Escapra Gold Company. Ah, bagaimana ini?? Apa Devano mau sama aku? Apa keluarganya merestui aku sama Devano? Aku cuman anak dari keluarga sederhana. Lebih-lebih, ayahku tak jelas kemana," gumamku sendiri.
"Ah aku mikir apaan sih?" ucapku dalam hati.
"Din, ganti baju dulu baru minum," ucap Bunda yang sedang duduk.
"Bentar Bunda, nanggung. Sudah minum nih," balasku.
"Makan sekalian bareng Bunda ya?" pintanya.
"Iya Bunda, aku ganti dulu."
Aku berjalan menuju kamar, namun tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku melihatnya sebentar, ternyata chat masuk dari Devano. Entah darima anak ini mendapatkan nomer ponselku. Namun aku senang, sekaligus bingung. Entah apa yang aku rasakan sebenarnya.
"Din, aku mau ke rumahmu," chat masuk dari Devano yang terlihat di layar ponsel.
"Lah ngapain?" aku membalas chatnya.
"Kan ada tugas kelompok tadi. Aku sama Ghandi dan Icha, sekalian ngembaliin dasi milikmu," jawabnya di chat sembari memberi emoticon nampak kesel.
Ah, aku saja ternyata yang terlalu percaya diri saat dia mau ke rumah. Padahal niatnya hanya untuk mengerjakan tugas kelompok bersama, tidak lebih. Sampai kapan aku harus berharap dengan cowok seperti Devano. Dia yang tampan, kaya, dan populer. Sedangkan aku hanyalah, cewek biasa, sederhana dan tidak populer.
Mirip hujan. Aku mencintainya namun aku juga takut saat berada bersamanya. Wajahnya menenangkan. Namanya itu seakan mememiliki kilatan petir tersendiri di relung terdalam pada jiwaku. Pikiranku menghening sejenak. Pun dengan perasaan ini, ikut luruh dalam satuan volume air yang turun. Persis seperti pada kalimat pertama
Rumah, 15.33
"Tok....tok..tok..." Suara daun pintu yang diketuk-ketuk oleh seseorang dari luar rumah, terdengar dari ruang tamu. Aku mencoba sengaja menghiraukannya. Perasaan malu tiba-tiba mengunjungiku. Selalu seperti ini saat Devano main ke rumah.
"Itu bukan Din, ada orang yang ngetuk pintu tuh." Perintah Bunda dari ruangan kecil di rumah ini, bernama dapur.
"Bunda aja ya, aku mau ke kamar dulu ambil buku," ucapku sembarangan.
Aku yang dari tadi bingung campur malu, setelah mendapat chat dari Devano. Kebingungan terasa begitu mendadak datang, karena cowok tampan itu telah di depan pintu. Meski bersama Ghandi dan Icha. Kakiku memilih menghindar sejenak ke kamar dan meninggalkan ruang tamu. Entah mengapa aku begini, padahal di sekolah aku tak seperti ini.
"Eh kalian...., temannya Adina. Ternyata ada Devano juga," ucap Bunda.
"Iya Bunda."
Devano menimpali sembari matanya tertuju pada semua detail ruangan rumah ini. Dia mencoba mencari diriku, namun aku belum terlihat oleh kedua bola matanya. Alisnya yang tebal berwarna hitam itu sedikit naik, pertanda dirinya fokus mencari sesuatu.
"Adina ada nggak Bunda?" tanya Icha pada Bunda.
"Ada di kamarnya. Ayo masuk dulu. Duduk di sini." Bunda mempersilahkan mereka masuk.
Sembari menunjuk ruang tamu yang juga sekaligus ruang keluarga di rumah ini. Devano, Ghandi dan Icha langsung duduk di kursi yang terletak di sana.
"Bunda, buatkan minum sama cemilan dulu ya"
"Aku bantuin Bunda," sahut Icha yang langsung menuju ruang dapur di sana.
"Boleh, sini Icha cantik."
Bunda terlihat senang karena sering sekali Icha membantunya saat berkunjung ke rumah. Berbeda denganku yang harus membantu Bunda memasak karena dipaksa Bunda.
Rumah yang meski terlihat kecil ini, tetaplah membuatnya merasa kesepian karena kepergian suami tercinta yang tidak jelas, ayahku. Kini saat teman-temanku datang. Rumah ini menjadi terasa ramai baginya.
Wanita separuh baya, cantik dan putih alami ini tidak pernah mau bila harus dipanggil dengan sebutan tante oleh teman-temanku. Terlebih, mereka sudah akrab dan sering berkunjung ke rumah ini kecuali hanya Devano yang bisa dihitung menggunakan jari. Hanya sempat beberapa kali.
"Sini Din, bantuin Bunda." Panggilnya yang melihatku berjalan dari depan kamar.
"Iya Bunda."
Seolah aku ingin terlihat sebagai gadis manis pada Bunda saat di depan Devano. Entahlah batinku terasa bergejolak saat melihatnya. Bahkan saat mendengar namanya disebutkan.
Aku begitu mencintainya, setiap detail dari dirinya. Parasnya yang tampan, kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung, dan badanya yang tinggi. Tapi dari semua itu, aku mencintai caranya menatapku. Aku seperti terpenjara dalam setiap inchi gerakannya.
Beberapa saat setelah kita bertiga memasak. Lebih tepatnya Bunda dan Icha yang memasak. Aku hanya sebatas membantu. Pisang goreng manis yang terbuat dari pisang raja yang sering kali Bunda beli di pasar Malang. Aku selalu menyukai masakan Bunda. Apalagi ditambah minuman favoritku, cokelat panas.
"Ini pada di makan pisang gorengnya. Ada cokekat di minum. Nanti kalau kurang bilang, masih ada tuh di dapur." Perhatian Bunda kepada kami semua. Bunda memang chef yang terbaik, di rumahku.
"Eh Din, aku kemaren di suruh apa sih?" Icha nampak kebingungan dengan tugas kelompok kami.
"Kalian pada paham tugasnya?"
Aku menanyai Devano dan Ghandi. Meski mataku dari tadi hanya fokus pada Devan saja.
"Engg...ggak." Mereka menggeleng secara kompak.
"Gini loh, kalian pada gak didiengerin sih kalau Bu Asih jelasin. Kan kita disuruh buat bikin cerita nanti di skenariokan di kelas. Mirip pementasan teater gitu. Temanya tentang cinta dalam kehidupan."
"Lah itu kesukaan kamu, Din," celetuk Devano padaku.
Aku terdiam. Seketika Ghandi dan Icha juga memandangi wajah tampan yang keceplosan itu. Rupanya Dia mengingat kesukaanku yang hampir setiap hari menonton latihan ekskul teater. Aku ingin ikut ekskul itu, namun beberapa kali aku masih belum lolos juga dalam seleksi penerimaan anggota. Maklum itu adalah ekskul elit di Ziduyya.
"Iya aku suka itu," ucapku.
"Besok-besok ikut ekskulnya yuk Din?"Ajakan Icha kepadaku, rupanya dia juga tertarik dengan teater.
"Oke Cha, besok kita daftar ya," ucapku.
"Aku juga mau daftar." Tiba-tiba Devan juga mau ikutan.
"Wah, aku juga-lah," seru Ghandi yang tak mau kalah.
Aku tahu bahwa Ghandi diam-diam suka dengan Icha, begitupun Icha yang diam-diam juga menyukainya. Namun entah mengapa masih belum juga jadian.
"Oke kita mau bikin teater apa? ujar Ghandi kepada kami.
"Romeo dan Juliet," celetuk Devano.
***