webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
レビュー数が足りません
165 Chs

Mencari Simon

Ashley melangkah lebar-lebar dengan kaki panjangnya. Setelah menyelesaikan kelasnya, dia segera keluar untuk mencari seorang pria yang menjadi alasannya begitu senang hari ini. Karena demi apapun, dia bahkan melompat kegirangan dan menyalami siapa saja yang dia temui sewaktu berangkat ke kampus tadi.

Bayangkan, hanya membujuk seseorang untuk menjadi model majalah kampus, dan kau akan mendapatkan bayaran penuh untuk sesuatu yang tidak kau kerjakan. Ini seperti mendapatkan harta karun tanpa susah-susah berlayar di atas kapal mengarungi samudera luas.

Memang apa susahnya mengajak seseorang sih?

Ashley rasa seseorang harus bersikap sopan santun dan menunjukkan wajah tulus saat hendak meminta bantuan pada seseorang. Sekalipun orang tersebut memiliki sikap yang tak mengenakan, bermulut pedas misalnya, pasti akan lebih mudah meluluhkan hati mereka jika kita bisa pandai bersikap.

Menurutnya, ini lebih mudah ketimbang harus bekerja seharian di Cafe. Apalagi dia kerap kali beradu argumen dengan Helena, memperdebatkan sesuatu tidak penting yang nantinya akan berakhir dengan sesi ancaman. Membuat Ashley mau tak mau mengalah.

Sekarang, tidak ada lagi tatap muka dengan Helena. Ini adalah masa kemerdekaan bagi Ashley. Dia bebas.

"Permisi.."

Ashley melakukan cara pertama, bersikap sopan ketika memasuki ruang kelas yang diikuti oleh Simon. Sebelumnya dia telah mendapatkan beberapa jadwal kegiatan dari Jacob. Untuk sekarang, tertulis bahwa Simon berada di dalam kelas bisnis.

Tidak banyak orang di dalam ruangan ini. Ashley mengitarkan pandangan ke seisi ruangan, mencari keberadaan Simon. Ingatannya akan sosok pemuda itu lumayan membekas karena pertemuan pertama dan kedua mereka tidak bisa dibilang baik juga.

"Ada perlu?"

Sebuah suara lembut mengintrupsi. Ashley menoleh dan mendapati seorang gadis dengan paras cantik tersenyum padannya. Rambut ikal berwarna ungu tampak sosok dengan kulitnya seputih porselen. Dia adalah gadis tercantik yang pernah Ashley lihat. Padahal Helena juga Mahasiswa jurusan Bisnis, tetapi kenapa kakaknya tampak berbeda. Tidak terlalu menyukai riasan dan seperti gelandangan yang tidak mengurus dirinya sendiri.

"Anu.. Saya sedang mencari Simon, apakah anda tahu dimana dia?" tanya Ashley, berusaha setenang mungkin agar tidak terlihat tengah gugup. Ini pertama kalinya berbicara dengan gadis cantik -terkecuali Helena karena dia tidak cantik menurut Ashley.

"Simon? Simon Carver?"

Ashley mengangguk meskipun dia tak tahu nama panjang Simon yang dimaksud. Tetapi kemudian dia sadar jika nama 'Simon' bisa saja dimiliki oleh banyak orang di Salt Lake Universitas ini. "Yang rambutnya hitam berponi, kulitnya putih pucat, tubuhnya lumayan kurus dan tingginya sekitaran ini," tambah Ashley seraya meletakan tangannya setinggi pundak, mengukur seberapa tinggi orang yang dicarinya. Ashley mengingat bagaimana dia harus menundukkan wajah ketika berbicara dengan Simon. Pria memiliki proposi tubuh yang terbilang imut sebenarnya, jika tidak bermulut pedas.

"Iya, itu Simon Carver." Senyuman itu luntur, membuat Ashley bertanya-tanya, apakah dia mengatakan sesuatu yang salah? "Ada apa mencari Simon?"

"Saya memiliki urusan dengannya, apakah anda tahu dimana dia berada?"

Gadis itu menggeleng. Tentu saja, memangnya dia ini cenayang yang dapat mengetahui apapun. "Dia baru saja keluar dari kelas ini. Aku juga tengah mencarinya, bagaimana kalau kita mencari bersama?"

Itu ide yang bagus. Ashley mengangguk lagi. "Tentu saja."

Si gadis kembali tersenyum. Dia berjalan lebih dulu kemudian diikuti oleh Ashley di belakang.

"Apa kau dekat dengan Simon?" tanya si gadis tanpa menoleh ke arah Ashley.

