"Maaf." Carol menatap Troy, Jun, dan Ricki satu-persatu setelah menjelaskan kebohongannya pada mereka begitu mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan.
Troy hanya diam, begitu pun Ricki. Sementara, Jun ternganga tak percaya dan menuding-nuding wajah Carol.
"Sudah kuduga ada yang aneh denganmu. Ternyata, kau memanfaatkan Troy selama ini," dengus Jun. "Jika kau tahu siapa Troy sebenarnya, kau …"
"Jun," Troy memotong tajam.
Jun berdehem.
"Aku tahu," Carol berkata.
Ricki menatap Carol terkejut. "Kau … tahu?"
Carol mengangguk. "James pernah memberitahuku." Carol menoleh pada Troy yang duduk di sebelahnya. "Dia bilang, aku harus tetap di sini karena kau adalah orang yang baik. Aku akan aman di sini."
Jun mendengus pelan, membuat Carol kembali menatapnya.
"Aku tahu aku salah, tapi tidakkah setiap orang berhak untuk diberi kesempatan kedua?" Carol membela diri. "Setiap orang pernah melakukan kesalahan dan ada yang menyesali kesalahan mereka. Apa mereka bahkan tidak berhak mendapat pengampunan?"
Jun berdehem. "Kenapa kau yang jadi marah-marah? Kan, kau yang bersalah di sini."
Carol tersadar. Ia kembali menatap Troy. "Aku benar-benar minta maaf, Troy. Aku hanya … berusaha bertahan hidup."
Troy mengernyit kecil, tapi tak mengatakan apa pun.
Carol semakin merasa tak enak pada pria itu. "Aku tahu, aku tak seharusnya melakukan ini pada orang yang telah menyelamatkan nyawaku, tapi … aku tak punya pilihan lain. Aku benar-benar minta maaf," ucap Carol setulus mungkin.
Troy masih tak menanggapi.
Carol sampai memutar tubuh untuk menghadap pria itu. "Aku akan menerima konsekuensinya. Kau bisa menghukumku jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik."
Troy akhirnya menatap Carol. "Benarkah?"
Carol mengangguk. "Jika kau mau, aku bisa membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaianmu, dan melakukan hal lainnya." Carol lalu menunjuk ke pintu. "Pintu itu juga, biar aku yang memperbaikinya. Toh, pintu itu rusak karenaku. Orang yang semalam datang, sepertinya memang orang yang dikirim untuk menyingkirkanku."
Troy tak menjawab dan hanya menatap Carol.
Carol menghela napas. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku akan mengganti semua biaya hidupku selama di sini begitu aku bisa pulang. Aku berutang banyak padamu," ucapnya. "Terima kasih juga kau sudah menyelamatkanku dan mau menampungku di rumahmu. Aku berjanji, aku akan memberimu banyak imbalan untuk apa yang telah kau lakukan untukku."
Carol kemudian menggeleng. "Tidak, tidak. Kau sebutkan saja apa yang kau inginkan. Aku berjanji akan memberikan apa pun yang kau inginkan. Nanti, begitu aku bisa kembali ke rumahku, aku bisa memberikan semua yang kau inginkan."
Troy masih tak menjawab dan malah kembali menunduk menatap piring sarapannya. Carol menghela napas kecewa. Namun, Troy kemudian berkata,
"Baiklah. Mulai hari ini, kau yang akan membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan memasak."
Mata Carol melebar antusias mendengar itu. "Ya, ya! Aku akan melakukannya!" seru Carol.
Carol mendengar Jun mendengus di depannya. Tanpa ragu, Carol menendang kaki Jun dari bawah meja, membuat pria itu menjerit kesakitan. Dasar lemah.
***
Troy memperhatikan Carol yang sedang berdiri di bak cuci piring, berkacak pinggang dan menatap tumpukan piring di sana dengan kening berkerut. Sepertinya otaknya bekerja keras untuk mencari tahu cara mencuci piring-piring itu.
Di sebelah Troy, Ricki berbisik, "Itu kau sebut hukuman?"
Troy menoleh sekilas pada Ricki. "Kau lihat sendiri. Gadis itu bahkan tak bisa mencuci piring. Itu hukuman yang tepat untuknya."
Ricki mendengus. "Kau menakutkanku, Troy. Jika anak-anak tahu, mereka akan menertawakanmu."
Troy berdehem. "Lalu, kau berharap aku melakukan apa?" desisnya pelan. "Membunuhnya? Setelah aku repot-repot menyelamatkan nyawanya?"
