webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · ファンタジー
レビュー数が足りません
63 Chs

Bab II: Pertukaran Keajaiban

"Semua keajaiban itu... Sebenarnya pergi kemana, ya?" Bisikkan kecil itu keluar dari mulut Aqil tanpa ia kehendaki.

Namun, rentetan suara denting yang melengking tajam seketika menyadarkan Aqil dari lamunannya. Bocah gondrong yang duduk di bangku pojok belakang itu memalingkan pandangannya dari jendela dan mengamati teman-teman sekelasnya yang riuh ramai karena mendengar suara bel pulang. 

Mereka masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, masih bocah, jadi rasanya wajar-wajar saja jika mereka bertingkah gila dan liar seperti itu.

Namun, Aqil adalah suatu keganjilan dalam pemandangan kelas itu. Pasalnya, hanya dia seorang yang memasang wajah datar dan tampak tak tertarik sama sekali dengan suara penanda berakhirnya jam sekolah itu.

Entah itu memang tidak wajar atau bagaimana, Aqil juga tidak tahu persis kenapa dirinya bisa sampai bersikap demikian. Dia sendiri bahkan kerap kali memikirkannya beberapa tahun belakangan ini, walau tak pernah mendapatkan jawaban.

Sejak jari kelingking tangan kanannya dipotong oleh ibunya waktu kelas tiga SD, sejak saat itu pula cara pandang Aqil, dan caranya menjalani hidup di dunia ini, semuanya telah berubah sangat jauh.

Terkadang, dia merasa berat bahkan hanya untuk sekedar ikut bermain kelereng bersama teman-temannya. Meskipun ia ingin, tapi hatinya menolak usul itu. Tertawa pun rasanya amat sulit. Dia juga sering merasa kebingungan tanpa alasan yang jelas.

Kenyataan mulai terasa asing sejak kelingkingnya terpotong. Seolah-olah, Aqil tidak dapat mengenali dirinya sendiri, dan juga dunia ini. 

"Hmm..." Setelah selesai berdoa dan semua teman-temannya telah pergi, Aqil pun bangkit berdiri seraya mengenakan ranselnya di punggung, kemudian berpamitan pada gurunya sebelum melangkah keluar dari ruang kelas.

Di luar kelas, kaki Aqil terhenti sesaat di depan turunan tangga, sementara mata kebiruannya melirik sekeliling dengan perlahan. Namun, setelah beberapa saat memandangi dunia yang terbentang di hadapannya, Aqil menghela nafas dalam dan melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan sekolahnya.

Sudah beberapa tahun berlalu sejak kejadian yang menyakitkan itu, dan tak bisa dipungkiri memang, sejak saat itu juga hari-hari Aqil menjadi terasa aneh bukan main. 

Akan tetapi, kali ini, Aqil juga merasa ada sesuatu yang agak berbeda dengan dunia ini. 

Ya, kejadian yang kemarin itu pasti menjadi alasan kenapa Aqil merasa sedikit berbeda hari ini. 

Aqil melihat suatu keajaiban.

Keajaiban yang mampu membuat Aqil merasa lebih baik setelah sekian lama. Keajaiban yang membuatnya merasa sungguh amat bahagia untuk pertama kalinya entah sejak kapan. Dan itu, adalah lautan yang luas, juga pertemuannya dengan seorang anak aneh yang memiliki mata semerah darah dan rambutnya biru bagai angkasa pagi, yang bernama Odin.

Aqil tidak tahu persis bagaimana semua itu bisa terjadi, persis seperti sedang mengedipkan mata, tapi itu bukanlah mimpi. Itu benar-benar nyata, dan dia berada di sana.

Dalam perjalanan pulang sekolah kemarin, tiba-tiba saja Aqil sadar kalau dia sudah berada di tengah laut, dan dia bahkan bisa berjalan di atasnya, benar-benar di atas air. Dan di tempat itu pula dia bertemu dengan Odin. 

Aqil berlarian di atas lautan itu sampai lelah, dan tertawa sekeras-kerasnya tanpa keraguan. Rasanya sangatlah menyenangkan, dan Odin juga menemaninya di sana hingga sore. 

Walau anak berambut biru itu terus saja menceritakan kisah-kisah yang aneh, tapi itu tidak masalah, toh dia orangnya baik dibandingkan orang-orang yang dikenal Aqil selama ini.

Meski begitu, tak lama setelah itu, anehnya ketika Aqil sadar dan membuka matanya, bocah itu ternyata mendapati dirinya terbangun di ranjangnya sendiri, dan waktu itu sudah larut malam. Itu benar-benar gaib sekali. Dan Aqil tidak ingat bagaimana ia bisa berakhir di kamarnya kala itu.

