webnovel

Bab 1

Fantasi Liar Suamiku

"Arght! Sakit, Yank! Pelan-pelan!" Aku berdesah karena tidak tahan, gerakan kasar yang dilakukan oleh Dewangga membuatku merasa sakit di beberapa titik bagian tubuh.

Seakan tuli, lelaki itu terus saja memompa tubuh. Maju mundur dengan gerakan kasar dan kekuatan penuh. Aku bahkan bisa merasakan beberapa helai rambut tercabut dari tempatnya menancap, sebab ia menjambak rambutku dengan begitu kuat. Entah sadar atau tidak, ia selalu saja menyiksa ketika kami tengah bercinta.

Ia selalu menggila jika sudah di atas ranjang seperti ini. Hanya kepuasan dirinya sendiri yang ia pikirkan, tanpa peduli dengan kepuasan dan kondisi kesehatan pasangan.

Dewangga memintaku untuk merubah posisi. Kini aku diminta telentang, menghadap wajahnya yang tampak memerah dan penuh dengan keringat. Sepertinya ia akan segera mencapai puncak.

"Yank." Aku memanggil dengan sisa tenaga. Berharap agar pertempuran ini lekas berakhir. Sebab, tidak ada kenikmatan sama sekali yang aku dapatkan. Hanya ada rasa sakit dan nyeri di setiap hentakan yang ia berikan.

Dewangga bertumpu pada leherku. Sedikit mencekik ketika ia kembali bergerak dengan begitu cepat. Napasnya terdengar ngos-ngosan. Seakan beradu cepat dengan gerakan maju mundur yang tengah ia lakukan.

Perlahan cekikan itu kian menguat, membuatku begitu sulit untuk bernapas. Beberapa kali aku terbatuk hingga cengkeraman di leher ia lepas.

Aku pikir aku akan mati beberapa saat yang lalu.

Aku bangkit untuk duduk ketika ia menjatuhkan diri ke ranjang. Menghirup oksigen dengan brutal, sebab kekurangan stock setelah kesulitan bernapas selama beberapa saat.

Entah sejak kapan aku tidak lagi merasakan apa pun saat kami bercinta di atas peraduan. Aku merasa sudah lupa bagaimana rasanya disentuh dengan penuh cinta. Yang bisa aku lihat hanya nafsu di manik matanya, tidak lagi cinta saat pertama kali kami melakukan itu hampir setahun yang lalu.

"Sya." Dewangga memanggil dengan napasnya yang masih terdengar begitu ngos-ngosan.

Aku menoleh, menatap tanpa bersuara.

"Lagi, ya." Ia meminta. Namun, aku tahu jika permintaan itu adalah sebuah perintah yang haram hukumnya jika mendapatkan penolakan.

"Kamu belum puas?" Aku bertanya dengan suara serak, juga bergetar. Sebab, tubuhku sudah tidak sanggup lagi jika terus dipaksa.

Ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali. Lalu, kembali bangkit untuk duduk.

"Aku gak kuat, Yank. Udah kram. Kasih aku waktu buat istirahat." Aku menolak dengan lembut. Menatap dengan memelas, berharap agar ia tersentuh dan memutuskan untuk berhenti sampai di situ.

Lelaki dengan dagu terbelah itu menarik napas kasar, binar di manik matanya mulai berubah. Pertanda bahwa ia tidak suka dengan jawabanku barusan.

"Kamu bisa istirahat lima belas menit." Ia memberi waktu.

Kini giliran aku yang menarik napas dengan kasar. Merasa terbebani jika ia meminta untuk dilayani. Sementara awal pernikahan dulu, aku yang terlalu menggebu-gebu.

"Kamu gak suka?" Ia bertanya setelah mendengar helaan napas kasar dariku.

Aku hanya diam, menunduk. Sebab, akan menancing pertengkaran jika pertanyaan itu kujawab. Lalu, ia akan main tangan. Melayangkan pukulan dan tamparan agar aku kembali ingin melayani.

"Kamu bisa nikah lagi kalau kamu mau." Aku mencoba untuk memberikan peluang pada diriku sendiri. Agar sedikit lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Tidak merasa tersiksa seperti ini.

"Kamu bilang apa barusan?" Ia bertanya seakan tidak mendengar dengan jelas.

Aku terdiam, tidak berani mengulangi kalimat yang sama. Sebab, takut jika ia akan terpancing amarahnya.

Ponsel yang berada di atas nakas berdering. Tidak ada respons dari Dewangga sama sekali. Ia biarkan benda pipih itu berbunyi hingga mati sendiri.

"Kenapa gak diangkat?" Aku bertanya menatap.

