webnovel

Dua Puluh

Surat Untuk Mama (Lagi)

Ma.. Tahukah kamu betapa sulitnya aku berjuang sendirian?

Menjadi dewasa melalui lingkungan sekitar. Menahan dan mengendalikan emosi yg kadang ingin meledak. Menyelipkan senyum walau sebenarnya air mata mengalir di luka hati ini?

Bagaimana kabarmu di sana, Ma?

Apakah kau merindukan kami?

Apakah kau mengingatku?

Sepuluh tahun lamanya aku mulai membiasakan diri untuk tidak mudah mempercayai orang lain.

Sepuluh tahun, waktuku kuhabiskan dengan tak banyak berkeluh kesah kepada orang lain.

Sekitar sepuluh tahun lebih lamanya perjalananku tanpamu. Mulai dari aku merangkak keluar jurang kegelapan karena kesalahan keingintahuanku sendiri, mengarungi badai hinaan dan remehan orang terhadap diriku yg tak sempurna ini, dan menampar angin demi menahan diri dari amarah yang menguasai diri.

Jujur.. Aku lelah, Ma.

Lelah karena hanya Tuhan yang menjadi tempat berkeluh kesahku. Walau Dia tak dapat membalas ucapanku, tapi itu sedikit mengurangi bebanku, Ma..

Ma, aku tahu hidup ini tak mudah.

Tapi aku benar-benar membutuhkan sosokmu. Sosok ibu.

Kau bukan hanya ibu.. Kau segalanya, Ma.. Kau temanku, kau lawan beratku, kau sahabatku, kau juga rekan studi terhebat yang aku miliki.

Kini semua aku lakukan seorang diri. Walau ada papa. Tapi ia tak bisa menggantikan peranmu, Ma!

Mama tetaplah Mama!

Aku hanya membutuhkanmu, Ma!

Aku butuh ibu!

Dan aku sudah dewasa sehingga aku pun tak mampu menatap masa depan tanpa bimbinganmu, Ma..

Karena aku telah dewasa, maka aku membutuhkanmu..

Bukan ibu yg lain.. Hanya kaulah satu-satunya ibuku.. Mamaku..

Aku merindukanmu.. 😭

***

Sekian lama aku belajar mendewasakan diri melalui sikap dan perilaku setiap orang di sekitarku. Aku menyerap dan memikirkan segala perilaku yang baik maupun yang buruk. Menimbang segala perilaku yang nantinya akan berbuah manis atau berbuah pahit. Terkadang nasihat-nasihat setiap orang, baik yang tua, muda, bahkan anak-anak yang tanpa sengaja berceloteh polos pun terkadang menjadi lecutan diri mengapa ia bisa sehebat itu memaknai keadaan hidupnya.

Semuanya mengalir atas kehendak Tuhan. Yang aku yakini adalah di dunia ini tidak ada sesuatu yang kebetulan. Di dunia ini, segala yang terjadi karena atas izin dari Tuhan. Bahkan, hal itulah yang menjadi penguatku saat aku merindukan sosok mama. Hal itulah yang selalu aku ingat-ingat agar aku tidak goyah menerima ketetapan Tuhan bahwa mama sudah tak ada di sisiku lagi. Prinsip itulah yang hingga saat ini membuatku belajar mengalah dan mentolerir orang-orang yang terkadang bersikap egois, manja, mengeluh akan hidupnya, serta bersikap sombong atas apa yang sedang dimilikinya. Lagi-lagi, aku selalu mampu belajar dari karakter setiap orang yang beragam. Yang membuatku terus memperbaiki diri, mengasah emosi, serta meningkatkan kedekatan diri dengan Tuhanku.