Semuanya terjadi begitu saja.

Kembali ke saat ini, dunia di sekitar Aqil dipenuhi oleh suara-suara anak-anak sekolahannya, sementara bocah itu berfokus berjalan menuju ke gerbang sekolah.

Sesampainya di gerbang yang ramai oleh anak-anak yang tengah membeli siomay dan pentolan, Aqil menoleh ke kiri dan kanannya mencari-cari sesuatu yang mungkin saja sebenarnya tidak pernah ada.

Semilir angin lembut kembali berhembus pelan dan berlalu melewati Aqil. Rasanya nyaman memang, tapi tetap saja dunia ini sudah terlanjur menjadi asing di matanya. 

"Hari ini Odin bakalan datang lagi, nggak, ya?" bocah itu berharap dalam-dalam sambil memandangi sekeping koin emas kecil pemberian Odin, yang digenggamnya seharian ini. 

Meskipun kini dunia menjadi terasa buram kembali seperti hari-hari sebelumnya, tapi setidaknya, kini Aqil sudah tahu pasti kalau keajaiban itu masih ada.

Bocah itu lanjut berjalan menuju lorong yang terletak sekitar seratus meter di sebelah kiri dari gerbang sekolah. Aqil masuk ke dalam lorong dan terus berjalan dipinggir jalan aspal. 

Sungguh, orang-orang yang melihat Aqil selalu saja memandangnya dengan cara yang aneh dalam artian yang tidak menyenangkan. Mengingat ia sangat jarang tersenyum, dan air mukanya pun tampak amat hampa, jadi wajar, kan, kalau mereka berpikiran seperti itu?

Sekali lagi, langkah Aqil terhenti karena semua pemikiran itu. 

"Apa sebenarnya yang harus kulakukan? Eh..." Pertanyaan itu kembali terucap begitu saja dari mulut Aqil tanpa ia kehendaki. Itu memang sering terjadi. Seakan raganya sendiri pun merasa kebingungan dengan kehidupan bocah itu.

"Hey, Dik, matamu itu keren juga, ya?" Seorang pemuda jangkung tiba-tiba muncul di depan Aqil sambil menatap mata bocah itu dengan cara yang menakutkan, sampai-sampai berhasil membuatnya sedikit terkejut mengingat Aqil tidak menyadari kehadiran pemuda itu sama sekali.

"Hah? maksud, Kakak...?" Aqil yang ragu menoleh memandang wajah pemuda berseragam polisi itu. Tampaknya dia tidak asing. Tapi, tidak. Itu tak penting saat ini, karena ada satu hal ganjil yang sangat mengganggu Aqil saat ini, yaitu fakta kalau polisi muda itu tahu tentang mata Aqil yang seharusnya cuma diketahui oleh tiga orang saja di dunia ini; dia, ibunya, dan Odin.

"Yah... Matamu memang keren, sih, tapi itu sebenarnya... berbahaya banget, lho." Pemuda itu membungkuk sedikit untuk memandang wajah Aqil lebih dekat, atau tepatnya, ia tengah menatapi mata Aqil yang warnanya sebiru langit cerah.

Di tengah cuaca yang panas kala itu, Aqil tiba-tiba merasakan hawa dingin aneh yang seolah menusuk kulitnya, rasanya persis seperti sensasi pisau yang mengiris kelingkingnya dulu. Bodoh namanya kalau dia tidak takut dan cemas dengan situasinya saat ini. Aqil berkeringat dingin.

"Ah, kamu tenang saja. Aku nggak tertarik dengan matamu, kok." Kata polisi muda itu sambil memasang senyuman ramah di bibirnya. 

"Eh... Begitu, ya?" seketika itu juga, hawa dingin itu lenyap begitu saja seperti terbawa oleh angin, dan suasananya pun kembali tenang seperti sedia kala. "Tapi... Kakak ini, siapa, ya?"

"Perkenalkan, nama Kakak, Regi Saputra Alacnan." Kata polisi itu sambil menunjuk rajutan di dada kirinya yang bertuliskan namanya. "Dan... Aku ingin membeli koin emas yang ada di tanganmu itu." Suaranya berubah serius ketika pemuda itu mengatakan minat yang sebenarnya.

"Hah...? Kakak mau beli koin ini?" Aqil memandangi koin itu dekat-dekat, dan mengamati ukiran di permukaannya yang berbentuk seperti kepala seekor singa. "Tapi buat apa?"

