webnovel

Dua Puluh Dua

Aku terkena penyakit DBD. Selama beberapa hari, aku harus dirawat di RS. Setelah panas dingin yang aku derita secara tiba-tiba ketika mengajar di kelas 5 lalu, tiga hari berturut-turut demamku tak juga turun. Malah semakin hari kondisi tubuhku semakin melemah. Makanan yang masuk ke dalam perutku pun semakin lama sedikit sekali akibat lidah yang semakin hari semakin pahit rasanya.

Hari ketiga istirahat di rumah, aku yang masih mengingat tanggung jawabku di sekolah membuatku ingin berobat ke RS. Karena dengan minum obat warung selama tiga hari yang tidak ada perubahan itulah yang membuatku memutuskan untuk berobat ke RS.

***

Aku diantar oleh papa dan bunda pada malam hari. Setelah mereka akhirnya menutup warung lebih cepat untuk menemaniku berobat. Papa masih bersikap cuek dan menganggap penyakitku adalah penyakit demam biasa atau mungkin hanya gejala tipes dikarenakan kondisiku yang lemah. Karena aku sudah terbiasa mengalami sakit gejala tipes dari SD, ketika terlalu lelah dan banyak melakukan aktivitas yang menguras fisik dan pikiran.

Pada malam itu, aku tiba di RS dan menunggu di ruang an. Papa mendaftarkanku untuk pasien umum, karena hanya akulah di dalam keluarga yang belum memiliki BPJS Kesehatan. Disebabkan aku yang baru mengurus surat pindah untuk pindah ke KK papa yang sebelumnya selama empat tahun, aku menumpang dengan KK nenekku di kampung.

Waktu menunggu antrian, aku merasakan kepalaku sudah amat berat. Sedangkan, suhu badanku panas. Namun, aku menggigil merasakan dinginnya AC ruangan. Aku benar-benar sudah tak tahan untuk menunggu seperempat jam lamanya itu. Hingga namaku pun disebut untuk pemeriksaan darah.

Ini kali pertama darahku diambil dengan jarum suntik. Ketika sang perawat laki-laki itu melilitkan ikat pergelangan tangan dan mengencangkannya, jujur aku sudah merasakan ketegangan karena takut akan rasa sakitnya. Benar saja, ketika aku diminta untuk mengepalkan tangan, sempat pembuluh darahku sulit ditemukan karena perawat menyadari keteganganku. Aku diminta untuk rileks dan tetap tenang. Antara takut dan ingin sesi ini cepat selesai, akhirnya aku hanya mampu memalingkan wajah ketika kapas dingin itu sudah menempel di lipatan pergelangan tanganku. Perawat itu memintaku untuk menarik napas dalam-dalam, hingga aku pun sedikit berteriak,

"Ahh!"

Aku terkejut karena jarum itu telah masuk ke dalam pembuluh darah dan menyakitiku. Aku melihat bagaimana perawat itu menarik suntikan untuk mengambil sample darahku. Sekitar 5 detik, Ia mulai menarik jarum suntiknya sambil memintaku untuk membuang napas pelan-pelan melalui mulut. Kemudian, Ia memberikan plester untuk menutupi sisa darah yang keluar di pergelangan tanganku.

***

Saatnya menunggu hasil lab. Penantian yang hampir memakan waktu kurang lebih setengah jam itu membuatku tak bisa duduk dengan tenang. Kepalaku terasa berat karena demam yang semakin tinggi pada tubuhku.

Ketika kami mengambil hasil lab, kami pun berpindah ruang. Tempat itu seperti ruang tunggu yang berisikan beberapa tempat tidur kosong yang disekat dengan bilik tirai. Yang seperti digunakan khusus sebagai ruang IGD pra perawatan. Yang aku rasakan saat itu tubuhku semakin melemah. Ada beberapa perawat yang lewat, namun tak menghiraukanku. Ada beberapa dokter jaga yang melihat kondisiku, namun hanya sebatas mengecek kondisiku. Hingga ada dokter yang mengatakan kepada kami. Dokter itu berbicara kepada papa yang ada aku di sampingnya sedang merebahkan diri di tempat tidur. Dokter itu memberikan dua pilihan kepadaku. Apakah aku ingin istirahat di RS atau istirahat di rumah yang dengan catatan setelah tiga hari jika tak ada perubahan, aku harus kontrol kembali ke RS.

***

Dokter memberikan dua pilihan yang berat menurut papa. Papa ingin aku dirawat di rumah saja, karena merasa rumah kami dekat sekali dengan Puskesmas. Namun, aku yang merasakan lemah yang semakin lemah dari hari ke hari itu menginginkan untuk dirawat saja.

