webnovel

Forgive Me, Snow

Dia Little Snow yang harus tinggal bersama dengan ibu tirinya dan juga harus menerima semua banyaknya kebencian orang-orang yang ada di sekitarnya. Kehidupan Snow tak seindah dengan kehidupan Snow yang ada di film Disney. Snow harus berusaha untuk menerima semua kehidupannya yang begitu menyedihkan dan selalu dianggap tak berguna oleh semua orang yang ada di lingkungannya. Snow tak pantang menyerah, dia lebih memilih untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Ah... Apakah Snow akan berakhir happy ending sama seperti film Snow White pada film Disney yang dia tonton? *** "Anak sialan! Kamu hanya menumpang di rumah saya, jadi kamu harus bekerja lebih banyak untuk saya!" - Andin Acheyya. "Wanita menjijikkan seperti lo itu nggak pantas untuk ditolong dan dikasihani." - Aldean Pranegara. "Dia adalah Puteri di dunia nyata. Tidak seperti kamu yang berperan sebagai iblis di dunia nyata, Kinara!" - Anggara Arcale "Snow selalu di bawah gue! Dia nggak akan pernah berada di atas gue!" - Kinara Acheyya "Aku tidak butuh harta ataupun sejenisnya, aku hanya butuh kasih sayang dan juga sedikit kebahagiaan. Itu sudah cukup dan sudah banyak bagiku." - Little Snow. *** Ikuti kisah Little Snow di dalam buku ini. Selamat membaca ^^

Fitriani_nstr · 若者
レビュー数が足りません
134 Chs

Keberanian Seseorang

"Snow!"

Anggara berlari dengan cepat saat dia melihat Snow yang tengah terduduk di salah satu kursi dengan kondisi dia yang menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan.

"Apa dia lagi tidur? Ya kali dia tiduran di dalam kelas kumuh kayak gini?" batin Anggara.

Anggara melangkahkan kakinya untuk menghampiri Snow. Perlahan dia berjongkok di hadapan gadis itu.

"Snow ... Bangun ..." bisik Anggara sambil menepuk-nepuk pipi berisi milik Snow.

" ... "

Tak ada respon dari Snow membuat Anggara semakin merasa begitu khawatir.

"Astaga ... Ini anak diapain sama Aldean sialan?! Kenapa dia sampai enggak sadar kayak gini, sih?!" tanya Anggara panik sambil mendengkus kesal karena melihat keadaan Snow saat ini.

"Gue bawa dia ke ruang kesehatan aja," gumamnya pelan lalu beranjak untung menggendong Snow menuju ruang kesehatan sekolah yang berada di lantai satu.

Saat Anggara sudah berjalan menuruni anak tangga, seorang murid laki-laki yang tak lain dan tak terkecuali, murid laki-laki yang tadinya mengeluarkan Snow dari gudang langsung keluar dari dalam lemari. Ya, dia bersembunyi di dalam lemari kayu yang ada di dalam kelas tak terpakai itu.

"Hah ... Untung aja gue enggak ketahuan sama Anggara," gumamnya sambil menghela napas lega dan mengelus dadanya yang berdetak cepat karena kaget dan juga panik akan kehadiran Anggara yang ingin menolong Snow tadinya.

"Hah ... Maafin gue, Snow. Gue enggak bisa berbuat banyak sama lo. Gue enggak bisa membantu lo, walaupun gue bisa dengar dengan jelas dan lihat secara jelas gimana perlakuan Aldean berengsek itu sama lo," ucapnya sedih.

Murid laki-laki langsung bergegas menuju lantai satu usai berdialog pada dirinya sendiri tentang kesedihannya karena tak dapat menolong Snow di saat Snow membutuhkan pertolongan.

***

Brak!

Pintu gudang terbuka dengan keras saat setelah Aldean menendang pintu gudang itu dengan kuat.

Kedua bola mata anak pemilik sekolah itu mengitari dan menelisik semua yang ada di dalam gudang tak terpakai itu, dia sedang mencari seseorang.

Kedua alis tebal milik Aldean langsung terangkat saat dia tak mendapati seseorang di dalam gudang sekolah itu.

"Si buluk mana?" tanya Aldean sambil perlahan berjalan masuk ke dalam gudang itu.

"Buluk!" teriak Aldean memanggil Snow.

"Buluk!" panggilnya lagi dengan keras.

" ... "

Tak ada sedikitpun respon dari dalam gudang itu membuat Aldean mau tak mau menyalakan flash dari handphone-nya.

Aldean mendengkus kesal karena tak mendapati seseorang di dalam ruangan itu.

"Ini si buluk di mana, sih?!" tanya Aldean kesal, jujur saja kalau jantungnya berdegup kencang karena takut apabila terjadi sesuatu yang buruk kepada Snow.

"Apa dia udah keluar dari sini? Atau ada orang yang nolongin dia?" gumam Aldean lalu mematikan flash handphone-nya.