"Hmm... Harusnya kamu nggak perlu tahu soal itu, sih. Tapi... Kalau nggak kukasih tahu, bisa-bisa koin sialan itu malah lari lagi." Polisi itu–Regi–bergumam sambil berpikir keras. "Aku nggak bisa dapat koin itu kalau kamunya juga nggak ikhlas. Dan kalau aku membunuhmu... "

"Eh...?" Mata Aqil seketika terbuka lebar ketika mendengar kata yang terkesan sangat gelap dan amat tidak beradab itu. Rasa takut yang teramat sangat dalam sekejap merambat ke dalam dirinya bagaikan ombak. 

Bukannya apa, hanya saja aneh rasanya melihat pemuda itu mengucapkan kata itu dengan begitu mudahnya, apalagi dia adalah seorang polisi. 

"Yah, kalau aku membunuhmu... Sudah jelas koin itu juga akan lenyap... Dan aku nggak segoblok itu untuk melepaskan kesempatan sekali seumur hidup." Regi menghela nafas dalam setelah berkutat cukup lama dalam benaknya. "Baiklah. Begini, Dik. Koin yang kau pegang itu bisa dipakai untuk membeli sesuatu ke satu orang saja di seluruh dunia."

"Hah? Kok, bisa begitu?" Tanya Aqil spontan. Dia sudah bermasa bodoh dengan kengerian tadi karena saking penasarannya.

"Yah, karena orang itu membutuhkannya. Dia, benar-benar butuh koin-koin itu." Regi mulai menjelaskan. "Koin itu sejak awal adalah miliknya. Itu  berisi kekuatannya. Namun, karena orang itu pernah mati sebelumnya, jadi semua koin yang dimilikinya pun terpencar ke mana-mana. Oh, dan ngomong-ngomong, orang itu akan melakukan apapun untuk mendapatkan semua koin itu kembali. Jadi, aku ingin koin itu agar aku bisa bertukar dengannya. Aku ingin Tetesan Sungai Efrat miliknya..."

"Tetesan Sungai Efrat itu apa?" Aqil kembali bertanya. Benda apa pula itu? Dan lagian, itu memang nama benda atau apa?

"Ah, itu semacam ramuan yang berisi setetes air dari Sungai Efrat yang berada di Taman Eden. Itu bisa dipakai untuk menyembuhkan segala jenis penyakit... Aku membutuhkan itu untuk menyembuhkan ibuku." Sekali lagi, Pemuda berseragam polisi itu memasang senyuman di bibirnya, tapi kali ini, senyumannya agak berbeda. 

Dia tersenyum seperti seorang yang terpuruk dalam keadaan yang amat sangat menakutkan, dan dia cuma bisa pasrah.

Kalau dipikir sekilas, situasi Regi mungkin tak jauh berbeda dengan Aqil, hanya saja, hal yang dialami Regi itu ada pada tingkat yang lebih tinggi, soalnya masalah yang dialaminya itu sudah melibatkan dunia yang berbeda.

"Jadi... Gimana? Koin itu dijual atau nggak? Putuskan sekarang, soalnya aku mau ke kantor." Pemuda itu menunggu keputusan Aqil. 

"Tapi, kan, aku masih nggak tahu berapa harga koin ini." Jawab Aqil bingung. Toh dia memang tidak tahu apapun, termasuk harga jual koin emas ini. 

"Kalau uang, sih, aku bisa memberikan sebanyak yang kau mau. Tapi kalau kau mau yang lain, contohnya sepatu untuk terbang, atau mungkin juga lampu untuk memanggil jin, aku juga bisa memberikannya. Yah, kalau aku punya." Regi mengeluarkan botol kaca kecil berwarna merah terang dari salah satu kantong celananya. "Nah, ini. Kebetulan aku bawa salah satu peliharaanku. Di dalamnya ada Kitsunae; seekor rubah api. Dan dia kuat banget, lho. Mau tukar, nggak?"

"Hmm..." Regi menatap botol bercahaya merah itu dengan penuh minat. Itu benar-benar berkilau dan tampak sungguh teramat sangat ajaib sampai membuat mata bocah itu berbinar. "Tapi... Bukannya ini termasuk musyrik, ya? Memelihara jin itu dosa, lho."

"Lah!" Regi menepuk jidatnya sendiri, lalu kembali menjelaskan setelah menghela nafas dalam. "Aku nggak pernah bilang kalau ini jin, lho. Aku tadi bilang, kan, kalau ini itu peliharaanku." 

"Ah... Gimana, ya." Aqil menatap koin di tangannya dengan ragu, kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada botol ajaib itu. 

