webnovel

Start to Connecting (1)

Arena gelanggang yang terdiri dari lobi luas untuk menerima dan melayani pengunjung, dua selasar bersekat dengan gaya tradisional Jepang di sayap kiri dan kanan, serta ruangan inti berukuran raksasa dengan desain amfiteater itu tampaknya memiliki daya magis tersendiri yang membuat para pengunjung tersedot ke dalam pesonanya. Interior bangunan yang didominasi warna putih membuatnya silau berkilau seolah-olah penerangan utamanya bukan berasal dari sinar matahari atau lampu-lampu yang menghiasi langit-langitnya, melainkan dari bangunan itu sendiri.

Ken merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan pengunjung kebanyakan, tapi itu beberapa tahun lalu ketika ia datang bersama kedua orang tuanya di hari pelantikan Suzume. Sekarang, Ken tidak lagi merasakan hal yang sama. Alih-alih terbuai dengan arsitektur bangunan yang memanjakan mata, Ken justru merasa dadanya sedang diremas kuat-kuat oleh banyak tangan tidak terlihat yang seolah-olah ingin meremukkannya saat itu juga.

Keringat dingin terlihat hampir di seluruh sudut wajah Ken. Alirannya menganak sungai sampai membuat punggung Ken terasa dingin. Kalau boleh dan memungkinkan, Ken ingin muntah saat itu juga, mengeluarkan semua perasaan tidak enak yang bergerumul dan kini sedang berpusat di perutnya. Namun, Ken menahan diri sekuat yang dia bisa.

Di belakang teman-temannya, Ken berjalan pelan dengan kedua tangan terkepal erat. Untungnya, tidak ada seorang pun yang memfokuskan pandangan ke arah Ken yang saat itu masih dalam posisi mengepalkan kedua tangan dan mengerutkan keningnya, seperti menggambarkan ekspresi seseorang yang tidak akan segan-segan meninju wajah siapapun yang menyenggolnya.

Langkahnya yang pelan membuat Ken hampir tertinggal jauh dari iring-iringan teman-temannya. Tidak sebelum Kazuhiko tiba-tiba merangkul pundak Ken dan berceloteh berisik—entah apa—yang tidak terlalu disimak Ken akibat pusing yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Kicauan Kazuhiko samar-samar masih bisa didengar Ken meskipun rasa sakit di kepalanya membuat sistem sensoriknya menurun drastis sehingga ia merasa seperti tidak lagi diberikan hak untuk mengontrol tubuhnya sendiri.

"Ken!"

Ken membuka mata secara perlahan. Rasa sakit yang tadi menyerang kepalanya secara membabi buta kini telah lenyap. Hilang entah ke mana. Di hadapannya, Kazuhiko menatap Ken dengan sorot kekhawatiran yang terpancar jelas dari balik sepasang iris cokelat gelapnya. Ken masih mencoba beradaptasi dengan cahaya putih ruang lobi yang membuat matanya silau. Setelah beberapa kali mengerjapkan mata, Ken menoleh ke segala arah.

Ke mana teman-temannya yang lain?

"Tadi aku mau kau menemaniku beli minum, tapi aku tidak menyangka kalau kau tiba-tiba oleng dan nyaris ambruk," kata Kazuhiko, menjawab pertanyaan yang terbaca jelas dari wajah Ken. Laki-laki berjaket corak loreng-loreng itu menyodorkan sebotol air minum pada Ken. "Aku sudah menyuruh Yasuhiro dan Chikara agar memasukkan nama kita ke kotak peserta. Jadi, santai saja. Kalau sudah selesai, mereka pasti akan menyusul kita ke sini."

Ken meminum air mineral yang diberikan Kazuhiko. Aliran air yang segar dan dingin membuat dadanya yang sedari tadi sesak kini terasa lapang. Helaan napas panjang keluar dari mulut Ken.

"Jadi kenapa? Kau punya fobia dengan kerumunan orang banyak? Atau bagaimana?"

Gelengan kepala menjadi jawaban singkat. "Kalau aku punya fobia semacam itu, kenapa saat di kereta aku baik-baik saja?"

"Ya … lalu apa? Apa jangan-jangan, tanpa sepengetahuan kami, kau punya riwayat sakit kepala kronis?"

