webnovel

Part 6

Kalimantan

Araya POV

Aku bergegas ke ruang tengah, rambut masih membasahi bahuku. Aku memasang senyuman penuh kemenangan dan kelihatan berseri-seri.

"Aku ingat namaku!" seruku, seraya menari-nari gembira mengelilingi ruangan. Aku mungkin terlihat seperti gadis remaja yang baru saja diajak berkencan oleh pemuda idamannya. "Araya Revelia Tritila, tapi orang-orang kadang juga memanggilku Raya. Itulah namaku."

Bima mengernyitkan dahi. "Sepertinya ada yang salah" sambil mengeluarkan sesuatu dalam saku celananya

Aku berhenti menari seketika. "Maksudnya?"

Om Bima memberi isyarat supaya aku duduk dan aku pun duduk di sofa, "Tadi saat kamu mandi, aku kembali ke TKP untuk mencari petunjuk, alhasil aku menemukan KTP mu yang seperti terjatuh saat aku menolongmu, dan namamu bukan Araya, tapi Sinta Dara Jelita, kamu lahir di Bali, usiamu saat ini 31 tahun, status menikah, pekerjaan ibu rumah tangga dan tempat tinggalmu di Jakarta"

Bayangan gelap menyelimuti wajahku. "Tidak mungkin, aku memang lahir di Bali. Tapi, aku masih 22 tahun, aku belum pernah menikah, pekerjaanku adalah penyanyi dan aku tinggal di Bali " sambil merampas dengan paksa KTP di tangan Om Bima,

Aku menepis rambut yang jatuh menutupi wajahku dan termenung sejenak melihat KTP ini

"Aku tinggal di Bali."

"Bali? Tapi disitu..."

"Aku tidak pernah tinggal di Jakarta" aku menyela.

Ucapanku terputus, seolah masih ragu.

Terdengar suara mesin cuci. Yejin kembali ke ruangan itu.

"Menurut ingatan dan KTP nya jauh berbeda" Hyunbin berkata pada istrinya. "Dia belum bisa ingat tapa yang terjadi padanya."

Aku menunduk sambil berpikir. "Kalau aku belum pernah menikah bagaimana mungkin aku bisa menjadi ibu rumah tangga" aku berpikir lebih keras, mengingat-ingat fakta baru.

Sambil mengetuk-ngetukkan jari ke sudut bibir, aku memandangi langit-langit rumah.

Aku memandang sekeliling dengan gelisah, seakan ada yang sedang menatapku dengan pandangan keji. Kemudian aku mendesah dan menunduk dalam-dalam. "Semua ini tidak masuk akal."

Sesaat hening, kemudian Om Bima berinisiatif untuk bicara.

"Aku yakin ingatan lainnya nanti akan muncul sendiri," katanya, sambil menepuk bahuku.

Aku menggeleng kuat-kuat. "Ada kejadian buruk. Dan aku harus tahu apa itu."

Om Bima memajukan tubuhnya. "Anggap saja kau benar dan kau memang tidak sendirian di hutan itu," ungkapnya. "Itu malah masuk akal, karena tidak mungkin ada orang yang mau semalamn di sana dalam cuaca sedingin ini, dengan tanpa alasan. Dan kau tadi kelihatan… kau kelihatan mengenaskan dan seperti ditelantarkan."

Aku menggigiti kuku dengan cemas. "Mungkin kamu benar om."

Tiba-tiba mata Om Bima membelalak.

"Maaf atas pertanyaanku ini, tapi mungkinkah suamimu ada kaitannya dengan ini semua?"

Aku langsung duduk tegak seolah tersengat, dan menatapnya serius.

"Aku tidak tahu" jawabku tegas. "Sekarang saja, aku meragukan ingatanku dengan fakta yang baru ini"

Tatapanku beralih ke jendela, seakan curiga ada seseorang atau sesuatu yang mengintip dari luar. Tante Devi menggenggam tanganku dengan tangan keriputnya. "Kau dingin sekali," katanya.

Seperti diingatkan, aku mulai menggigil. Pengaruh mandi air panas tampaknya sudah hilang.

"Mungkinkah kau hanya bisa mengingat hal-hal yang terjadi agak lama?" tanya Tante Devi dengan tenang.

Aku dan Om Bima memandangnya bersamaan.

"Sepertinya memang begitu, ya?" sahutku itu setelah agak lama terdiam. Mungkin ingatan terakhir yang aku miliki saat aku masih 22 tahun." Aku mengangguk pelan. "Seperti ada lubang dalam ingatanku. Aku ingin tahu seberapa besar lubang itu."

"Nanti juga kau tahu, aku yakin itu," kata Tante Devi. "Yakinlah. Apa kau mau menelepon suamimu?"

