webnovel

I. Bertemu lagi.

Suara gemuruh hujan mulai terdengar, ditemani dengan rintikan air hujan berjatuhan di atas tanah lapangan luas yang berisi para murid dengan pakaian olahraga yang sudah basah kuyup karena guyuran hujan.

"YES! AKHIRNYA DOA SAYA TERKABUL!" Sorakan riang dari seorang siswa bertubuh tinggi dengan suara menggelegar di sepanjang lorong.

"JERIM! KEBIASAAN YA KAMU." Suara teriakan dari guru olahraga dan alisnya yang sudah menekuk tajam siap menghabisi Jerim kapan saja.

"Eh Bapak Toto." Sapa Jerim dengan polosnya.

Pak Toto selaku guru olahraga yang melihat siswa di depannya itu langsung menyambar telinga lancip Jerim.

"Kamu ya jangan sok-sok an baik sama saya, kamu kan yang sembunyikan bola basket kemarin?" Tuduh Pak Toto memelintir telinga lancip Jerim.

"Ehh aduh pak sakitt." Ringis Jerim menahan rintihannya.

Pak Toto tak memberikan ampun, pria tua itu malah memperkuat jewerannya.

"Jujur dulu sama saya, kamu taruh bola basketnya di mana?" Pak Toto masih dengan pendiriannya menyalahkan Jerim.

Jerim menarik dirinya agar menjauh dari jeweran Pak Toto.

"Apaan sih pak kenapa jadi saya yang di salahin? Salahin tuh kapten tim saya, lah saya mah kagak ambil bola bapak." Jerim berkata jujur.

Pak Toto memicingkan matanya, "Serius kamu? Saya mencium-cium bau kentut nih."

Jerim memasang senyum tertekan, "Kayaknya yang bener bau-bau kebohongan deh pak." Koreksinya.

"Ya sudah kalau seperti itu, saya mau tanya kapten tim kamu langsung, tapi.." Pak Toto mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Jerim.

"Kalau kamu ketawan bohong, saya kurangin poin kamu." Lanjut Pak Toto.

"Poin mines ya pak?"

"Oh kalau yang itu saya tambahi." Balas Pak Toto.

Jerim hanya bisa tersenyum, namun di belakangnya sudah ada Toru yang sedang menahan tawa setelah melihat telinga Jerim yang memerah akibat jeweran dari Pak Toto.

Toru berjalan mendekati Jerim yang sedang menggerutu sendirian sembari melihat kepergian Pak Toto.

Toru memijat pelan telinga merah Jerim. "Ciee yang dijewer Pak Lele, enak gak?" Ejeknya.

Jerim berbalik menatap sinis Toru, "Bukannya enak, sakit nih yang ada." Ucapnya sembari mengelus telinga merahnya.

Toru berdehem menghilangkan geli di perutnya, "Gimana kalau kita jenguk Aileen aja?" Tanyanya merendahkan volume suaranya.

Jerim mengernyit, "Aileen siapa?" Polosnya.

𝘌𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘯𝘪𝘩 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘨𝘰𝘣𝘭𝘰𝘬 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘳𝘢-𝘱𝘶𝘳𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘰𝘴. Serapah Toru dipikiran-nya.

Toru menendang tulang kering Jerim. "Bisa-bisanya lu lupain nama lengkap sahabat lu sendiri."

Jerim menganga, "Ohh Rara maksudnya."

Toru menghela kasar. "Bodo ah Jer."

Jerim terkekeh, "Ayo, tapi ganti baju dulu ya soalnya lembab banget gak enak." Risihnya mengipasi lehernya kegerahan.

Toru mengangguk, "Ayo buru."

Jerim menarik tangan Toru, "𝘓𝘦𝘨𝘨𝘰!!"

Toru mengikuti langkah besar Jerim yang berjalan di depannya, pandangan nya tertutupi oleh tubuh tinggi Jerim yang menjulang ke atas.

Jujur saja, bagaimana bisa Toru menyamakan langkah seorang Jerim yang memiliki tinggi 182cm, sedangkan tubuhnya hanya kisaran 173cm. Berbeda dengan Jerim yang sedang mengedarkan pandangannya, namun manik coklatnya menangkap sesosok yang menyita perhatiannya dan membuat langkahnya terhenti.

Begitu pula Toru yang sedang berjalan di belakang Jerim pun mau tak mau menabrak punggung keras pria tinggi itu.

"Lu kenapa berhenti mendadak segala sih." Toru mengelus keningnya.

Jerim menoleh ke Toru, "Lu liat apa yang gua liat gak, Ru?" Jerim memberi kode melalui ekor matanya.

Toru mengernyit, namun setelah pria itu menyadari kode yang di perantara kan melalui tatapan mata Jerim, pandangan nya mengikuti arah pandang Jerim yang mengarah ke depan ruangan Bimbingan Konseling.

Dengan menyipitkan matanya dia dapat melihat lebih jelas siapa sosok yang sedang mengobrol dengan Bu Fefa, guru Bimbingan Konseling mereka.

"𝘖𝘩 𝘴𝘩𝘪𝘵." Toru menutup mulutnya tak percaya.

Jerim dan Toru saling menatap, "Dia balik bro.." Ucap Jerim.

Toru mengangguk, "𝘠𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵, 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘪𝘵𝘤𝘩."

"𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘸𝘦 𝘥𝘰 𝘯𝘰𝘸? Gua benar-benar gak 𝘦𝘹𝘱𝘦𝘤𝘵." Lirih Jerim.

Manik hijau Toru kembali melihat ke arah gadis yang sedang bercengkerama dengan Bu Fefa dan kembali menatap Jerim yang sedang menunggu tanggapannya.