Dari ekor matanya, Ken melihat Chikara dan Yasuhiro bersama rombongan Sano berjalan menghampiri mereka dari lobi. Ken lantas mengangkat tangan setinggi kepala agar teman-temannya dapat langsung menemukan wajahnya di antara banyaknya orang yang berlalu lalang.

"Bukan itu. Kau terlalu berlebihan, Kazu." Ken berdiri dari duduknya sambil menyisir rambut ke belakang. "Aku hanya kurang tidur."

Ken memunggungi Kazuhiko dan berjalan menghampiri rombongan kecil teman-temannya. Kazuhiko menyusul di belakang, memerhatikan punggung Ken dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Acara baru akan dimulai pukul sembilan. Teman-teman perempuan Ken mengusulkan agar mereka segera pergi ke arena supaya tidak perlu repot berdesak-desakan masuk dan memilih tempat duduk. Sayangnya, mereka masih kalah cepat.

Antrean masuk arena khusus peserta tampak terhenti di tengah jalan. Para penjaga yang bertugas di luar tampak sibuk sesaat dengan alat komunikasi mini yang menempel di telinganya, kemudian mereka masuk, menerobos antrean dengan langkah cepat. Tidak lama setelah itu, antrean kembali berjalan lancar.

Di arena, ruang tempat duduk peserta dibuat terpisah dengan tempat duduk penonton. Ruang itu secara teknis berada di lantai dasar arena, dalam ruang tertutup, yang ditujukan untuk memudahkan peserta supaya bisa dengan mudah langsung memasuki arena ketika gilirannya tiba. Karena lokasinya itu, tidak heran suara riuh para penonton yang berada tepat di atas kepala peserta terdengar sampai ke bawah. Meskipun beberapa tahun lalu ruangan itu telah diperbarui dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas kedap suara dan sebagainya, kehebohan para penonton masih tetap tidak bisa ditahan.

Ruang tunggu peserta memang berada di dalam ruang tertutup yang tidak memberi mereka akses untuk ikut melihat suasana arena di luar. Walaupun begitu, ruang yang luasnya setengah ukuran lobi itu dilengkapi delapan LCD ukuran besar yang menyorot langsung situasi yang ada di arena. Dua layar pertama menyorot suasana gelanggang arena secara keseluruhan. Enam layar yang lain berfokus pada enam titik berbeda yang masing-masing diberi sekat titanium.

Dalam arena, lapangan luas yang hampir seukuran lapangan stadion itu dibagi menjadi enam bagian. Keenam area yang tampak dari atas seperti potongan pizza itu nantinya akan digunakan oleh enam peserta dalam durasi waktu yang sama. Rata-rata tiga sampai lima menit untuk setiap gilirannya. Bisa lebih cepat dari itu, atau bisa juga lebih lama.

Lima menit sebelum pukul sembilan, beberapa orang berpakaian rapi masuk ke ruang tunggu peserta. Orang-orang dewasa berjas klimis dan berjubah laboratorium berjalan paling depan, disusul orang-orang dewasa berpakaian serba hitam dengan perangkat komunikasi di telinga dan pergelangan tangannya.

Perwakilan dari tim berjas klimis dan tim berjubah laboratorium memberi kata-kata sambutan pada seluruh peserta yang ada di ruangan. Ken tidak menyimak. Mendengar pun tidak. Matanya menatap kosong ke delapan LCD raksasa yang berada di belakang punggung orang-orang dewasa yang saat itu masih berbicara. Pikiran Ken kosong, tidak seperti sebelumnya. Dadanya juga tidak lagi terasa sesak. Hanya saja, rasa hampa yang dirasakannya itu justru membuat Ken semakin dilanda perasaan tidak enak.

Seperti suasana tenang sebelum badai datang.

Setelah menyelesaikan pidato singkatnya, para orang dewasa berlalu meninggalkan para peserta, masuk ke dalam ruang yang berada tepat di belakang tembok tempat kedelapan LCD terpasang. Sementara itu, para penjaga keamanan berpakaian serba hitam ke luar melalui pintu tempat mereka masuk sebelumnya.

