webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · 都市
レビュー数が足りません
28 Chs

Bagian Lima : Syarat Macam Apa Ini?

~~~

Halimah mendorong kursi roda yang diduduki suaminya menuju tempat yang sudah tersedia, sofa tunggal mewah yang dirancang hanya untuknya. Herman kemudian berdiri dibantu istrinya dan duduk di sofa itu. Halimah mengambil tempat di samping kiri Widya yang kebetulan kosong.

Herman memperhatikan seluruh anggota keluarga yang hadir hari ini. Ia mengernyitkan alisnya dan terdiam, kemana cucu laki-lakinya yang paling bandel itu.

"Baik, bisa kita mulai? Saya Darma-"

"Tunggu sebentar Pak Pengacara, satu orang lagi belum hadir!" ucap Herman yang memotong salam dari pengacara muda itu.

Sang pengacara hanya mengangguk mengerti dan memundurkan langkahnya sedikit. Sementara, seisi ruangan hanya saling memandang keheranan.

"Rangga..." gumam Ranti sambil menunduk.

Ravi yang duduk di samping Ranti menoleh dan menghela napas malas, "dia mungkin menganggap ini tidak penting makanya tidak datang," gumamnya pelan.

"Rangga akan datang lagi?" tanya Hardi, entah pada siapa karena sepertinya semua orang pasti mendengar ucapannya di suasana yang sunyi itu.

"Saya di sini!" ketus seorang pemuda berjas hitam yang baru saja tiba dengan wajahnya yang dingin dan ketus seperti biasa.

Tatapan pun tertuju pada Rangga, ada yang merasa lega dan ada yang hanya memaksakan dirinya untuk tersenyum. Rangga hanya berjalan perlahan menuju tempat yang sudah terisi penuh itu, benar-benar tak ada tempat untuknya.

Halimah berdiri, ia menghampiri Rangga dan menuntunnya, "kamu duduk di sini!" ucapnya.

Tanpa penolakkan, Rangga duduk di sana yang membuat orang-orang di sana nampak berbisik dengan tindakan Rangga yang mengambil kursi milik Neneknya sendiri dan membiarkan orang tua itu berdiri. Namun Rangga tak peduli, toh Neneknya sendiri yang meminta, bukan permintaannya.

Pengacara melanjutkan perkenalannya dan menyampaikan sedikit maksud dari kehadirannya. Ia kemudian membagikan sebuah dokumen rahasia pada Hardi dan Anton yang merupakan kepala keluarga dan satu dokumen lagi diberikan pada Rangga yang sudah yatim piatu.

Hardi membuka dokumen itu lalu membacanya dengan seksama bersama sang istri Widya yang duduk di sampingnya.

Sama dengan Hardi, Anton membuka dokumen itu bersama Nadia lalu memberikannya perlahan pada Ravi, putranya.

Rangga mengerutkan keningnya setelah membaca persyaratan bagi cucu yang berhak menjadi pemilik sah dari SuperOne Group itu. "Apa-apaan ini?" gerutunya.

Herman bertepuk tangan sekali, "seperti ucapan Pak Darma, inilah permintaan terakhir dari saya. Bagaimana Reza, Rizal, Ravi dan Rangga, kalian bisa bersaing 'kan untuk posisi direktur?" ucapnya sambil tersenyum.

Nampak tak ada jawaban dan sepertinya keempat cucu laki-laki itu sangat tidak peduli dan tidak menginginkan posisi direktur. Halimah tersenyum melihat tingkah keempat cucunya itu.

"Sesulit itu menikah? Kalian sudah seharusnya menikah di usia ini, apalagi kamu Reza, kapan kamu akan menikah?" ucap Halimah sambil terkekeh.

Herman ikut terkekeh, "datanglah ke acara ulang tahun SuperOne bersama calon istri kalian, lalu Kakek akan memilih salah satu wanita yang Kakek rasa cocok untuk jadi menantu kita, dan yang menikah pertama kali akan menjadi pemilik sah atau direktur dari SuperOne yang sudah bersama kita selama lebih dari 40 tahun. Sekian!" ucapnya.

Rangga meremas dokumen itu dan melirik Ravi, satu-satunya cucu yang paling dibanggakan oleh keluarga serta berhubungan baik dengan putri dari investor terbesarnya. Bersaing? Ini hanya lelucon karena Ravi sudah pasti terpilih pada akhirnya.

~~~

Sebentar lagi tengah malam, Salma melihat ada tiga panggilan tak terjawab dari Aryo dan dua panggilan tak terjawab dari Yumi. Ini hari mereka akan berkumpul namun dirinya sangat disibukkan dengan pekerjaannya.