Saat ini, Aqil sadar betul kalau dia ada diposisi yang dirugikan. Amat rugi. Koin yang ada di tangannya itu, hanya bisa digunakan oleh satu orang saja di seluruh dunia, dan orang itu, bersedia membeli koin itu tak peduli semahal apapun harganya. 

Satu fakta yang pasti, Aqil percaya kalau koin ini sebenarnya ratusan kali lebih berharga dibanding botol mengkilap yang berisi entah makhluk apa itu. Bahkan mungkin ribuan–tidak, malahan mungkin jutaan kali lebih mahal. Namun, sekarang, bocah tidak memiliki pilihan lain untuk diambil. 

Toh, dia selalu percaya kalau kesempatan kedua itu hanyalah omong kosong belaka yang digunakan orang-orang untuk menciptakan harapan. Dan kalau ia membuang kesempatan ini, maka Aqil layak dicap sebagai makhluk yang tolol di dunia ini.

Jadi, kalau begitu, jawabannya hanya ada satu.

"Baiklah kalau begitu, aku mau menerima tawaran Kakak." Rama mengulurkan koin itu pada Regi, dan pemuda itu dengan perlahan mengangkat tangan untuk menerimanya. Namun, keraguan tergambar jelas pada wajahnya. Tapi sepertinya, daripada keraguan, mungkin ekspresi yang terpampang di wajahnya itu malah tampak seperti rasa takut yang teramat sangat.

Akan tetapi, setelah pemuda berseragam polisi itu berhasil mengambil koin itu dari tangan Aqil, lambat laun, wajahnya berubah menjadi semakin cerah dan matanya tampak lebih tenang dibanding sebelumnya. 

Regi memilah-milah koin itu di tangannya dengan hati-hati. Itu aneh sekali, entah kenapa dia bersikap seakan-akan koin itu bisa membunuhnya kapan saja. 

Tapi, detik demi detik berlalu, dan tak ada apapun yang terjadi. Lalu, dengan mata yang masih tertuju pada koin itu, Regi pun menyerahkan botol merah itu pada Aqil, dan dia terlihat tak keberatan sedikitpun. 

"Wah... Makasih, ya, Kak." Aqil mengangkat botol itu ke depan mukanya sembari memandangnya lekat-lekat. Sungguh, itu benar-benar terlihat sangat cantik dan ajaib. "Jadi, gimana caraku mengeluarkan si Kitsunae ini, Kak?"

"Ah, tinggal buka penutupnya, dan panggil namanya. Dia pasti keluar, kok." Jelas Regi yang baru sadar dari lamunannya. Keringat dingin mengalir dari dagunya, dan nafasnya sedikit terengah. Dari wajahnya saja dia terlihat seperti seorang yang seakan ingin berkata; "Ini bukan mimpi, kan?" atau entahlah.

Aqil memiringkan kepalanya sambil memandang polisi muda itu sekali lagi. 

Dia sepertinya sangat bahagia sekarang, tak ayalnya seperti seorang bocah yang diberikan hadiah mainan yang sangat diimpi-impikannya untuk pertama kalinya. 

Koin itu, seberapa ajaibnya itu sebenarnya?

"Baiklah, aku mau pergi dulu." Regi menyimpan koin itu di kantong celananya, baru kemudian mengancingnya rapat-rapat. Dia menghela nafas dalam sembari memasang senyuman lebar. "Oh, iya, rumahku ada di ujung lorong ini, tepat di tengah di antara jalan bercabang. Kapan-kapan, kau berkunjung ke rumahku, oke?"

"Eh? Ah, oke, Kak." senyum kecil terbentuk di bibir Aqil. "Dah, Kak."

"Hmm, padahal tadi aku kira kau nggak bisa tersenyum, lho. Syukurlah kalau begitu." Regi berbisik pelan dan mendesah legah lagi. "Baiklah. Sampai jumpa, Aqil." 

Regi menjentikkan jarinya, dan seketika itu juga, tiba-tiba muncul kilatan hijau yang amat menyilaukan memenuhi penglihatan Aqil bersamaan dengan terdengarnya suara guntur membahana. 

Akan tetapi, ketika Aqil membuka matanya kembali, dia sadar kalau pemuda polisi bernama Regi itu telah lenyap dari sana.

"Wah... Dia benar-benar hilang." Aqil memandang berkeliling untuk mencari keberadaan pemuda itu, tapi dia tak terlihat dimanapun. Jadi, Aqil mengarahkan pandangannya kembali kepada botol bercahaya itu. "Keajaiban itu... Memang ajaib banget."