webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · ファンタジー
レビュー数が足りません
63 Chs

10: Gadis Kecil & Pedang Baja

"Bagi orang-orang sepertiku, berhenti melangkah itu bukanlah tanda menyerah, tapi itu adalah kematian." Ucap gadis kecil berambut panjang terurai yang berwajah penuh semangat itu.

Meskipun dia cuma gadis kecil yang lucu, tapi ada sebilah pedang baja tua sederhana yang bertengger di tangan kanannya, sedangkan perisai usang terikat di lengan kirinya.

Namanya adalah Cika, gadis yang masih amat muda itu jauh-jauh datang dari Bali ke Kendari untuk memburu Singa Perak yang telah membunuh kedua orang tuanya.

Rama yang masih berseragam merah putih bertemu dengan Cika di lapangan tempat nongkrong favoritnya sepulang sekolah, entah kebetulan macam apa lagi ini. Takdir atau bukan, situasi ini tetaplah terlalu ganjil untuk Rama.

"Tapi... Sahabatku bilang, kalau Singa Perak itu sangat kuat, lho." Rama mengingatkan sekali lagi. Dia cuma bisa memasang wajah masam.

Namun masalahnya, gadis itu sungguh kepala batu. Dia sudah membulatkan tekadnya untuk memburu Singa Perak itu. Bisa dibilang dia punya dendam kesumat.

"Lah, sudah kubilang aku nggak akan berhenti mengejar singa kampret itu. Lagian, kamu ini siapaku, coba? Baru juga ketemu eh udah sok-sokan nyuruh aku buat berhenti." Gadis itu masih sebaya dengan Rama. Harusnya dia belajar di sekolah seperti dirinya, tapi anehnya, dia malah berkeliaran kemana-mana sambil membawa pedang dan perisai.

"Tapi..." Rama berniat mengingatkan lagi, tapi gadis itu kembali memotong perkataannya.

"Aku sangat berterima kasih atas minuman dingin dan somay yang kamu kasih tadi, tapi maaf, ini adalah masalah pribadi. Kau nggak berhak berkomentar soal itu." Gadis itu membungkuk sedikit untuk menunjukkan kesungguhan dalam kata-katanya. "Singa itu membuat kedua orang tuaku pergi untuk selamanya, jadi setidaknya, aku juga ingin agar singa itu lenyap dari dunia."

"Ah..." Mata perak Rama berpendar sedikit. Wajahnya yang memelas malas kini menunjukan kekhawatiran.

"Kalau begitu, aku akan menunggu di sini sampai malam tiba." Kata gadis itu serius, lalu ia mendudukkan pantatnya di rumput, menancapkan pedangnya di tanah, dan memandangi lapangan yang terbentang di depan mereka.

Angin sore yang menyejukkan berhembus pelan dan seolah membelai kulit mereka dengan lembut. Rama kemudian mengarahkan pandangannya pada menara di kejauhan sementara pikirannya berkecamuk.

Dia merasa sangat berat untuk meninggalkan gadis itu sendirian di sini. Tapi, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Liel sedang pergi entah kemana, dan ia sama sekali tak tahu cara untuk menghubungi Kain, Lilac dan Aria.

Saat ini hanya ada dia saja.

Momen ini sangat berlebihan untuk disebut kebetulan, dan situasi ini terlalu kejam untuk disebut takdir.

Rama tahu apa itu Singa Perak, dan gadis kecil ini jelas akan mati kalau ia sampai berhadapan dengan makhluk itu sendirian.

Namun, beginilah keadaannya, toh Rama juga sudah tak punya pilihan lain.

"Baiklah, aku akan membantumu." Suara itu meluncur keluar dari mulut Rama yang sebenarnya masih setengah melamun. Matanya masih terpaku pada menara itu.

"Lho! Jangan, ah! Nggak usah! Kau nggak perlu ikut campur. Kamu bisa mati, lho." Cika memprotes dengan jengkel.

"Nggak masalah, kok. Aku juga punya hak, kan? Jadi, aku memilih buat membantumu." Jawab Rama sembari ikut duduk di samping Cika.

"Tapi–"

"Aku udah memilih. Nggak apa-apa, kok." Ucap Rama sambil menyunggingkan senyuman kecil.

Cika yang kehabisan kata-kata akhirnya tak bisa lagi mengucapkan apapun, dan mereka berdua kini duduk dalam diam sambil memandangi langit senja yang cantik dan megah di atas sana.

"Terima kasih..." Cika berbisik.

Detik demi detik terlewati, dan selama itu pula, Rama sibuk melihat-lihat kunci miliknya yang diberikan oleh Liel, sementara Cika asyik bermain-main dengan kupu-kupu air yang ia ciptakan menggunakan sihirnya.

Gadis itu berkata kalau kekuatan utamanya adalah air, dan ya, dia sepertinya sangat berbakat dalam hal itu.