Ini terlalu banyak, Salma beberapa kali menguap. Sejak menjadi sekretaris di sini, Salma selalu bekerja lembur setiap malam dan tertinggal bus tujuannya hingga ia terpaksa menaiki taksi dan menambah biaya pengeluarannya.

𝑑𝑟𝑡𝑡 𝑑𝑟𝑡𝑡

Salma mengalihkan tatapannya dari komputer dan melihat seseorang menelponnya, ia menerima panggilan. "Hmm, Tiara?"

"𝐾𝑎𝑘, 𝑔𝑢𝑒 𝑛𝑔𝑖𝑛𝑒𝑝 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑑𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑦𝑎? 𝑀𝑎𝑙𝑎𝑠 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔," ucap seorang gadis di seberang sana.

"Oke, silakan. Gue bentar lagi pulang, tapi pintunya kunci saja ya, Ra?"

"𝐻𝑚𝑚, 𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔, 𝑦𝑎!"

Salma terkekeh dan mengangguk, "iya Ra, gue pulang kalau ini semua selesai!" gumamnya sambil kembali berfokus pada layar komputernya dan jarinya dengan cepat memijat papan ketik di hadapannya.

Sementara, Daniel turun dari mobilnya dan berjalan menuju kantornya, sebelum itu ia sempat heran karena perusahaannya itu belum ditutup padahal sudah hampir tengah malam. Ia dengan rasa penasarannya berjalan menuju ruangan pegawai dan menganga melihat Salma yang masih santai meminum kopi di depan layar komputernya.

Daniel yang awalnya berniat ke lantai atas kini malah menghampiri meja Salma dan membuat gadis itu terkejut seketika. "Sekretaris Salma?" ucapnya.

Salma menoleh dan tersentak pelan, "Pak Daniel masih di sini?"

"Ada yang ketinggalan. Kamu kenapa belum pulang? Shift berakhir beberapa jam lalu dan saya juga tidak menyuruh kamu lembur," ucapnya.

Mendengar omelan itu hanya membuat Salma terkekeh, "terlalu banyak acara untuk besok, saya hanya meringankan pekerjaan untuk besok saja," ucapnya beralasan.

"Gak bisa ini!"

"Kenapa, Pak?"

"Orang-orang akan salah paham, dan penjaga juga sering bilang kalau akhir-akhir ini dia jadi pulang telat!" omel Daniel untuk kedua kalinya.

"Pak Penjaga keberatan?" heran Salma.

"Saya yang keberatan!" tegas Daniel. Ia lalu mematikan komputer itu dan merapikan beberapa dokumen kemudian menatap Salma dengan penuh rasa bersalah. "Saya antar kamu pulang, ya?"

Salma terdiam sebentar, lalu ia merapikan tasnya dan mengangguk dengan ragu-ragu sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain. Apa ini, kenapa ia jadi gugup di depan Direktur muda itu.

Daniel terkekeh pelan, "kenapa ragu? Ayo!" ajaknya lagi sambil mengulurkan lengannya di depan Salma.

Salma mengangguk dan menerima uluran tangan itu sambil tersenyum canggung. Ia kini berdiri di depan perusahaan karena menunggu Daniel yang sedang pergi ke ruangannya untuk mengambil sesuatu.

Daniel akhirnya kembali dan langsung masuk ke mobilnya begitu pun Salma. Ia melempar sesuatu ke kursi belakang yang menimbulkan rasa penasaran Salma.

Salma nampak takjub dengan mobil itu, jika boleh jujur ini pertama kalinya ia naik mobil mewah lagi. Ia melihat sebuah foto di mana Daniel nampak menggendong seorang anak kecil laki-laki yang tak ia kenal.

Daniel melirik Salma dan bagai memahami rasa penasaran wanita itu, "itu saya dan anak saya, namanya Alden," ucapnya.

Salma menoleh sekilas lalu mengangguk, ia memang mendengar bahwa Daniel pernah menikah namun pernikahannya tidak lama dan membuat Daniel harus mengurus seorang anak sendirian.

"Itu yang tadi saya ambil mainannya dia," ucap Daniel.

Salma tersenyum, "ayah yang baik," gumamnya tanpa sadar.

"Hmm?"

Salma menggeleng, "tidak apa-apa, Pak!"

"Kamu bicaranya yang keras, saya gak dengar!" ucap Daniel.

Salma hanya terkekeh pelan dan terdiam setelahnya. Tiba-tiba suasana menjadi canggung dan hanya suara kendaraan saja yang terdengar.

Setelah beberapa saat, akhirnya sampai di depan kontrakan Salma. Gadis itu turun sendirian karena Daniel mengatakan ia akan langsung pergi saja karena tak enak berkunjung di malam hari seperti ini.

