webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
レビュー数が足りません
165 Chs

Bertemu Si Bodoh

"Sial!.."

Simon mendesis pelan, memutar kunci lalu menginjak pedal gas. Maserati Levante Silver berpacu dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang cukup ramai dipadati oleh kendaraan lain. Bagi Simon, tak ada yang lebih penting ketimbang menemukan cincin berwarna hitam, pemberian dari Caroll saat ulang tahun ke tujuh belas. Meski wanita itu malah meremehkan arti dari sebuah cincin.

Kalau dipikir lagi, ucapan Caroline tak sepenuhnya salah. Dengan usia Simon yang beranjak dewasa, apalagi Simon pun sadar dia tak seharusnya begitu membanggakan sebuah pemberian, ditambah si pemberi itu sendiri tak menganggapnya penting.

Tindakannya ini malah akan membuat sosoknya tampak seperti orang bodoh.

'Apa berharganya sebuah cincin hitam?'

Sangat berharga.

Simon, di usia ketujuh belas, mendapatkan kado paling berharga —selain berhubungan badan— yaitu cincin berwarna hitam metalik yang akan memantulkan cahaya. Terkesan keren dan elegan. Meskipun saat itu dia menerima dengan wajah biasa saja, tak ada yang tahu bagaimana perasaannya berbunga-bunga karena jelas dia memiliki perasaan lebih dalam terhadap wanita yang lebih tua darinya itu. Caroline adalah cinta pertamanya, walaupun Simon berusaha keras tak terlalu terlihat.

Tentu saja karena dia sendiri pun tahu bagaimana wanita itu memandangnya. Hanya sebagai anak kecil yang butuh teman -teman tidur tepatnya.

Cinta pertama katanya memang tak pernah berakhir secara mulus.

Menyedihkan.

Maka sampai sekarang, Simon hanya bisa menyimpan perasaannya di dalam sebuah cincin hitam metalik.

Gerimis tipis membasahi kaca depan mobil, terlihat tipis dan tak terlalu mengganggu pandangan, bisa ditebak jika keadaan di luar tak sederas beberapa saat lalu.

Simon menghentikan mobil berwarna silver tepat di parkiran sebuah cafe. Tempat terakhir kali dia datangi. Dari kejauhan saja sudah terlihat jika bangunan tersebut sudah menggelap. Lampu-lampu yang menerangi sudah dimatikan, baik yang di luar maupun di dalam. Hanya tersisa lampu jalanan dengan nyala remang-remang. Di lihat dari sisi manapun, Cafe ini telah melewati jam tutupnya.

Si pengendara Maserati Levante memukul stir, umpatan samar-samar terdengar dari bibir berwarna semerah darah. Walau hatinya berdoa setengah mati agar setidaknya ada setitik keajaiban. Misalnya seperti ada salah satu staff yang masih berada di sekitaran tempat ini, lalu berbaik hati memperbolehkannya untuk masuk, atau malah ikutan membantu mencari cincinnya yang hilang.

Simon, betapa kau sangat tamak dan tak tahu diri.

Simon tak peduli jika Tuhan tengah memasukan namanya dalam daftar hitam lalu menghapus berkat keberuntungannya selama setahun. Asal dia bisa mendapatkan kembali cincin hitam tersebut.

Pintu mobil terbuka dan kemudian terbanting dengan suara keras seiring sosok pemuda keluar dari dalamnya. Melangkahkan kaki terburu-buru menuju ke arah pintu utama yang tertutup, sudah pasti telah terkunci.

'Greg.. Greg..'

Simon menggenggam erat pegangan pintu, mendorong serta menariknya cukup kuat hingga menimbulkan suara gemeresak berisik. Siapa saja yang melihat situasi saat ini pasti langsung menyimpulkan bahwa ada pencuri yang sedang membobol Cafe ini.

'Terkunci, Sial!'

Ucapan adalah doa, meski hanya diucapkan dalam hati saja. Simon merutuki kebodohannya untuk kesekian kali, seharusnya dia berbicara yang baik-baik saja. Tuhan pasti tak akan mau mendengarkan doa dari orang berdosa besar seperti dirinya.

"HOY! SIAPA DI SANA!"