"Ck ... Paling udah ada yang tolongin dia. Enggak peduli gue kalau emang dia belum ada yang nolongin," gumam Aldean sambil mengangkat kedua pundaknya dengan acuh.

Aldean membalikkan badannya dan bermaksud keluar dari gudang sekolah itu, tetapi seseorang tiba-tiba berlari cepat ke arahnya dan mendorongnya dengan begitu kuat.

Aldean kaget bukan main.

"Lo apa-apaan, Bangsat?!" teriak Aldean emosi sambil berusaha menyalakan flash handphone-nya karena dia ingin melihat siapa yang berani mendorongnya seperti ini.

Tapi, nasib Aldean sepertinya tidak berpihak baik kali ini dengan keinginannya karena orang itu langsung melayangkan pukulan yang begitu keras pada wajahnya.

Aldean meringis merasakan sakit dan ngilu pada wajahnya itu.

"Sialan! Lo siapa Bangsat?!" tanya Aldean emosi.

Orang itu tak mengeluarkan suara sedikitpun, dia kembali memukul wajah, perut dan bahkan menendang kaki Aldean dengan emosi.

"Sial ..." lirih Aldean kesakitan.

Seketika hening. Tak ada lagi suara ataupun pergerakan yang di dengarkan oleh Aldean membuat pria itu langsung membuka flash handphone-nya.

"Dakjal!" teriak Aldean emosi karena tak ada seorangpun di dalam gudang itu kecuali dirinya saja. Aldean yakin kalau orang yang tadi memukul dirinya sudah keluar dari gudang itu sebelum Aldean menyalakan flash handphone-nya.

"Siapapun lo yang udah berani sama gue. Gue janji bakalan musnahkan lo secepatnya!" teriak Aldean emosi sambil mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat.

***

"Lo tangani dia secepatnya!" kata Anggara keras kepada salah satu petugas penjaga ruang kesehatan sekolahnya.

"Gue? Lo minta gue buat tangani cewek jelek itu?" tanya petugas sekolah itu dengan sinis.

"Ogah banget!" pekiknya tak terima.

Anggara mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat.

"Lo itu disuruh sama guru sini buat tangani warga sekolah di sini! Bukan malah ogah kalau diminta bantuannya kayak gini! Lo anak organisasi enggak berguna kalau enggak mau tangani orang yang harusnya lo tangani!" pekik Anggara emosi.

"Lo aja yang tangani dia sendiri. Gue mah ogah sama si buluk itu. Gue takut kalau nanti gue kena sasaran target bully si Aldean," kata penjaga ruang kesehatan itu lagi.

"Tangani dia cepat, Bangst!" teriak Anggara emosi dan membuat semua orang yang ada di dalam ruang kesehatan itu kaget.

Mungkin karena takut dengan amarah Anggara, petugas ruang kesehatan itu langsung menangani Snow dengan cepat. Ya, walaupun dia ogah, sih.

Sekitar beberapa menit petugas itu menangani Snow.

"Hum ... Dia enggak apa-apa, cuma dia enggak sadar aja," katanya malas.

Anggara memicingkan kedua matanya sambil menatap petugas kesehatan itu dengan tatapan mengintimidasi.

"Lo beneran kalau dia enggak apa-apa? Cuma pingsan doang?" tanya Anggara.

"Ck ... Kalau enggak percaya sama gue, bawa aja dia ke rumah sakit!" final petugas kesehatan itu lalu berjalan pergi meninggalkan Anggara menuju pasien lainnya.

Anggara menghela napas lega.

"Syukurlah kalau lo cuma pingsan doang, Snow. Gue takut kalau misalnya sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi sama lo. Gue enggak mau kalau lo lebih merasa sedih lagi," ucapnya dengan sedih.

Anggara duduk di salah satu kursi yang ada di hadapan kasur Snow.

"Snow ... Bangun," kata Anggara lembut untuk membangunkan Snow.

Anggara menggerakkan tangannya untuk mengecek suhu tubuh Snow. Kedua bola mata pria tampan itu membulat dengan lebar saat merasakan kalau tubuh Snow sangat panas.

"Astaga! Ini kenapa badannya panas banget?!" tanya Anggara panik.

"Woy! Petugas kesehatan!" teriak Anggara dan salah satu petugas kesehatan menghampirinya.

"Lo kenapa teriak-teriak, sih?! Lo ganggu pasien lain. Tahu enggak, sih?!" katanya dengan kesal dan mendapatkan anggukan dari semua pasien yang ada di dalam ruangan itu.

"Ini katanya kalau dia cuma pingsan doang! Tapi, kenapa badannya dia panas banget, sih?!" tanya Anggara.

"Sempat aja dia enggak sadar dan cuma demam biasa doang, kan?" tanyanya.

"Tapi-"

"Udah deh, Ra. Enggak usah buat repot kita. Si buluk cuma demam biasa itu," potong petugas kesehatan itu dengan begitu malas.