Di dalam boardroom yang luas itu, hanya 12 dari 32 kursi di sekitar meja yang terisi. Derry duduk di kursi paling ujung, memerhatikan dengan seksama presentasi dari berbagai manajer dan direksi yang ada di bawah kepemimpinannya.
Setelah presentasi selesai, Vin mulai mengemukakan pendapat membuat semua manajer dan direksi mendengarkannya dengan serius. Derry memerhatikannya dengan seksama, mempelajari apa yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang manajer alami seperti Vin. Derry kemudian menanyakan berbagai hal-hal yang bersifat detail dan teknis, lalu menanyakan pendapat Vin lagi, sebelum memberikan pertimbangan dan keputusannya.
Tiga tahun telah berlalu semenjak ia menjalani pekerjaan sebagai calon pewaris usaha papanya.
Namun, ia menyadari bahwa di balik tatapan para Dirut, Manajer, Eksekutif, masih terdapat pandangan mata yang merendahkannya. Ia hanya bisa tersenyum, wajar saja, jika mereka yang memiliki pengalaman, pendidikan formal, serta umur dua, tiga, atau empat kali lipat dirinya harus mendengarkan putusan akhir seorang anak berumur tujuh belas tahun yang didampingi manajer mudanya yang seakan-akan adalah baby sitter-nya.
Rapat terus berlangsung, hingga tepat pukul 15:00. Setelah menutup rapat—saat semua eksekutif telah meninggalkan ruangan—Derry bangkit dan menyeberangi ruangan rapat, duduk di salah satu kursi bekas direktur.
Ia langsung bicara, "Nah, sekarang masuk ke urusanku. Pak, sudah diatur semuanya?"
Vin melihat ke workpad-nya, mengangguk, lalu memencet tombol saluran telpon dan berbicara,
"Suruh tim Khusus masuk."
Lalu masuklah sekumpulan orang yang tak pernah diharapkan kedatangannya di kantor besar itu.
Mereka adalah: seorang wartawan yang tak pernah lepas dari kamera-kameranya; orang tua bertopi pet golf, berkacamata hitam, dan menggunakan tongkat; seorang wanita muda menarik yang memakai baju terusan panjang dan modis; seorang polisi berkumis rapi; dan seorang pemuda berjanggut kasar berpakaian preman.
Setiap kali melihat mereka, Vin teringat ia dulu pernah menyangka anak bosnya itu terlibat pergaulan yang tidak benar, atau lebih parah lagi kriminal. Namun, dugaan itu lenyap seketika ia mengetahui bahwa jauh sebelumnya, Derry telah memiliki "sekutu-sekutu" yang andal—dan tak terduga—yang bersatu untuk satu tujuan: kemanusiaan. Sedikit pun saat itu Vin tak menyangka bahwa pemuda yang akan dibinanya itu adalah seorang yang sangat lihai. Ia bisa menyatukan berbagai macam golongan dan keahlian untuk satu tujuan yang mulia.
Anggota tim yang hadir hari ini adalah orang-orang terkemuka. Para pemimpin yang membawahi "berjuta-juta" lagi anggota tim di bawahnya. Mereka biasanya bertemu untuk membahas berbagai proyek sosial berikutnya.
Derry menyalami mereka satu per satu dengan hangat, dan disambut dengan senyuman hangat pula. Lalu, ia memperkenalkan anggota baru di antara mereka: si Orang Tua, "Saya perkenalkan…, Pak Tominaga Shimaru. Pemilik Chrysantenum Group."
Chrysantenum Group, nama yang tak asing lagi. Ia merupakan grup raksasa yang berlokasi di Indonesia, Jepang, dan RRC. Perusahaan tersebut bergerak di bidang produksi, distribusi, retail aneka macam makanan-minuman, industri otomotif, jasa, dan perbankan, serta konstruksi.
Sang wartawan menjilat bibirnya. Sang wanita tersenyum. Polisi dan preman itu menunduk respek.