Suara berat seseorang di belakang sontak menghentikan aksi Simon. Benar-benar apes, tempat ini seolah melengkapi kenangan buruknya dalam satu hari ini. Setelah dicampakkan, disiram kopi lalu sekarang dia akan digiring ke kantor polisi atas tuduhan pembobolan Cafe yang tutup. Demi apapun di dunia ini, Simon bahkan sanggup membeli satu bangunan ini beserta para pegawainya kalau perlu, tapi itu belum cukup untuk meyakinkan siapapun orang di belakangnya bahwa dia bukanlah seorang pencuri.

"Maaf, ada barang saya yang tertinggal di dalam Cafe ini..." kata Simon sembari berbalik badan. Dia sedikit terkejut melihat seorang pemuda berperawakan tinggi besar berjalan ke arahnya. Dia tak bisa melihat wajah pemuda itu, tapi firasatnya mengatakan bahwa orang di depan sana bisa saja meremukan tubuh kurus tanpa otot miliknya ketika mencurigai alasan yang baru saja dia jabarkan.

Alasan—

Lalu, secara cepat Simon menyesal karena sadar alasan semacam itu tentu tak akan langsung dipercaya. Kalau ada satu saja orang yang percaya, bisa dibilang kasus perampokan dan pencurian di negeri ini akan semakin melonjak tinggi setiap hari. Terkecuali jika orang tersebut cukup bodoh untuk mengiyakan.

"Benarkan? Kalau begitu kebetulan sekali, saya juga melupakan sesuatu di dalam sana~" ujar si pemuda tinggi sembari tersenyum lebar. Dengan santai dan tanpa curiga, pemuda itu berjalan melewati Simon lalu membuka pintu Cafe dengan kunci di tangannya.

Ah, ternyata Simon baru saja bertemu dengan salah satu orang bodoh.

Simon hanya berdiri di belakang pemuda bertubuh tinggi itu, menunggu sampai pintu terbuka, selanjutnya dia akan mencari dengan leluasa tanpa takut disangka pencuri. Sepertinya, Tuhan benar-benar mendengar doanya beberapa saat yang lalu, hanya saja terpaut jeda waktu cukup panjang sampai permintaannya terkabulkan. Tidak panjang juga, Simon lah yang tak sabaran sebenarnya.

"Ah, sebentar.... kunci mana yah yang benar...." gumaman pemuda tinggi sampai ke telinga Simon yang berada di belakang. Memunculkan dugaan besar dan lebih spesifik.

Pemuda ini lebih bodoh dari perkiraan awal Simon. Bukan hanya mudah mempercayai ucapan seseorang, dia juga ceroboh. Tubuh besar tak menjadi patokan isi kepalanya juga besar. Simon meringis, menyadari bahwa kemungkinan dia tak akan mendapatkan cincin hitam tersebut secepatnya. Ah, bahkan dia sendiri tak terlalu yakin jika cincin tersebut ada di dalam Cafe ini. Tindakan selanjutnya sangat bergantung pada si pemuda bertubuh tinggi yang masih sibuk memindai manakah kunci yang benar.

Pemuda bertubuh besar?

"Kau pemilik tempat ini? Penumpah minuman?"

Pertanyaan dadakan dari Simon sontak membuat si pemuda tinggi berhenti memilah kunci, terkesiap dengan bahu menegang lalu diiringi dengan suara gemerincing dari kumpulan kunci yang terjatuh ke lantai. Tampaknya bukan hanya Simon saja pihak yang baru menyadari satu hal.

Kebetulan yang membuat canggung keadaan.

Terutama bagi si pemuda tinggi yang kini terlihat ragu-ragu memutar sudut badannya. Menoleh ke arah Simon dengan cengiran lebar di wajah, jelas untuk menutupi ekspresi cemasnya.

"Ma—maafkan aku Tuan!"

Si pemuda tinggi —Ashley— langsung membungkukkan badan, seperti yang telah dia lakukan sebelumnya saat tak sengaja menumpahkan minuman di pakaian Simon.

"Aku tak mengerti kenapa kesialan selalu menimpaku di tempat ini," Simon menatap datar sambil menyilangkan tangan di dada. "Ah, bukan, sepertinya karena bertemu denganmu membuat kesialan menimpaku terus menerus.."

"Maafkan saya Tuan!"

Pemuda itu masih setia membungkuk.

Simon menghela nafas pelan, dia jadi merasa tak enak telah meluapkan emosi pada orang yang sebenarnya tidak salah. "Sudah cukup membungkuk seperti itu, memangnya kau robot 'minta maaf'?"