Namun, kekuatan Cika bisa dibilang sangat biasa jika dibandingkan dengan Liel yang mampu menciptakan apapun, atau Lilac yang bisa menghapus ingatan dengan mudah, juga Aria yang merupakan seorang prajurit Havengard, atau bahkan Kain yang bersaudara dengan seekor naga.

Cika masih terlalu biasa.

Akan tetapi, waktu terus berjalan, langit semakin gelap, dan akhirnya, maghrib pun tiba.

Kedua anak itu bangkit berdiri dan sepakat untuk pindah ke tribun di dekat sana agar bisa melihat dengan lebih leluasa.

Rama memandang berkeliling dan mencoba mencari-cari sesuatu yang tampak seperti singa berbulu perak, tapi yang terlihat di sejauh mata memandang hanyalah orang-orang yang sedang bersiap menuju masjid untuk sholat. Kendaraan berlalu lalang di jalanan yang mengitari lapangan, dan suara adzan memberi kesan yang khas di telinga Rama.

Akan tetapi, Rama mulai merasa aneh dengan situasi ini. Dia bertanya dalam hati, apa lagi yang dilakukannya di sini saat ini? Apa dia benar-benar siap untuk bertarung tanpa Liel? Lagi pula, dia sejak awal memang tidak seharusnya mencampuri hal-hal yang berbau kekerasan macam ini, apalagi sampai melibatkan senjata.

Namun, Rama melirik sedikit memandang pedang di tangan kanan Cika. Jika mau membandingkan pedang Cika dengan pedang perak miliknya, perbedaannya bagaikan bumi dan langit.

Sungguh tragis juga kalau dipikir-pikir, melihat ada gadis kecil yang sudah memegang pedang dan mencoba untuk membunuh sesuatu.

"Ngomong-ngomong, apa kamu yakin mau melakukan ini? Kau ini manusia, lho." Entah kenapa Cika tampak ragu-ragu saat ini. "Kau punya keluarga, kan? Nanti mereka khawatir, lho, soalnya kamu juga belum pulang ke rumah, kan, sepulang sekolah tadi."

"Yah, aku yakin mereka nggak akan cemas." Jawab anak lelaki itu dengan santai.

Rama kemudian menarik nafas dan membiarkan dirinya mengalir. Ia melepaskan kunci pedang yang tergantung di lehernya, baru kemudian memasukkannya ke lubang di telapak tangan kirinya.

Lengan kiri Rama lenyap seketika ketika ia memutar kunci itu, dan pedang perak yang cantik nan mengkilap datang entah dari mana, dan seperti biasanya, Rama pun langsung menangkapnya dengan tangan kanannya tanpa kesusahan sama sekali.

Cika memasang ekspresi kagum dan heran ketika melihat hal itu. Padahal, awalnya gadis kecil itu sempat merasa ngeri sewaktu menyadari kalau tangan kiri Rama telah lenyap sebagai ganti keberadaan pedang itu. Meski begitu, tetap saja wujud cantik pedang itu berhasil membuatnya terpesona.

"Tunggu... Apa yang baru saja terjadi? Bukannya kamu ini manusia?" Tanya Cika yang masih kelihatan tak percaya. "Dan pedang itu... Bukannya itu Pusaka?" Gadis kecil itu semakin terperangah ketika melihat pedang Rama dari dekat.

"Ah... Aku nggak tahu juga, sih." Rama hanya tersenyum kecil. "Tapi pedang ini dikasih sama sahabatku."

"Tapi, itu Pusaka, lho. Aku jelas-jelas merasakannya." Tatapan Cika kini terpaku pada pedang Rama. "Dia... Hidup."

"Heh...?" Apa maksudnya itu? Liel tidak pernah bilang kalau Pusaka itu hidup. "Maksudnya gimana, sih?"

"Yah, Pusaka itu memang hidup, kok. Mereka memiliki jiwa, namun tak punya akal. Makanya kekuatannya hebat." Cika tampaknya sedang berpikir keras. "Siapa namanya?" Tanya gadis itu.

"Eh, kalau nggak salah kemarin sahabatku bilang namanya itu, Jhodas, Kunci Pedang Perak." Jawab Rama sambil memandang pedangnya lekat-lekat. Ia bahkan bisa melihat pantulan wajahnya di bilahnya yang amat mengkilap. "Tapi, Singa Perak itu kok nggak muncul-muncul, ya?"

"Oh, iya juga." Cika menggelengkan kepala dengan cepat dan mengalihkan pandangannya dari pedang Rama. Dia lalu mengambil ponselnya untuk memastikan sesuatu. "Ya, titiknya sudah pas. Singa itu memang kemarin terlihat di sini, jadi tidak salah lagi."