Pak Tominaga—69 tahun—sendiri hanya mengangguk-angguk sambil tertawa kecil. Tak heran jika kakek dari enam belas cucu ini fasih berbahasa Indonesia karena istrinya adalah orang Indonesia. Meskipun sudah memasuki usia pensiun, tetapi ia masih memiliki pengaruh yang luar biasa di grupnya.
"Dia akan ikut proyek kita kali ini sebagai pengamat…, tapi kalau sudah tidak tahan, bisa turun langsung ke lapangan."
Pak Tominaga langsung tertawa.
Derry tersenyum lebar, sebelum melanjutkan, "Nah, sekarang kita mulai rapatnya. Poin pertama, Pak Adi?"
Sang wartawan menjawab dengan lancar, "Nah, dari RCTI, SCTV, TV7, BINTANG TV, TETV, VISION, ANTEVE, INDOSIAR kemarin, saya berhasil mendapatkan enam belas calon yang bisa dicarikan donornya lagi, berikut alamat, kondisi klinis serta diagnosa dokternya."
"Apa saja kasusnya?" Vin bertanya.
"Tujuh kasus hidrosefalus, dua kelainan klep jantung, kembar siam satu, kelainan fungsi organ dalam, dan malnutrisi sisanya. Yang kembar siam agak sulit, soalnya ini berita cukup menggemparkan, jadi pasti disiarkan di televisi. Total, ada 38 kasus, 60% di Jawa barat dan Jakarta."
"Biar disiarkan. Selama donaturnya pasti dari kelompok kita. Semuanya dari keluarga tidak mampu?"
"Tentu saja. Seperti biasa."
Derry tersenyum sambil memberi tanda tak kasat mata kepada Vin yang artinya 'periksa ulang!', tapi ia berkata, "Bagus. Seperti biasa, bisa minta tolong untuk diurus Pak Midi dan Bu Rasti? Tentu saja keluarga Susanto akan mengambil andil lebih banyak dari keluarga lainnya. Seperti biasa seluruh biaya perawatan, operasi sampai pascapengobatan, asuransi, dan detailnya. Oh ya, kemarin Papa bilang biaya pendidikan dan santunan juga termasuk, tentu jika mereka memiliki kualifikasi untuk bekerja di salah satu perusahaan afiliasi Susanto."
Polisi dan wanita muda itu mengangguk sambil mencatat dengan serius.
Derry bertanya, "Apa bakal ada kesulitan untuk kali ini?"
Sang wartawan ngakak dan berkomentar dengan sinis, "Masalahnya kamu sudah menciptakan trend, Mas Derry! Sudah merupakan kewajiban moral dan tuntutan pekerjaan bagi lingkungan pergaulan elit Jakarta dan Pakar Kencana untuk membantu yang tidak mampu secara diam-diam. Tentu saja tidak ada masalah. Hahahaha."
Vin mendukung pernyataan itu, "Betul. Berebut berbuat baik sudah jadi trend."
Pak Tominaga tertawa halus, "Famili saya juga kena beberapa minggu yang lalu.... Wow! Rasanya tak percaya kalau orang macam adik saya bisa sampai menyumbang untuk operasi bayi tak dikenal…. Betul-betul brilliant cara kamu."
Pujian langka ini benar-benar tulus dikeluarkan dari hati usahawan besar itu.
"Trend" baru yang berhasil dibangkitkan Derry di kalangan keluarga kaya, pejabat, dan usahawan ini memang benar-benar luar biasa. Trend menghindari pajak dengan sumbangan dana kemanusiaan, pelayanan kepada yang tidak mampu secara sebaik-baiknya dimanfaatkan Derry. Dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi bahan pembicaraan, kebanggaan, adu pamor dan kekayaan, serta perlahan mulai menjadi kesadaran untuk memerhatikan lingkungan di pesta-pesta dan perbincangan di kalangan elit. Beberapa yang tidak ikut, bahkan terpaksa ikut-ikutan karena ketiban beban bernama gengsi.
Dengan senang hati Derry memberikan informasi kepada mereka mengenai orang-orang yang bisa diberi pertolongan. Yah, sekiranya tanpa campur tangan Derry nasib mereka pun akan dimuat di televisi atau kemungkinan besar tidak sama sekali—tergantung informasi dari media massa dan 'pengaruh' wartawan lepas.