Namun, proses itu sebenarnya tidaklah berjalan lancar-lancar saja. Seringkali aku merasa down atas segala ekspektasi yang aku rangkai sendiri. Padahal selama proses pendewasaan diri, aku sering membaca buku-buku motivasi, psikologi, mendengar quotes para motivator terkenal, hingga ceramah dari para ustadz untuk tidak menggantungkan harapan kepada manusia. Karena memang benar, setiap kali aku berharap, semakin tinggi ekspektasiku, semakin tinggi pula kekecewaan yang aku dapatkan. Pun sama halnya dengan lelaki yang saat itu sedang dekat denganku. Seringkali aku berangan-angan kelak akan menikah dengannya dan menjadi istrinya. Sesering itu pula angan-anganku lenyap tak berjejak. Hanya jejak kesakitan yang tersisa di relung hati, akibat ekspektasi yang terlalu tinggi.

***

Setelah Sugeng, lelaki selanjutnya yang pernah berusaha mendekatiku dengan amat gigih adalah Dori. Saat itu, ia bekerja di Pekanbaru, Riau. Kami hanya kenal melalui facebook karena ternyata dia adalah teman dari teman kuliahku. Kami sebenarnya sudah lama berteman di facebook. Hanya saja aku tak mengenalnya. Saat aku membagikan pin BBM untuk pertama kalinya ke facebook-lah, ia mulai menghubungiku.

***

Saat itu, posisiku adalah aku yang sedang berusaha menata hati agar tak lagi cepat merasa ge-er terhadap gombalan lelaki. Dimana aku sedang belajar untuk tidak berharap terlalu lebih pada lelaki. Namun, setiap orang yang baru belajar, pasti suatu saat akan salah juga.

***

Awalnya aku menikmati saja setiap chat dengan Dori di BBM. Dia yang selalu memulai percakapan, dikarenakan aku yang memang tidak begitu tertarik dengannya. Apalagi aku berpikir dia bekerja di Pekanbaru dan aku bekerja di Tangerang. Maka saat itu aku berusaha agar tidak menaruh hati padanya. Namun, sepertinya tidak baginya. Aku melihat dia yang sangat intens menghubungiku, menanyakan aktifitasku, perhatian yang ia berikan padaku, semuanya terasa berbeda.

Perbedaan yang menonjol yaitu saat ia berkeinginan untuk mengunjungiku ke Tangerang. Alasannya, ia akan berlibur ke tempat pamannya, ingin melihat Monas di Jakarta, serta tak lain dan tak bukan juga ingin bertemu denganku. Aku berpikir saat itu, ok ini hanya sekedar bertemu dan menemani ia liburan di Jakarta. Ketika ia tiba di Jakarta saat itu, benar saja, ia langsung menanyakan alamat rumahku untuk keesokannya berlibur bersamaku ke Monas. Pintanya.

***

Aku yang pagi itu sedang menemani Papa ke pasar, tiba-tiba Dori menelepon bahwa ia sudah hampir sampai. Ketika aku sudah sampai di rumah dengan membawa barang belanjaan Papa, aku melihat dari jauh bahwa Dori sedang duduk di depan warungku bersama Pamannya. Ia melihat ke arahku sambil tersenyum lebar. Aku turun dari motor dan bersalaman dengannya. Tak lupa jua aku perkenalkan dia dengan Papa. Papa tak begitu terkejut karena sebelumnya aku sudah memberitahukan bahwa akan ada temanku dari Minang yang akan datang ke rumah. Ya, Dori merupakan orang asli Minangkabau. Saat itu pula, aku pamit ke dalam untuk berganti pakaian. Setelah siap, kami pun pergi bersama dengan menggunakan motorku menuju stasiun kereta.

***

Sesampainya di Monas, kami berbincang-bincang mengenai perjalanannya menuju Jakarta. Dari raut wajah dan tatapan matanya yang berbinar, terlihat jelas bahwa ia memiliki perasaan senang berjumpa denganku. Di Monas aku seperti tour guide. Menjelaskan kepadanya mengenai keadaan Jakarta, serta tak lupa membantu memotret dirinya yang baru pertama kali ke Monas itu. Terkadang bergantian, ia yang memotret diriku. Bahkan tak lupa pula kami selfie bersama.