Salma mengetuk kaca mobil depan dan langsung dibuka oleh pemiliknya. "Pokoknya terima kasih Pak Daniel, lain waktu mampir, ya?" ucapnya.

Daniel tersenyum, "pasti, saya permisi!" pamitnya.

Salma mengangguk, "hati-hati Pak, salam untuk Alden," ucapnya.

Daniel nampak terkejut namun ia mengangguk lalu membelokkan mobilnya dan meninggalkan lokasi itu dengan cepat.

"Senyum apa itu najis banget!" bisik Aryo sambil terkekeh.

"Kampret ngagetin!" umpat Salma sambil berbalik dengan cepat dan terlihatlah pria bertubuh jangkung itu terkekeh dengan santainya.

"Pantas gak angkat panggilan dari gue, lagi pacaran toh!" sindir Aryo.

"Apaan sih enggak kok!" sergah Salma. "Lagian lo ngapain juga ke sini?" sewotnya.

"Kok marah sama gue?!" balas Aryo merengut, "lo gak lihat gue pakai seragam? Ini lagi patroli juga," ucapnya.

Salma menghela napas, ia sudah lelah tapi harus berhadapan dengan Aryo yang hanya akan membuatnya emosi saja. "Oke kalau begitu, gue pamit ya Kak. Hati-hati patrolinya!" ucapnya sambil berbalik dan melambaikan tangannya.

Bukannya pergi, Aryo malah mengikuti Salma dan terus menggodanya, "siapa sih itu? Ganteng kayaknya, masih muda lagi, Alan tahu gak ya?" ucapnya sambil terkekeh.

Salma kembali menghela napas, ia berusaha tak peduli pada pria yang terus saja mengejeknya tanpa henti bahkan hingga ia sampai di depan kamar kontrakannya.

~~~

Rangga melempar handphone-nya dengan keras hingga benda pipih itu jatuh berserakan di lantai. Meski begitu, ia tetap tenang dan keluar dari ruangan pribadinya dan mendecih melihat Maria yang berada di sana. "Kenapa belum pulang?" sinisnya.

"S-saya baru akan keluar, Pak. Selamat malam," ucap Maria sambil berjalan mundur.

"Tunggu! Maria, kamu mau jadi istri saya?"

"Apa?" ucap seorang laki-laki yang baru saja muncul di sana dan segera menutup mulutnya.

Sementara Maria hanya terdiam di tempatnya dengan kepala yang tertunduk. Pertanyaan tiba-tiba dari bosnya itu sangat sulit untuk diserap oleh otaknya.

Rangga melirik Aldi yang baru tiba di sana dengan sebuah dokumen di tangannya. Ia mengambil dokumen di tangan Aldi dan melirik Maria yang masih menunduk, "kalau enggak mau ya enggak apa-apa, Maria!" ketusnya.

"T-tapi Pak..." ucap Maria pelan.

Aldi membelalakkan matanya dan mendekati Maria, "apa-apaan ini?" bisiknya.

Rangga menyunggingkan senyumnya, ia mengangkat dokumen di tangannya dan mendekati Maria, "jangan salah paham! Karena dokumen ini saya berkata seperti itu barusan! Aldi pasti tahu isinya!" ketusnya lalu kembali memasuki ruangan pribadinya dan melempar dokumen itu, "Ouh dokumen sialan! Herman sialan! Malu-maluin!" ucapnya penuh amarah.

"Isi dokumennya apa?" bisik Maria.

"Pak Rangga harus menikah kalau mau jadi penerus SuperOne Group!" bisik Aldi.

Keduanya kini berjalan bersama menuju lift dan menaiki benda itu bersama. Aldi menekan tombol turun dan lift itu mulai berjalan seperti biasanya.

"Tapi kenapa Pak Rangga ngajak..." Maria tak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Pak Rangga gak mau nikah!"

Maria mengerutkan keningnya, "maksudnya?" herannya.

"Di wasiat itu, para cucu Ketua Herman Maulana harus memperkenalkan calon istrinya masing-masing. Pak Rangga yang gak mau nikah pasti ngajak lo karena dia yakin kalau lo gak bakal dipilih sama Pak Ketua Herman! Si Rangga sialan itu lagi rendahin lo! Katanya bakal ajak cewek manapun yang gak bakal dipilih Pak Ketua Herman!" jelas Aldi panjang lebar.

Maria akhirnya mengangguk setelah memahami ucapan Aldi itu, "padahal tadi sudah mau lari ke balkon dan lompat dari sana daripada harus nikah sama Pak Rangga," kekehnya yang diikuti tawa dari Aldi yang berdiri di sebelahnya.