"Terima kasih banyak. Usahakan jangan sampai terlalu berebut hingga dana menumpuk dan memungkinkan terjadinya korupsi, Tuan-tuan." Saat Derry mengatakan itu, suasana agak tegang. Dia sudah memecat dan memenjarakan sepuluh pegawai yang terkait dalam komite urusan khusus ini karena mereka melakukan korupsi dan usaha penipuan.
"Nah, sekarang, poin kedua…. Poliklinik dan Taman Bacaan?"
Sang preman angkat bicara, "Kalau mengenai itu, agak susah mengontak pimpinan cukong-cukong anak jalanan yang mau membiarkan anak-anak mereka nungguin tempat-tempat itu. Mereka takut anaknya jadi cerdas lalu lari dari mereka, reputasi lo sudah cukup terkenal...."
Derry berkata dengan murung, "Pembangunan akan rampung bulan depan… lalu jika tidak sesuai rencana gak akan ada anak-anak yang tinggal di sana. Rencana kita harus bisa berjalan, dan kita perlu anak-anak itu."
Pak Tominaga mendadak berkata, "Bagaimana kalau kita bikin perjanjian. Jika mereka tak mau memberikan anak-anak yang mampu menjaga tempat itu, kita tidak akan menindak kasus perdagangan bayi mereka. Hmm?"
Semua mata membelalak ke arah Pak Tominaga.
Sang polisi bertanya dengan lidah kelu, "Mana bisa kita mengancam begitu tanpa bukti?"
"O..., saya punya buktinya. Saya dapat saja melacak asal-usul anak angkat saya waktu itu. Kelompok Goni, Lombar, atau Jitan, kan? Di sini ada datanya dari agensi saya." ia menyerahkan sebuah map tebal kepada Derry, yang melihat sebentar sebelum mengoperkannya ke sang preman.
Ekspresi sang preman berubah saat membalik dokumen itu, kemudian matanya tampak bertanya-tanya. Ia garuk-garuk kepala, sebelum tertawa keras sambil menepuk tumpukan berkas dan foto-foto itu, "Mereka akan menyerahkan anak-anak yang kita minta. Dan yang berkualitas terbaik, saya jamin. Kita sebenarnya bisa menggulung cukong–cukong jahanam itu dengan benda ini…, sayangnya…"
"Sayangnya, itu gak akan menyelesaikan masalah sebenarnya," Derry tersenyum penuh sesal, disambut anggukan yang lain.
Respek dalam diberikan oleh para anggota tim pada kakek kelahiran negeri Sakura itu.
Derry tersenyum lega karena dia mendapatkan seorang sekutu lagi. Rencananya kali ini pun semoga bisa berjalan lancar kembali.
Tujuh puluh enam unit taman bacaan lengkap dengan kapasitas masing-masing 250 buku anak, 50 bacaan pendidikan orang tua, 26 poliklinik, 35 renovasi, lalu dana panti asuhan. Tapi, itu baru tahap pertama dari rencana pembangunan pelosok barat Pakar Kencana yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan timurnya. Setelah itu, akan menyusul sebuah asrama khusus 'penjaga taman bacaan' yang dibiayai penuh, bersanitasi bersih, dilengkapi dengan fasilitas pendidikan.
Sasaran utama Derry adalah pendidikan kepada anak-anak jalanan secara tidak langsung, perumahan mereka ke dalam panti asuhan baru untuk dididik dalam sekolah khusus—dan bakal jadi trend baru bagi orang-orang kaya, setelah mereka bosan menolong bayi-bayi, dan korban kecelakaan—lalu, suatu hari kelak akan menjadi aset tak ternilai Kota Pakar Kencana dan Indonesia.
"Tim saya menemukan orang-orang yang kira-kira dapat membina anak-anak 'penjaga taman bacaan kita'. Tolong selidiki nama-nama ini dan laporkan kualifikasinya, paling lambat bulan depan." Derry menyorongkan selembar daftar nama ke depan.
Di pilihan paling atas terdapat nama Jahar Sitompul.