Akhir bulan itu, Kris tidak pulang ke Jepang. Calvin juga sudah membatalkan semua rencananya. Soal pernikahannya yang batal, juga di katakan oleh Calvin secara gamblang kepada orangtua Kris.
Di kantornya, Kris seperti robot. Dan Calvin hanya bisa miris melihatnya begitu setiap hari.
"Bos?" Tegur Calvin.
Kris menoleh, "Oh, maaf. Apa kau membicarakan jadwalku?"
Calvin menggeleng. "Sudah aku duga kau tidak mendengarkanku dari tadi."
"Maaf, aku tidak fokus. Jadi, apa yang kau bicarakan tadi?"
Calvin terkekeh kecil, "Aku belum bicara apa-apa Bos. Yang barusan hanya untuk mengetes apa kau sedang melamun atau tidak."
Kris hanya mengangkat kedua sudut bibirnya. Calvin memang selalu tahu bagaimana harus bertindak dengannya. Itulah yang membuat Calvin juga awet menjadi sekretaris pribadinya.
Calvin menyodorkan beberapa foto, dan berita yang ingin di berikannya pada Kris dari beberapa hari lalu.
"Ini foto Nona Nakahara. Dan, ini adalah berita yang berkaitan dengan foto itu," katanya, "Aku tahu kau tidak mau mengungkitnya lagi. Tapi, aku hanya ingin memastikan kalau kau tidak menjadi gila lagi. Selama bertahun-tahun aku menjadi sekretarismu, aku tidak pernah melihatmu bahagia lagi setelah Nona Sawajiri meninggal. Tapi, saat beberapa bulan bertemu dengan Nona Nakahara, semuanya terlihat lebih baik untukmu, Bos."
Kris akui memang yang dikatakan oleh Calvin benar.
Saat dirinya bersama dengan Chiko, memang dia tidak melupakan Erika, tapi dia mulai melupakan kenangan itu satu per satu secara perlahan. Itulah yang benar-benar di rasakannya selama ini sebenarnha untuk Chiko.
Dan kalau dia memiliki kesempatan untuk menjawab pertanyaan Chiko... tentu saja dia ingin menjawab... menjawab...
"Ini tiket ke Tokyo," kata Calvin, "Aku menjadwal ulang kepergianmu ke sana. Selamanya aku juga tidak ingin melihatmu seperti orang tidak waras begini, Kris. Kali ini aku berkata sebagai sahabat. Dan, aku membeli tiket itu dengan uang gajiku sendiri. Jadi, hargai pemberianku kali ini. Oke?"
Kris mengangkat wajahnya, melihat kepada Calvin. "Baiklah, aku hargai ini. Jadi, aku akan pergi, dan urus semua masalah disini selama aku tidak ada. Oke?"
"Siap!"
-----
"Kau akan ke mana? Ulang sekali lagi!" Alex saat mendapat telepon dari Kris di Sabtu siang, saat sedang berkumpul dengan keluarga sahabatnya yang lain. "Kau mau ke Jepang? Katanya kau sudah tidak mau memikirkannya."
"Trap in a previous moments will make you stuck forever right? Aku mau mengatakan yang sebenarnya pada Chiko. Semuanya. Agar aku tidak menyesalinya seperti dulu."
"Kapan? Kapan kau akan berangkat?"
"Lusa. Penerbangan pertama."
"Baiklah. Aku doakan."
Ponselnya di jauhkan. Alex memasang raut wajah yang sulit di artikan, dan yang lainnya memandangnya dengan harap-harap cemas.
"Dia mau ke Tokyo. Mau menyusul Chiko katanya."
"Puji Tuhan!!!" Seru Rhea bahagia, "Aku turut senang sekali mendengarnya. Jadi, kita juga akan ikut kesana, bukan?"
"Aku harap begitu, tapi, anak-anak tidak sedang liburan," kata Eugene.
"Tenang saja, kalian bawa anak-anak kalian. Biar nanti aku yang meminta Tevin untuk mengurusi mereka selama di Jepang," kata David.
"Baby sitter?" Gumam Carlos.
"Ya, anak kalian bukan bayi lagi sih. Jadi toddler sitter lebih tepat sepertinya."
Semua terkekeh sejenak. Sampai akhirnya Tyas baru menyadari suatu hal.
"Memangnya kita sudah mempersiapkan untuk ke Jepang? Maksudku, untuk passport, dan visa?"
"Itu urusan Tevin nanti," gumam David lagi, "Kau siapkan, Tev?" Tegurnya pada Tevin yang berada di meja belakang David.
Andai saja bukan David yang menggajinya, dia pasti akan menolaknya mentah-mentah. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada pilihan yang mendukungnya saat ini bukan? Dengan berat hati, Tevin mengangguk.
"Tenang saja, bonusmu akan ku kalikan sesuai dengan jumlah orang yang kau urus visa dan passportnya."
Tevin mengangkat wajahnya. Ya, setidaknya tidak seburuk waktu dia berusaha mati-matian menolong Bosnya itu untuk menikahi Tyas. Maksudnya, dia lembar-lembur selama berbulan-bulan untuk acara pernikahan mereka berdua, tapi David tidak memberinya bonus sama sekali.
"Siapa yang akan membeli tiketnya?" Tanya Leo, "Aku sudah lama sekali tidak membeli tiket pesawat."
"Tentu saja Tevin," timpal Carlos, dengan seringaian liciknya. "Iya, kan Tev?"
"Hei, kau bukan Bosku!"
"Tapi aku temannya Bosmu," dalihnya, "Begini saja, kami akan memberikanmu uang lembur sebagai kerja kerasmu. Kau orang yang menyenangkan, bukan?"
"Tapi bukan untuk kalian suruh-suruh begini, tahu?" Balas Tevin. "Tapi aku setuju."
Semuanya tertawa. Dasar Tevin.
"Baiklah, jadi, kapan kita biss menyusul Kris?" Tanya Alex. "Dia pergi lusa nanti."
Tevin masih sibuk dengan tabletnya untuk mencari tiket, kemudian dia menemukannya. "Ini dia. Penerbangan terakhir, empat hari lagi."
"Apa?!" Seru semuanya. "Itu terlalu lama!"
"Hanya itu yang available untuk jumlah lima belas orang penumpang," jawab Tevin.
"Lima belas?" Ulang Carlos, "Siapa saja?"
"Kalian dan istri kalian masing-masin sudah sepuluh orang. Anak kalian satu-satu, sudah empat belas, karena David belum punya anak."
"Yang satu orang lagi siapa memangnya?" Tanya Leo.
"Tentu saja aku."
.....
Kemudian mereka hening sejenak. "Tev, bagaimana kalau kau masuk dalam kabin pesawat saja? Agar kita lebih murah?" Tawa David.
Tevin langsung cemberut.
Yang lainnya tertawa lagi.
"Baiklah, baiklah! Itu hanya bercanda, astaga! Jangan marah Tev!!!" Balas Carlos, "Ya sudah, urus saja sesuai anggapanmu yang baik bagaimana, dan kami akan menurutinya. Oke?"
"Baiklah!!!" Kali ini Tevin tersenyum sambil mengiyakannya.