Aku mengangguk pelan.

"Mungkin dia bisa memberitahumu apa yang terjadi," tambah Tante Devi.

"Kau ingat nomor teleponnya?" tanya Om Bima.

 Aku memandang Om Bima. "Sepertinya iya."

"Tapi bisa saja, kan, dia yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu," ujar Om Bima.

Aku mempertimbangkan ucapannya.

"Lakukan saja apa yang terbaik menurutmu," kata Tante Devi. "Pikirkan baik-baik."

"Mungkinkah dia yang menyerangmu?" desak Om Bima.

Tante Devi menatap suaminya tajam. "Berhentilah mengusik wanita malang ini!" bentaknya.

Aku menoleh pada Tante Devi lagi, tak kuasa menahan cucuran air mata.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Tante Devi pelan.

"Ya, terima kasih. Tapi aku sungguh bingung kenapa ingatan yang aku miliki sangat berbeda dengan kondisiku saat ini, aku bahkan tidak tahu siapa suamiku."

***

Benjolan di kepalaku masih terasa sakit dan tangan kanannya masih bengkak. Tapi setidaknya sekarang aku tahu siapa diriku. Didepan pasangan suami istri itu aku berpura-pura percaya fakta menurut KTP itu untuk sementara bahwa aku adalah Sinta Dara Jelita dan suami? yang aku tidak tahu dia siapa. Aku tinggal di sebuah apartemen daerah Sudirman, tapi dalam hatiku aku adalah Raya seorang penyanyi dari keluarga konglomerat dan aku hanya punya kakek dalam hidupku, setelah luka-luka ini sembuh aku harus pulanng ke Bali kembali ke kehidupanku yang sebenarnya. 

***

Angga POV

Aku terbangun dari tidur yang gelisah. Sudah hampir pukul lima pagi dan sinar matahari pertama menyusup ke kamar tidurku melalui jendela. Akan tetapi pagi ini aku merasa lain, dan itu bukan hanya karena kurang tidur. Aku menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandu. Aku melihat laki-laki berusia tiga puluh dua tahun saat memandang diriku di cermin, dengan lengkung hitam di bawah matanya.

Aku melepaskan celana pendek dan masuk ke bilik mandi. Setelah mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, aku memilih pakaian yang nyaman; celana jins, kaus putih dan kemeja kotak-kotak. Aku pun siap, aku sudah mengemas sat utas untuk akhir pekan ini semalam sebelumnya. Aku masih punya banyak waktu. Satu-satunya yang masih harus aku lakukan adalah menelpon Lavian, rekan kerjaku. Tapi aku belum bisa melakukannya sebelum kantor buka pukul delapan nanti.

Aku memutuskan untuk membuat sarapan. Kalau hari ini akan jadi hari yang panjang seperti yang aku khawatirkan, sarapan akan jadi awal yang lumayan.

Waktu berjalan begitu lambat dan menyiksa. Pukul enam tiga puluh, aku sudah menunggu cukup lama dan memutuskan untuk pergi. Dengan begitu aku masih harus menunggu lebih lama di bandara, tapi aku tidak peduli. Paling tidak aku sudah ada di bandara.

Penerbanganku belum akan lepas landas sampai empat jam lagi, tapi tetap saja aku menancap gas. Perasaan takut dan bingung bertambah saat aku sudah dekat dengan bandara.

Aku menelpon ke kantor, berharap Lavian datang lebih awal. Pukul delapan kurang lima menit. Pada panggilan pertama tidak ada jawaban. Ketika aku mencoba lagi beberapa menit kemudian, rekan kerjaku mengangkat telepon.

"RH Corp. dengan Lavian di sini."

"Pagi, ini Angga."

"Angga! Aku baru saja datang. Mencopot jaket saja belum."

"Sudah kuduga. Aku tadi bangun subuh. Dengar, aku hanya mau memberitahumu kalau aku tidak akan masuk kantor sekitar dua hari bisa lebih, ada yang harus kuurus."

"Ada apa?"

"Ceritanya panjang dan nanti saja kuceritakan padamu."

"Baiklah," kata Lavian, sebelum bertanya, "Apa ini ada hubungannya dengan permintaan Mahen dan istrinya?"

Aku memutuskan untuk tidak berkilah. "Iya, benar."

"Oke, semoga berhasil."

"Terima kasih."

Setelah menutup telepon. Aku mengawasi konter-konter check in. Pertama, aku harus naik pesawat dulu, selanjutnya, kalau Tuhan mengizinkan, aku akan mendapatkan jawaban. Aku merasa mual saking tegangnya, lalu aku menegur diriku sendiri. Sabar.

Setidaknya aku sudah dalam perjalanan untuk melepaskan Jelita.

To Be Continued