Papa keberatan dengan keinginanku. Karena Ia khawatir tidak ada yang menjaga warung jika Ia nantinya harus menemaniku di RS. Ia khawatir jika bunda seorang diri di rumah nantinya. Aku kecewa dengan pilihan papa yang masih saja mementingkan warung daripada kondisi anaknya yang semakin melemah.

Akhirnya, aku bersikeras untuk tetap dirawat di RS, ada atau tidak adanya papa yang menemaniku nantinya. Batinku. Karena dokter mengatakan aku mengalami tipes. Yang jika saja kondisiku terus melemah, Ia berkemungkinan bahwa aku mengalami DBD. Maka, Ia pun turut senang mendengar keputusanku untuk dirawat. Karena aku yakin, bagaimanapun keadaan kita, hanya diri kitalah yang mengetahuinya. Sedangkan, dokter hanya sebagai perantara Tuhan agar bisa mengobati kita secara intensif.

Setelah keputusan itu deal, papa diminta dokter jaga untuk mengurus beberapa administrasi sebelum akhirnya aku ditempatkan di ruang perawatan. Proses menunggu pun harus berlangsung lama. Kurang lebih seperempat jam kami menunggu posisi kamar rawat.

Selama menunggu, aku didatangi perawat untuk dipasangkan selang infus di pergelangan tangan kananku. Lagi-lagi ini adalah tragedi menakutkan yang menimpaku. Aku tak ingin mengenakan jarum di tubuhku. Ini kali pertama aku diinfus. Perawat itu melakukan hal yang sama dengan perawat yang ada di lab tadi. Bedanya hanya tempatnya saja. Jika tadi pengambilan darah itu berada di tangan kiri, sekarang memasang selang infus itu berada di tangan kanan.

"Ahhh!"

Aku belum terbiasa dengan jarum sepertinya. Sehingga saat jarum itu masuk, aku selalu berteriak karena terkejut. Tentu saja rasanya sakit. Air infusnya pun terasa sekali saat pertama bersatu dengan darahku. Perih. Namun, aku harus terbiasa dan pasti akan terbiasa.

***

Tidur di RS tak pernah aku impikan sebelumnya. Aku masuk ruangan kelas dua. Terdapat satu TV dan empat tempat tidur. Di mana satu tempat sudah terisi oleh sepasang suami istri paruh baya. Istrinya sedang sakit. Aku melihat mereka selalu berbincang-bincang sambil sesekali si istri meluapkan emosi kepada suaminya karena badannya yang sudah terasa pegal-pegal itu meminta untuk dipijat. Aku berpikir mereka pasti sudah beberapa hari berada di sini. Papa berusaha menyapa mereka. Namun, tak disambut dengan akrab. Hanya sebatas say hai saja.

***

Papa yang aku kira mendukung keputusanku, malah menyalahkanku dengan sindiran halusnya. Ketika di hari kedua, aku sudah merasakan kebosanan karena aktivitasku yang hanya tidur dan menatap langit-langit kamar saja. TV pun tak benar-benar bermanfaat saat itu. Mataku menjadi cepat lelah saat melihat layar TV. Bermain gadget pun, aku tak mampu saking lemahnya tangan dan mata ini.

Keadaanku yang menjadi melemah dari hari ke hari itu sudah terjawab pagi ini. Karena pada subuh hari, darahku sudah kembali diambil oleh perawat. Dokter mengatakannya saat mengecek keadaanku. Bahwa aku memang mengalami DBD. Pantas saja beberapa hari ini demamku selalu tinggi. Bahkan keringat dingin selalu keluar saat aku beristirahat. Rambut hingga bajuku selalu basah kuyup setelah meminum obat yang diberikan dokter. Waktuku di RS sebagian besar kugunakan untuk tidur karena kepalaku yang terlampau pusing dan berat saat itu. Selain itu aku pun selalu mondar-mandir ke toilet karena dokter mengharuskan aku untuk banyak minum air putih, agar trombositku segera meningkat.

***

Hari itu adalah hari kedua dimana aku mengeluhkan bosan kepada papa. Dengan nada bicara yang cuek, saat aku mengatakan ingin pulang pada papa,

"Kan kamu yang minta untuk dirawat. Ya sudah sekarang istirahat aja yang banyak, minum air putih yang banyak, minum obat biar cepat sehat."

Aku yang mendengar nasihat papa, sama sekali tak membuatku menjadi semangat. Bukan berarti aku melemah, karena memang kondisiku sudah lemah. Aku hanya kesal papa tak memperhatikanku seperti mama yang memperhatikanku saat SD, saat aku mengalami sakit gejala tipes dulu.

***