"Hmm... Begitu, ya?" Rama mengedarkan pandangannya ke segala arah, sedangkan di dalam hatinya saat ini dia tengah mengharapkan dua hal yang saling bertentangan.

Pertama, dia ingin agar singa itu segera muncul, dan yang kedua, dia juga ingin agar singa itu takkan datang. Ya, rasanya bodoh juga kalau dipikir-pikir.

"Hmm... Kok singa itu belum kelihatan, ya? Kalau sudah gelap dikit aja pasti langsung muncul karena nggak makan dari pagi..." Cika kembali mengecek ponselnya. "Atau jangan-jangan sudah ada orang lain yang memburunya?"

"Eh? Emangnya bisa begitu?"

"Yah, Singa Perak itu sangatlah mahal bayarannya, jadi tentu saja banyak yang mencarinya. Tapi, makhluk itu sangatlah kuat dan itulah sebabnya tidak ada orang yang benar-benar ingin memburunya." Jelas Cika sambil mengeluarkan sebuah cincin emas kecil yang bertahtakan permata biru.

"Nah, makanya kubilang, lebih baik kau menyerah aja. Kan, kau sendiri yang bilang kalau singa itu sangat kuat." Rama berusaha mengingatkan lagi, tapi anehnya, gadis kecil itu malah memasang senyuman sombong di bibirnya.

"Yah, singa itu memang sangat kuat." Cika memasang cincin emas itu di ibu jarinya, dan pada saat itu pula, baik permata di cincin itu dan juga kedua mata Cika langsung bersinar memancarkan cahaya biru cerah. "Namun, aku jauh lebih kuat... Dengarkan aku, Poseidea."

Tiba-tiba saja air yang sangat banyak muncul entah dari mana dan dengan cepat menyelimuti seluruh tubuh Cika, lalu beberapa saat kemudian, semua air itu perlahan lenyap digantikan oleh zirah baja berwarna biru yang kini terpasang di sekujur tubuh gadis kecil itu.

Ya, gampangnya, penampilan Cika jadi terlihat menyeramkan sekarang. Ditambah lagi, pedang bajanya yang sudah tua tadi pun juga telah bertukar menjadi trisula yang tampak berbahaya.

"Wah... Keren... Kau punya Pusaka juga ternyata." Rama juga sukses dibuat kagum oleh kemampuan Cika. "Padahal, tadi aku ngiranya kalau kamu ini lemah, lho..."

"Yah, kamu nggak salah juga, sih. Soalnya, rata-rata orang dari duniaku memang tidak pernah peduli dengan yang namanya penampilan." Jawab Cika sambil tersenyum kecut. "Baiklah, aku sudah siap."

Cika mengambil nafas dalam-dalam dan mengumpulkan keberaniannya, dan Rama pun mengikutinya.

Waktu itu mungkin masih jam tujuh malam, tapi angin yang berhembus kala itu sangat dingin dan menusuk sampai ke tulang Rama. Atau mungkin saja itu bukanlah angin, melainkan sensasi tegang dan rasa panik yang bercampur aduk dalam dirinya.

Namun, ponsel Cika tiba-tiba kembali berdering hingga membuat kedua anak itu tersentak kaget. Gadis itu buru-buru mengambilnya dari sela-sela baju bajanya dan memeriksa pesan yang baru saja masuk.

Setelah memeriksanya, Cika seketika langsung menghela nafas dalam dan menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah.

"Kita makan, yuk. Aku yang traktir." Ajak Cika tiba-tiba.

"Lho, kenapa?" Rama terkejut.

"Singa Perak itu sudah dibunuh kemarin ternyata... Asem, lah." Ungkap Cika sambil melangkah pergi. "Yah, syukur deh kalau begitu. Jadi ayo kita cari makan."

"Eh!? Emangnya kamu punya uang?" Rama segera mengambil langkah cepat untuk mengikuti gadis kecil yang penuh semangat itu.

"Nggak usah pikirin itu. Kamu ikut aja pokoknya." Seluruh zirah baja biru Cika perlahan mecair menjadi air dan jatuh ke tanah, persis seperti air biasa pada umumnya.

Namun, mata Rama tertuju pada trisula Cika yang juga kembali ke wujudnya seperti semula, yaitu sebilah pedang baja yang usang.

"Yah, syukurlah kita nggak perlu bertarung." Rama berbisik pada hati kecilnya. Toh, kemarin dia telah berburu banyak Dosa, dan sepulangnya dari hutan itu, bocah itu sadar kalau kekerasan bukanlah keahliannya.

Rama benar-benar sangat bersyukur saat ini, karena ia tak perlu melihat gadis kecil itu mengayunkan pedangnya.

Akan tetapi, anehnya Rama merasa kalau ini belum berakhir.

Entah apa alasannya sampai-sampai gambaran Cika yang tengah bertempur di medan perang tiba-tiba muncul dalam pikiran anak lelaki itu.