Setelah cukup lama berfoto ria. Jam makan siang pun tiba. Saat itu Monas sedang ada bazar. Banyak sekali orang berjualan pernak-pernik tentang Jakarta, makanan khas Jakarta, dan sejenisnya. Sampai di tempat baju, ia membeli banyak baju yang bertuliskan "I Love Jakarta", dan sejenisnya. Untuk saudara-saudara di kampung katanya. Aku pun ikut membantu memilihkan baju yang menurutku gambar dan tulisannya bagus.

Setelah itu, barulah kami mencari tempat makan. Di sana berjejer aneka makanan. Nasi ayam bakar menjadi pilihan kami. Ia yang mentraktir. Saat makan, ia tertawa kecil sambil asik membalas chat teman-teman dan kakaknya yang ternyata namanya sama denganku. Bagaimana tidak? Fotoku dibagikan di status BBM dan facebook-nya setelah kita berfoto-foto tadi. Aku pikir itu hal yang wajar saja, tapi tidak baginya. Ia bahkan memberitahu isi chat bersama kakaknya bahwa aku lah orangnya. Dalam artian, aku lah yang kelak akan menjadi calonnya. Aku tak tahu sejauh mana aku diperbincangkan oleh Dori bersama keluarganya. Padahal itu adalah kali pertama kami bertemu. Aku masih bersikap biasa saja dengan apa yang mereka perbincangkan di chat. Senang karena menjadi trending topik? Tidak sama sekali!

Selesai makan, kami melakukan solat ke mesjid Istiqlal. Kebetulan ada bus bertingkat yang menjadi fasilitas terbaru di Jakarta. Gratis! Dengan menaiki bus tersebut akhirnya kami sampai di Istiqlal. Setelahnya, tak lupa berfoto ria untuk mengabadikan momen yang pertama kalinya itu bagi Dori.

***

Hari semakin sore. Awalnya, kami kembali ke Monas untuk menaiki puncaknya. Sayangnya antrian panjang membuat kami kehabisan tiket. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang dan menuju ke stasiun kereta bersama.

***

Kami tiba di Tangerang sekitar pukul setengah enam sore. Sebelum sampai di rumah, ia mengajakku untuk makan malam. Akhirnya, aku mengajaknya makan pecel lele dan soto ayam. Kami asik berbincang-bincang mengenai liburan hari ini. Terlihat ia amat bahagia. Aku pun senang bisa menjadi tour guide-nya hari ini.

Setelah makanan kami akan habis, barulah ia menjelaskan isi hatinya dengan gemetar. Perlahan tapi pasti, bahwa niatnya datang menemuiku dari Minang dan mengambil jatah cuti dari pekerjaannya adalah karena aku. Aku yang menjadi alasan utamanya. Ia ingin aku bisa menerima bahwa ia memiliki rasa yang lebih daripada seorang teman.

Aku yang baru saja merasa kenyang, tiba-tiba menjadi tidak enak hati mendengar pernyataannya. Bagaimana tidak? Aku yang tidak memiliki feel apapun terhadapnya, hanya mampu menjawab demi menenangkan hatinya. Bahwa saat ini aku hanya menganggap dia sebagai teman saja. Aku tahu ini pasti menyesakkan dadanya. Tapi, aku tak ingin berbohong hanya demi menyenangkan hatinya. Aku yakin dia pasti amat sangat kecewa. Namun, ia bisa berbesar hati sepertinya.

Akhirnya, ia hanya berpesan agar hubungan pertemanan ini akan terus terjalin. Ia juga berharap suatu saat bisa bertemu kembali denganku bila kelak aku pulang kampung ke ranah Minang. Aku pun hanya mengaminkan dan juga meminta maaf atas penolakanku terhadap perasaannya. Aku akui, ia amat gantle atas keputusannya datang jauh-jauh dari tanah Sumatera hanya untuk bertemu denganku.

***