"Ini sebagai bentuk ketulusan hati saya agar anda memaafkan~"

'Pluk'

Simon menepuk dahinya sendiri. Dia paham sekarang, pemuda di depannya adalah tipikal orang keras kepala yang tak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai.

Bodoh, ceroboh dan keras kepala.

Lengkap sudah komposisi hari sialnya.

"Iya iya....ku maafkan. Jadi, cepatlah berdiri," kata Simon dengan nada memerintah. Sebagai orang yang masih waras, dia mempunyai kesadaran diri untuk mengalah. Apalagi, dia harus cepat-cepat menemukan cincin hitam metalik tersebut.

Berkat perkataannya barusan, pemuda tinggi itu akhirnya bangun, lalu kembali memasang tampang berseri-seri yang sangat tidak cocok dengan tubuh besarnya.

Simon rasa, pemuda di depannya itu memiliki keterbelakangan mental. Lihatlah, bagaimana bisa lelaki dewasa seperti itu bertingkah layaknya anak kecil. Dia cukup terganggu dengan tampang polos itu.

Si pemuda besar kembali berbalik badan menghadap pintu yang masih terkunci, kembali pada kegiatannya tadi, mencari kunci yang benar. Bunyi gemerincing saat kumpulan kunci diguncang, juga gumaman kesal saat tak menemukan kunci yang pas, membuat Simon di belakangnya berdiri dengan tangan yang gatal.

"Kemarikan," sergah Simon, mengambil alih kumpulan kunci dari tangan pemuda lainnya. Dia sebenarnya orang yang cukup tenang dan penyabar, tapi untuk kali ini, kesabarannya sudah hilang oleh satu orang bodoh. Iris gelapnya mencermati setiap batang kunci, mengamati lekat-lekat dan mencobanya satu persatu. Sama seperti yang dilakukan si pemuda tinggi, tak jauh beda sebenarnya. Hanya saja, pada kali ke dua mencari kunci yang cocok, dia sukses melakukan pencariannya.

Kunci berbentuk pipih dengan batang bergerigi berhasil membuka pintu yang terkunci. Lalu, Simon memberikan kumpulan kunci tersebut pada pemuda di belakangnya dengan tatapan meremehkan.

"Ta—tadi saat ku coba tidak bisa!" Ashley menyangkal, hidungnya kembang kempis ketika menyadari arti dari tatapan pemuda yang lebih kecil darinya. Yeah, meskipun dengan tubuh mungil, namun Ashley bersumpah jika dia merasa aura yang sangat kuat dari pancaran bola mata sehitam malam.

Lebih tepatnya, membuat dia jadi salah tingkah.

Simon tak menggubris, dia membawa langkah kakinya memasuki ruangan yang sudah menggelap. Tak heran karena Cafe ini sudah tutup beberapa waktu lalu. Simon tak ambil pusing untuk menyalakan cahaya flashlight ponselnya daripada meminta pada si pemuda besar tapi bodoh untuk menyalakan lampu.

Simon sedikit membungkuk, menyoroti setiap jengkal celah yang memungkinkan jadi tempat hilangnya cincin hitam. Kolong bangku, celah diantara kursi-kursi, di bawah pot tanaman kecil, Simon mencari dengan sangat teliti. Bola matanya memicing dan alisnya berkerut agar dapat melihat dengan lebih jelas.

Sayangnya, dia bukanlah kucing, kelelawar atau hewan malam dengan penglihatan sangat tajam di ruangan gelap. Dia tetaplah manusia yang mempunyai keterbatasan penglihatan. Ditambah benda yang tengah dia cari adalah sebuah cincin berwarna hitam.

Hitam metalik akan sangat membaur dengan kegelapan di sekitarnya, membuatnya menjadi tak terlihat sama sekali.

Ini sungguh merepotkan, tapi Simon masih merasa sungkan untuk meminta pada si pemuda tinggi agar lampu tempat ini dinyalakan. Dari sudut mata, Simon dapat melihat sosok pemuda tadi telah berlalu masuk ke dalam ruangan lain, dapur barangkali. Melenggang santai tanpa memerlukan penerangan selain matanya sendiri. Tanpa takut menendang benda-benda lain di sekitarnya.

"Ck! Aku juga bisa melakukannya!"

Entah sejak kapan Simon jadi lebih bersungut-sungut dalam pencariannya.