Ricki mendengus geli.
"Mulai hari ini, pastikan anak-anak berjaga di sekitar kampung. Begitu melihat orang-orang kiriman keluarga Carol, habisi mereka," perintah Troy.
Ricki mengangguk. "Lalu bagaimana dengan Carol? Meninggalkannya sendiri akan sangat berbahaya. Apa aku dan Jun akan terus berjaga di sini?"
Troy mengangguk. "Mulai besok, kalian juga akan menginap di sini."
"Aku baik-baik saja dengan itu, tapi …" Ricki menoleh pada Jun yang sedang tertawa-tawa menonton entah apa di televisi. "Bagaimana dengan Jun? Dia dan Carol sepertinya tak akur. Kau siap mendengarkan mereka berdebat konyol selama dua puluh empat jam?"
Troy mendengus geli. "Itu berlaku untukmu," ucapnya. "Aku kan, harus pergi bekerja, jadi aku tak akan melihat itu selama dua puluh empat jam."
Ricki mengerang pelan. "Aku benar-benar sial. Rasanya seperti menjadi pengasuh anak taman kanak-kanak jika mereka sudah berdebat."
Troy tersenyum geli. "Dan sekarang, sepertinya aku harus membantu salah satu anak-anak asuhanmu sebelum dia memecahkan semua piringku."
Troy mendengar dengusan geli Ricki ketika ia beranjak pergi menghampiri Carol yang baru saja menuangkan sabun cuci piring ke tumpukan piring di bak. Stok sabun cuci Troy bisa habis dalam sehari karena gadis itu.
"Butuh bantuan?" tanya Troy.
Carol melonjak kaget dan menjatuhkan botol sabun cuci piring di tangannya. "Kau mengejutkanku," ucap gadis itu.
"Aku tahu," jawab Troy sembari mengambil botol sabun cuci piring dan menutupnya, menjauhkannya dari jangkauan Carol.
"Aku masih membutuhkan itu," protes gadis itu.
"Tidak. Kau sudah menggunakan stok seminggu sabun itu untuk satu hari." Troy mengedik ke genangan sabun cuci di tumpukan teratas piring.
"Ini baru satu piring," ucap Carol.
"Ini bisa digunakan untuk mencuci piring selama seminggu," jawab Troy.
"Kau pasti bercanda."
"Aku tidak bercanda," sahut Troy jujur. "Karena itu, aku menawarkan bantuan."
Carol berdehem. "Tapi, ini hukumanku."
"Akan menjadi hukumanku jika kau memecahkan piring-piring ini," sahut Troy.
"Aku tidak separah itu." Carol mengangkat piring yang sudah berlumur sabun cuci piring, tapi pegangannya meleset karena licinnya sabun, membuat piring itu meluncur dan jatuh dengan keras di bak cuci piring, menabrak piring lainnya dan pecah menjadi tiga bagian.
Troy tak dapat menahan senyum mendengar Carol mengumpat. Namun, ia segera menghilangkan senyumnya ketika Carol menatapnya dengan pandangan menyesal.
"Akan kuganti itu juga," janji gadis itu.
"Tentu saja. Akan kucatat itu," balas Troy.
Carol hendak meraih pecahan piring itu, tapi Troy menahan tangan gadis itu, khawatir tangan gadis itu akan terluka.
"Biar aku saja. Aku khawatir kau akan memecahkan piring lainnya," Troy beralasan.
Carol cemberut, tapi dia mengalah dan bergeser. Troy dengan cepat membereskan pecahan piring di bak cuci piring, lalu menyalakan kran dan membersihkan bak cuci piring sebelum mulai mencuci piring.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Carol di sebelahnya.
Tadinya Troy berniat meminta bantuan gadis itu untuk membilas, tapi melihat insiden piring pecah tadi, Troy jadi takut juga. Bisa-bisa nanti mereka akan makan tanpa piring.
Saat itulah, air terciprat ke pipi Troy ketika ia membilas piring. Troy mengarahkan pipinya ke arah Carol.
"Bisa kau bantu mengelap wajahku?" ia meminta.
"Oh, tentu saja," balas Carol penuh semangat.
Namun, mengejutkan Troy, gadis itu mengusap pipi Troy dengan tangannya. Troy bisa merasakan hangat tangan wanita itu dan … sabun?
"Carol, apa kau sudah mencuci tanganmu tadi?" tanya Troy.
Carol memekik kaget. "Astaga! Aku lupa!"
Bagus. Berkat Carol, sekarang Troy merasakan cuci muka dengan sabun cuci piring.
***