Lelaki dengan dada bidang itu hanya membalas tatapanku dengan tajam, seolah aku salah karena telah bertanya.

Aku mengalihkan pandang karena rasa takut mulai menelusup. Tatapanku terfokus pada jendela yang tertutup dengan rapat. Juga tirai yang memblokir semua cahaya menuju kamar mewah ini. Aku hanya bisa menerka kesibukan para manusia di luar sana. Juga hanya bisa menerka kini sudah pukul berapa. Sebab, kami memulai setelah makan siang tadi. Jarang-jarang ia bisa senggang di waktu libur seperti ini.

"Sudah lima belas menit." Kalimat itu membuat jantungku kembali terpacu dengan begitu cepat.

Aku menoleh, menatap sepasang mata tajam itu yang kini tengah menatap dengan nyalang.

Entah sudah berapa jam kami beradu kekuatan di atas ranjang. Aku sudah ingin menyerah, tapi ia seakan tidak kunjung puas.

Aku hanya diam di tempat saat ia bergerak mendekat. Mengalihkan pandang, berusaha menolak dengan halus saat bibirnya hendak mendarat di bibirku.

Terdengar decakan halus darinya.

"Kau menolak?" Di nada bicara lelaki itu terselip amarah.

"Aku capek, Wa." Akhirnya aku beranikan diri untuk protes.

Lelaki berhidung bangir itu tertawa tipis. "Wa? Kau pikir aku siapa? Temanmu?" Ia protes sebab kupanggil nama.

Aku terdiam, mulai takut saat wajah tampan itu terlihat memerah. Kali ini sudah jelas jika memerah di wahahnya karena menahan amarah, bukan karena nafsu yang memuncak.

Ia memang tampan. Terlewat tampan. Sejalan dengan namanya, ia bak dewa yang menjelma bagai seorang manusia. Fisiknya sempurna tanpa cela.

"Kau memanggil namaku?!" Nada bicaranya mulai meninggi.

"Aku teman bagimu?"

Aku tetap diam. Mulai gemetar saat hawa panas napasnya menampar lembut wajahku ketika ia berucap tepat di depan wajahku.

Kugigit bibir bawah untuk meredam rasa takut. Kian hari, sikapnya kian bertambah kasar.

"Lihat aku!" Ia mencengkeram erat rahangku, memaksa agar aku menatap kedua bola matanya.

"Kau masih mencintaiku?" Ia bertanya dengan serius.

Aku hanya diam, berusaha untuk tidak membalas tatapannya.

"Jawab, Nasya!" Suaranya kian meninggi.

Aku tidak berani berucap sama sekali. Sebab, rasa takut yang kian menguasai. Segera kupeluk ia agar emosinya mereda.

Pelukanku langsung dibalas olehnya. Ia mengusap lembut punggung polosku dengan tangan kanannya. Sementara tangan yang lain mulai meraba.

Napas Dewangga mulai memburu saat tangannya semakin liar bergerilya. Aku didorong dengan sedikit kasar, lalu ia naiki dengan napas yang semakin terdengar memburu.

Aku hanya bisa pasrah saat mulut manisnya kembali melumat dengan brutal bibirku. Sementara kedua tangannya semakin buas meraba.

Aku mendesis pelan karena merasa sakit saat ia mengigit bibirku dengan kasar sebagai protes atas aksinya yang tidak mendapatkan balasan. Lidahnya langsung menerobos masuk sesaat setelah aku membuka mulut. Lidah itu terasa hangat sangat ia menelusuri seluruh mulut, mencari lidahku untuk ia taut.

Pahaku ia buka lebar-lebar dengan bantuan kedua lututnya, sementara ciuman tidak ia lepas sama sekali.

Teriakan berupa desahan keluar secara spontan saat ia kembali melakukan penyatuan. Ciuman ia lepaskan, sebab meminta agar aku mengeluarkan bunyian.

Aku mendesis dan mendesah berkali-kali, bertingkah seolah aku menikmati, sementara hanya rasa sakit yang ia beri.

Semakin aku mendesah, semakin gerakannya terpacu dengan cepat.

Pundakku ia gigit saat ia mulai bergerak dengan cepat. Aku merasa perih, tapi berusaha untuk terus bertahan. Sebab, merasa bahwa ia akan mendapatkan pelepasan.

Benar saja, beberapa saat kemudian ia melepas penyatuan, lalu menyemprotkan cairan cinta beberapa kali di atas perutku. Setelahnya ia kembali tumbang.

"Sudah?" Aku bertanya dengan lemah.

Ia hanya mengangguk lembut dengan napas ngos-ngosan.

Perlakukan istrimu dengan lembut bukan penuh nafsu

Rina_Malecreators' thoughts