"Tidak juga.." Ashley menjawab seadanya. Dia tak ingin terlihat norak saat berjalan dengan seorang gadis cantik berada tepat di sebelahnya. Terlebih lagi pandangan orang-orang yang tertuju pada mereka. Ini terasa seperti diadili secara sepihak, Ashley bisa melihat sorot menghakimi dari orang-orang, apakah ini salahnya karena berjalan dengan gadis cantik?

"Begitu kah? Aku pikir kalian teman dekat."

"Aku harap kami nanti bisa menjadi dekat," jawab Ashley yang kemudian menggeser tubuh agak lebih jauh dari gadis ini.

"Ah, maaf.. kita belum berkenalan." Gadis itu menghentikan langkah, diikuti oleh Ashley. "Perkenalkan, namaku Emily," katanya sembari mengulurkan tangan.

"Ashley." Ashley menerima jabat tangan Emily, meski hanya beberapa detik saja. Dia tak ingin menimbulkan masalah lain, karena sepertinya kehadirannya bersama gadis ini saja sudah memunculkan stigma negatif. Gadis cantik jelita bersama dengan upik abu, siapa yang akan disalahkan? "Well, kita akan mencari kemana lebih dulu?" Ashley berjalan mendahului Emily.

"Kita bisa cari ke perpustakaan dulu."

"Perpustakaan?" Sesungguhnya Ashley tak percaya jika mereka akan menemukan Simon di sana. Pria dingin bermulut pedas itu sangat tak cocok dengan perpustakaan.

"Dia suka dengan tempat yang sepi."

Ashley mengangguk kecil. Simon memang terlihat seperti orang yang tak menyukai keramaian. Perpustakaan akan cocok dengannya.

"Kau terdengar seperti memiliki hubungan dekat dengan Simon," kata Ashley. Tak mungkin terus menerus terjebak dalam situasi canggung, salah satu dari mereka harus mengatakan sepatah kata. Meski hanya sekedar basa-basi.

"Yeah, kami memang dekat.." Ucapan Emily menggantung di udara bersamaan dengan wajahnya yang langsung berubah murung. "Setidaknya sebelum aku merusak segalanya.."

Oh tidak, Ashley langsung menyesali perkataannya. Bukan menjadi akrab, dia justru telah membuat situasi semakin canggung. "Aku minta maaf."

"Hey, kenapa minta maaf? Ini bukan salahmu kok~" Emily tersenyum tetapi Ashley tahu bahwa gadis itu tak benar-benar 'tersenyum'. Sesuatu menyedihkan berada dibalik senyum itu, sesuatu yang tak akan dikatakan pada orang asing tentunya.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Baik Ashley maupun Emily sama-sama saling berdiam diri sepanjang perjalanan sampai mereka tiba di pintu utama gedung perpustakaan. Ashley membelalakan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gedung perpustakaan ini lebih mirip bangunan museum yang sering dia lihat di dalam film. Betapa indah dengan sentuhan estetika khas era yunani kuno. Partheon, Ashley ingat pernah membacanya dari salah satu buku sejarah saat SMP dulu. Kemudian dia langsung menurunkan pandangan, memperbaiki raut wajahnya. 'Jangan sampai terlihat norak.'

Pintu utama berdecit saat Ashley mendorongnya, semakin memperkuat citra 'bangunan tua' dari gedung ini. Atau memang para pengurus tak terlalu memperhatikan kelayakan bangunan karena malas saja.

Emily sudah berjalan lebih dulu, dia memimpin pemuda bertubuh besar di belakangnya. Memasuki lorong resepsionis, tempat untuk meminjam buku dan menitipkan barang bawaan.

'Tidak boleh membawa tas besar, payung, jas hujan da helm ke dalam ruang baca'.

Ashley membaca tulisan bertinta merah pada papan putih di sebelah rak-rak penyimpanan.

Rak-rak tinggi dan besar berjajar di dalam ruang baca yang mana memiliki kesan lebih modern daripada bagian luar bangunan. Lampu-lampu LED menyoroti dengan terang, membantu seseorang untuk membaca dengan nyaman. Juga menjadi lebih mudah untuk menemukan sesuatu atau seseorang di dalam sini.

"Itu dia," kata Emily dengan jemari menunjuk ke satu titik. "Itu Simon yang kau cari kan?"

Ashley mengikuti arah yang ditunjuk gadis di sebelahnya. Di jejeran bangku dan kursi, seorang pemuda tengah duduk. Tidak membaca buku, tampak memejamkan mata dengan earphone putih menyumbat telinganya.

"Yeah, itu dia.."