Toru meneguk ludahnya kasar. "Kita harus tanya Rara."

Langkah Toru dan Jerim berlari ke ruang ganti sekolah, kedua pria itu memasuki bilik ganti mereka masing-masing untuk mengenakan kembali seragam sekolah mereka. Mereka juga membasuh tubuh mereka yang terguyur air hujan.

Beberapa menit berlalu, mereka sudah siap dengan setelan seragam yang terpasang rapi. Toru menginjak-kan kakinya keluar dari bilik dengan membawa baju olahraganya yang sedikit basah.

"Apa Rara udah tau soal ini?" Lirih Toru sembari memakai sepatunya.

Disusul Jerim yang baru saja keluar dari biliknya dengan keadaan rambut yang basah, bahkan seragam di bagian pundaknya sudah cukup basah karena air yang terus menetes dari rambutnya.

Toru mendecak geram, "Kebiasaan lu nih, keringin dulu itu rambut baru keluar." Cemoohnya.

Jerim yang sudah terbiasa pun hanya cengingiran. "Gak enak kalau di dalem, gak leluasa." Dalihnya.

Toru menggerutu, "Banyak alasan."

Setelah selesai memakai kedua sepatunya, sembari menunggu Jerim yang menyiapkan perlengkapannya, Toru menyibukkan dirinya dengan membuka ponselnya dan bermain dengan ponselnya.

Pria itu membuka browser di ponselnya, mengetikkan beberapa kunci kata sampai menyusun sebuah kalimat, setelahnya dia menekan tombol search untuk mencari penelusuran yang sudah ia ketik.

"Jadi dia beneran udah balik." Gumam Toru.

"Lu ngapain?" Tanya Jerim yang timbul dari belakang Toru.

"𝘍𝘶𝘤𝘬." Toru menahan kepalan tangannya.

Pria itu menatap wajah polos yang pastinya dibuat-buat oleh Jerim, namun karena mengingat ada sesuatu yang genting ia kembali menarik kepalan tangannya agar tak mengenai wajah tampan Jerim.

"𝘕𝘰𝘵 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘣𝘶𝘴𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴." Balas Toru kesal.

Jerim mengerang sebal, "Huh? 𝘕𝘰𝘵 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘣𝘶𝘴𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴, 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘢𝘺?"

Toru menyentil bibir pink Jerim, "Berisik."

Toru berjalan lebih dulu meninggalkan pria yang sedang menusuk-nusuk pelan bibirnya yang perlahan memerah karena sentilan yang diberikan Toru.

Setelah tersadar melihat Toru yang sudah berjalan cukup jauh darinya, ia langsung berlari mengejar Toru yang sama sekali tak menoleh ataupun mengajaknya.

"Toru sialan." Umpat Jerim.

Akhirnya Jerim dapat mengejar langkah Toru yang tak terlalu cepat, mereka berdua berjalan menuju UKS mengunjungi Lera yang sedang beristirahat. Setiap langkah yang mereka ambil, selalu ada pasang mata yang memerhatikan mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki, terutama Jerim dengan perawakan elegannya.

"Ini gua aja yang merasa atau semua tatapan lagi mengarah ke kita? Gua berasa napi yang baru keluar dari penjara." Jerim mulai merasa risih.

Toru menyenggol lengan Jerim, "𝘊𝘩𝘪𝘭𝘭 aja, anggap ini tuh simulasi jadi artis dadakan."

Kedua pria itu berjalan di lorong dengan sikap tak peduli terhadap pasang mata yang mengawasi mereka, Toru tahu bahwa ini akan terus terjadi saat dia sedang bersama Jerim. Seorang Jerim yang hanya mengikuti langkah Toru terfokus memandang lurus melihat ruangan-ruangan yang ada di lorong, dia juga tak memedulikannya.

"Jer.." Suara Toru mengecil.

Jerim yang ingin mengetahui apa yang akan diucapkan Toru pun memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan Toru. Pria itu mengangkat satu alisnya saat Toru menolehkan wajahnya.

"Kayaknya ada orang yang masuk ke UKS." Toru berbisik.

Pandangan Jerim langsung mengarah ke pintu UKS yang sedikit terbuka dibanding saat mereka keluar tadi dan Toru yakin kalau pintunya sudah mereka tutup rapat.

Perasaan gelisah menggerogoti Toru, pria itu berlari menuju UKS yang pastinya diikuti oleh Jerim yang tak ingin tertinggal.

Toru mendorong kencang pintu UKS. "LERA!" Tampang khawatir tertampak jelas di wajah Toru.

Langkah Jerim menyusul Toru dari belakang, tak menyangka bahwa Toru bisa sangat gesit. Pria itu menepuk pundak Toru, namun tak ada balasan dari pria pendek di hadapannya. Jerim merasakan tubuh Toru menegang dan tanpa babibu ia menggeser tubuh Toru ke samping, dan melihat keadaan di dalam UKS.

"Tuan Lataza." Gumam Jerim merasakan udara yang mencekik.

Jerim ikut terpaku bersama dengan Toru yang sedang berusaha menghirup oksigen yang ada karena mereka mencium aroma yang sangat menusuk, dan juga menyengat di waktu bersamaan.

"Tuan Lataza." Ucap Toru terbata-bata.

Mereka melihat seorang pria dengan balutan jas hitam dan juga rambut yang sedikit basah, pria tinggi itu tak lain adalah Lataza.

Tatapan Lataza tak terputus menatapi tubuh Lera yang berbaring di atas ranjang khusus dengan selang oksigen yang terpasang, namun karena ia terganggu dengan kedatangan dua sejoli itu, tatapan dinginnya beralih ke dua sejoli itu.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Lataza dengan suara beratnya.