webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · ファンタジー
レビュー数が足りません
63 Chs

Rasa Di Bawah Bintang Malam

Di satu tribun tua di lapangan yang gelap gulita, seorang anak kecil bermata emas duduk dalam diam sambil menengadah menatap angkasa malam yang dihiasi oleh bintang berwarna-warni. Anak itu terpaku memandang keindahan di atas sana dan merasa seakan-akan dia bisa menggapai bintang-bintang itu dengan jari jemarinya. Namun, dalam hati kecilnya, anak itu bertanya-tanya, perasaan apa yang sebenarnya timbul dalam dirinya kala itu?

Seorang pria baya berparas gagah dan bertubuh tinggi besar datang menghampiri anak itu lalu ikut duduk disampingnya. Pria berkulit putih yang tampaknya sudah memasuki awal tiga puluh tahunan itu memiliki wajah yang tegas tapi terkesan ramah. Senyuman kecil terbentuk di bibirnya, ketika ia mengatakan kalimat sederhana yang kelak akan diingat anak itu sampai akhir hayatnya.

"Dunia ini adalah kanvas, kita adalah kuasnya, dan mimpi kita adalah warnanya."

Mendengar kata-kata itu, anak itu tersadar dari lamunannya, lalu menoleh memandang pria besar yang mengenakan setelan jas serba hitam itu. "Eh? Maksudnya Om Jon gimana?"

"Beberapa minggu lalu, kamu pernah tanya sama Om, kan? Kenapa keajaiban di dunia ini sangat sedikit?" Tanya Jon dengan suara gagah yang terkesan agak lembut, dan kemudian anak bermata emas itu mengangguk pada kata-katanya. "Apa kau mau tahu kenapa?" Anak itu mengangguk lagi. "Jawabannya sederhana, yaitu karena manusia tidak mau berusaha untuk membuat keajaiban itu."

"Eh... ?" Anak itu masih memasang wajah polosnya, tanda bahwa ia tak mengerti.

"Hmm... Baiklah. Begini, apa yang akan kamu lakukan kalau kamu ingin memiliki lukisan yang bagus dan keren?" Tanya Jon sambil mengangkat bocah lelaki itu ke atas pangkuannya.

"Eh? Tentu saja aku akan melukisnya." Kata anak itu penuh keyakinan.

"Nah, kau harus melukisnya, kan? Karena kalau kamu nggak melukisnya, itu berarti kamu nggak akan pernah memiliki lukisan yang bagus itu. Makanya kamu harus melukis." Jelas Jon, tapi sayangnya dia sadar kalau bocah itu masih kesulitan untuk mencerna kata-katanya. "Hah... Intinya begini, Nak. Di sini, kalau kamu tidak berusaha, maka nggak akan ada keajaiban, namun kalau kamu berusaha, artinya kamu akan memiliki keajaiban."

"Oh, berarti maksud Om itu, keajaiban di sini sedikit karena kita kurang berusaha, ya?" Tanya anak itu dengan polosnya, sampai-sampai membuat Jon sedikit gemas untuk membelai rambut bocah itu.

"Loh? tentu saja bukan kita, lah, melainkan mereka, manusia." Jawab Jon sambil menyunggingkan senyuman tipis. "Oh, iya, Om masih penasaran, memangnya kenapa waktu itu kamu tiba-tiba berpikir begitu?" Tanya Jon heran. Rasanya agak aneh tiap kali ia mengingat kembali kata-kata yang dilontarkan oleh anak itu beberapa minggu silam.

Seluruh keluarga bocah itu tengah berada di rumahnya dalam rangka merayakan kelahiran adiknya. Namun, ketika semua orang sedang asyik bercerita di ruang makan, anak itu malah memilih untuk makan di ruang tengah sambil menonton televisi, sementara Jon duduk di sofa di belakang bocah itu untuk mengawasinya.

Lalu, disitulah sesuatu yang aneh itu terjadi.

"Om Jon, di dunia ini, kok, keajaibannya sedikit banget, ya?" Waktu itu, anak bermata emas itu melontarkan pertanyaannya begitu saja. Padahal pandangannya masih tertuju pada televisi dan tangannya sibuk mengurusi makanannya, tapi anehnya, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, seolah-olah itu terjadi tanpa ia kehendaki.

"Hmm..." Anak itu terdiam sebentar. "Aku nggak tahu kenapa waktu nonton televisi aku tiba-tiba teringat sama anak-anak jalanan yang kulihat saat lagi jalan-jalan di kota. Terus, pas lihat mereka, aku juga teringat sama orang-orang kaya yang kulihat di mall... Terus... aku nggak tahu lagi, deh... aku bingung... dan marah juga." Anak itu menjelaskan setengah melamun.

Namun, Jon jelas mengerti dengan apa yang dimaksud oleh anak itu.

"Seperti itulah manusia, mereka menggunakan kanvas dengan seenak jidatnya tanpa memikirkan keadaan orang lain." Jelas Jon.

"Padahal mereka bisa membantu anak-anak itu... Tapi... Tapi... Mereka sudah menyalahgunakan kanvas yang diberikan oleh Tuhan." Ungkap anak itu dengan suara pelan, seakan-akan ia berusaha untuk menekan emosinya.

Anak itu mengacungkan tangan kanannya ke depan, dan secercah cahaya emas tiba-tiba timbul di udara, dan dari cahaya itu pula, muncul sebilah pedang cantik sungguhan yang tampak sangat tajam dan berbahaya. Dilihat dari sisi manapun, itu memang benar-benar sebuah pedang.

"Padahal aku bisa saja memusnahkan manusia-manusia yang seperti itu..." Anak itu bergumam lagi, sementara tangan kanannya seolah memberi isyarat pada pedang itu untuk datang kepadanya, lalu tak sampai sedetik kemudian, pedang itu mematuhi perintahnya. Pedang itu melayang dengan sendirinya ke dalam genggaman anak itu. "Padahal, aku bisa membunuh mereka..." Katanya tanpa ragu, sampai-sampai membuat Jon sedikit ngeri. "Tapi... Kok, rasanya aku nggak bisa, ya?"

Jon hanya mampu mengelus rambut anak itu. Dia sama sekali tak tahu harus mengatakan apa lagi sekarang. Ada banyak kejahatan di dunia ini, dan itu adalah kebenaran. Bahkan kejahatan yang terlihat itu juga belum semuanya.

"Manusia itu aneh... " Kata anak itu dengan suara yang melunak. Ia akhirnya melepas genggamannya, dan seketika itu juga, pedang itu pun pecah menjadi kepingan-kepingan kecil cahaya keemasan. Cahaya-cahaya itu melebur, dan naik hingga tinggi ke langit, lalu lenyap tanpa jejak apapun. "... Dan kejam."