Tepat pukul sembilan, suara sirene yang menjadi pertanda bahwa acara akan dimulai bergaung kencang. Samar-samar, suara riuh di atas ruang tunggu peserta terdengar. Para peserta memfokuskan pandangan ke arah layar. Wajah Perdana Menteri muncul di dua layar pertama LCD. Pria itu berdiri dari singgasana VIP-nya, melambai singkat ke arah tempat duduk penonton, lalu mulai memberi sambutan singkat sekaligus meresmikan pembukaan Ketteibi tahun ini. Suara sirene kembali terdengar selama satu menit sebelum keenam peserta pada giliran pertama memasuki arena ditemani oleh masing-masing satu orang dewasa berjubah laboratorium.

Ken melirik ke samping ketika ekor matanya menyadari sesuatu. Sano, yang duduk di sampingnya, tampak sibuk menggosok-gosokkan kedua tangan. Matanya fokus menatap ke depan, tapi tangannya terus bergerak konstan seolah-olah gadis itu akan terkena hipotermia kalau tangannya berhenti bergerak.

"Ini."

Sano menoleh ke samping. Sebuah handuk kecil tersodor di atas pangkuannya. Di sampingnya, Ken mengedikkan dagu agar Sano segera mengambil handuk yang disodorkannya. Gadis itu ragu sesaat. Kemudian dengan tangan bergetar, ia mengambil handuk kecil berwarna merah polos itu sambil mengucapkan terima kasih. Suaranya yang pelan hampir-hampir tidak terdengar di telinga Ken.

"A—aku cemas."

Dari suara dan gelagatnya saja Ken sudah bisa menebak. Sano menyelimuti kedua tangannya yang kedinginan di balik handuk kecil Ken. Sano tidak tahu apakah boleh ia mengutarakan perasaan gugupnya pada Ken yang sudah berbaik hati meminjamkan handuknya. Kepalanya seketika menunduk dalam karena merasa telah menjadi beban bagi Ken.

"Aku juga. Dari kemarin. Atau mungkin kemarin-kemarinnya lagi."

Sano mengerjapkan mata. Kepalanya mendongak pelan-pelan, lalu menoleh ke arah Ken yang kini kembali memfokuskan pandangan ke depan. Laki-laki itu terdiam selama beberapa saat, kemudian menoleh lagi ke samping sambil tersenyum tipis.

"Jangan diam begitu, dong. Aku merasa seperti sudah mengatakan sesuatu yang sangat aneh."

Sano terkekeh pelan. "… Maaf."

Mereka berdua kembali menatap ke depan dengan senyum terukir di wajah masing-masing. Sano merasa lega bahwa Ken tidak menganggapnya sebagai perempuan lemah dan tidak bisa diandalkan yang hanya bisa menjadi beban. Di sisi lain, Ken juga merasa lega bahwa tidak hanya dia yang sedang dilanda rasa cemas level ekstrem.

Sebetulnya, Ken sama sekali tidak berniat mengeluarkan guyonan dan hanya ingin memberitahu Sano bahwa kondisinya juga sama seperti yang sedang dialami perempuan itu. Hanya saja saat Sano mendengar pengakuannya, gadis itu tiba-tiba bungkam dan membuat suasana menjadi canggung. Secara impulsif, keluarlah kata-kata yang di telinga Sano terdengar seperti guyonan.

Ken menarik napas dalam. Entah mengapa, walaupun tidak seberapa, bicara dengan Sano membuat perasaan cemasnya menjadi sedikit lebih tenang. Ia teringat nasihat Morita Abe yang mengingatkannya untuk tidak berbohong pada dirinya sendiri. Baru sekarang Ken benar-benar memahami maksud dari perkataan pria itu.

"Wah, itu Morita 'kan?!"

Mata Ken tiba-tiba membelalak. Telinga Ken yang sensitif bergerak mencari asal suara, sambil matanya melihat-lihat LCD dan mencoba mencari-cari wajah seseorang di sana. Kepala Ken menoleh sedikit ke belakang, menatap sekumpulan laki-laki yang duduk persis di belakangnya sedang menunjuk-nunjuk layar di ujung sebelah kanan. Ken kembali menatap ke depan, mengikuti arah telunjuk mereka.

"Ken!"

Ken yang sedang mencari-cari wajah seseorang di LCD tiba-tiba dikejutkan oleh tepukan Kazuhiko di bahunya. Saking terkejutnya, Ken sampai melompat dari tempat duduknya. Matanya seketika beralih ke arah Kazuhiko yang sudah berdiri dari duduknya. Laki-laki berambut gondrong itu mengedikkan dagu, memintanya ikut berdiri. Ken bingung.

"Giliran kita."