webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · ファンタジー
レビュー数が足りません
63 Chs

(Book I) 18: Orang-orang & Keajaiban Mereka

Terkadang, orang melupakan keinginannya sendiri, meski yang pasti itu bukanlah pilihannya. Tidak ada orang bodoh yang akan melakukannya. Keinginan itu sama pentingnya dengan hidup kita. Tapi, mau bagaimana lagi... dunia lah yang memaksanya."

Jarum jam berpindah tepat ke angka tiga ketika kalimat itu keluar dari mulut Tante Merax.

Wanita itu berdiri dekat jendela di ruang makan sambil memandang perumahan yang berada tak jauh dari daerah belakang rumah Rama. Sekitar lima puluh meter dari kebun.

Walau mungkin sebenarnya agak jauh kalau dipikir-pikir lagi, tapi toh wanita itu adalah seorang naga, dan Mata Naga merupakan satu dari banyaknya keajaiban yang amat luar biasa di kehidupan ini.

Sore itu, Cika, Rama, Gota dan Tante Merax sedang berkumpul di ruang makan. Mereka baru saja selesai makan siang besar dan kini tengah bersantai sejenak.

Pagi tadi Tante Merax pergi berkeliling kota Kendari untuk memeriksa keadaan, sedangkan Rama ke sekolah, dan Cika ke pasar bersama-sama dengan Gota.

Meskipun Cika masih cemas dengan segala-galanya, apalagi setelah kejadian yang kemarin malam, tapi anehnya, dari pagi sampai sekarang benar-benar tak ada satupun hal gila yang terjadi. Hari ini berjalan dengan mulus.

Kehidupan hari ini yang bisa dianggap sebagai lembaran baru untuk Cika, semuanya tampak damai-damai saja.

Dia saja bahkan sampai ragu untuk meninggalkan Gota sendirian di rumah, ya tapi Cika lebih ragu lagi untuk membawa anak misterius itu ke pasar. Namun semuanya, aman.

Gota pun tahu bagaimana cara menggunakan keajaibannya agar orang-orang menghiraukannya. Terbilang mahir malah, jadi orang-orang di pasar pun tak mempedulikannya sama sekali, meskipun dia berjalan-jalan dengan telanjang kaki, dan hanya mengenakan selimut putih untuk menutupi badannya.

Ya, hari ini, tenang sekali sebenarnya.

Seusai pulang dari pasar, Cika pun mulai memasak, dan ketika Tante Merax pulang, dia juga langsung membantu menyiapkan makan siang. Gota hanya duduk di ruang makan sambil membaca buku-buku pelajaran Rama, dan Rama juga membersihkan rumahnya layaknya orang biasa kebanyakan.

Maksudnya, Cika hanya tidak menyangka kalau kehidupan yang biasa saja itu ternyata bisa sampai setenang ini, walau tidak selalu memang.

Akan tetapi, tetap saja ada begitu banyak hal yang masih mengganjal di pikiran Cika, contohnya yang paling sederhana adalah tentang bisikkan Rama semalam.

Belum lagi soal jati diri Rama, dan Gota pun juga begitu. Ditambah lagi dengan kasus yang sedang diselidiki Tante Merax. Ya, ada terlalu banyak masalah sekarang kalau dipikir-pikir, sampai-sampai membuat alis kanan Cika bergetar sedikit.

"Dan... Siapa yang Tante maksud disini?" Rama angkat bicara, dia penasaran.

"Heh! Apa-apaan pertanyaanmu itu!?" Cika yang duduk di samping Rama menyikut bocah lelaki itu.

Tante Merax tertawa pelan sembari berkata, "Nggak apa-apa, kok, Nak Cika. Kalau sama Tante ya santai aja."

"Dan kau juga jangan asal mencoret-coret bukunya orang!" Cika beralih memarahi Gota yang dari tadi asyik sekali menggambar sesuatu di salah satu buku Rama.

"Eh... Aku cuma mencoba benda-benda ini, kok." Bocah itu tersenyum kecut sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Udah, nggak apa-apa, kok." Meski begitu anehnya Rama malah terlihat senang, bocah itu membuka sedikit tudung saji dan mengambil satu tempe balado untuk dicemilnya.

"Hey Rama... Setidaknya cuci dulu tanganmu." Cika yang melihat fenomena itu terjadi tepat di depan matanya cuma bisa menghela nafas dalam-dalam. "Oh, iya Rama, ngomong-ngomong, aku tadi ketemu Juar di jalan, dan dia bilang nanti malam dia mau ke sini, nggak masalah, kan?"

"Ah, iya, nggak apa-apa, kok." Rama kembali bertanya sembari memakan tempenya. "Jadi, siapa yang Tante maksud sebenarnya?"

"Hmm... Entahlah." Senyum Tante Merax tiba-tiba surut dari bibirnya. Wanita cantik berambut panjang itu termenung. "Mungkin itu, kamu, Cika, atau Gota... Atau juga mungkin Tante." Jawabnya pelan.

"Eh?" Cika heran.

"Tante sudah hidup lumayan lama, lho... Tapi ya, Tante lebih sering menghabiskan waktu di sarang, dan cuma keluar buat membasmi dosa-dosa aja." Perkataan Tante Merax lambat laun terbawa oleh sepoi angin lembut yang masuk melalui jendela. "Jujur, Tante sama sekali tidak pernah merasakan ketenangan seperti ini sebelumnya, bahkan saat di sarang aja teleponku tidak pernah berhenti berbunyi."

Entah kenapa Cika merasa kalau dia mengerti dengan apa yang tengah dialami oleh Tante Merax sekarang.

Memang rasanya agak samar, tapi sejak ia bertemu dengan Rama, Cika merasa kalau segalanya menjadi lebih tenang. Memang terkadang ada situasi dimana ketenangan itu berganti menjadi momen yang sangat mengejutkan, hingga membuat jantungnya berdebar sampai hampir meledak, tapi sekalinya ketenangan itu datang lagi, itu benar-benar tenang–amat tenang.

Seperti saat ini.

Tak ada yang terjadi.

Di ruangan ini, di rumah ini, hanya ada empat orang yang tengah duduk, bercerita, sambil menikmati waktu kosong.

"Hmm... Jadi, apa sebenarnya keinginan Tante?" Gota bertanya dengan wajah polos sambil tersenyum simpul.

"Apa, ya?" Tante Merax tenggelam dalam pikirannya. "Luar biasa sekali... Karena saking tenangnya, aku sampai bisa memikirkan hal seperti ini." Wanita itu menghela nafas.

"Kalau kamu?" Rama beralih pada Gota. "Kamu sendiri punya keinginan, nggak?"

"Apa, ya?" Gota langsung memasang wajah serius, seperti seorang yang pikirannya sedang bergejolak. Ia menggembungkan pipi sebelah kanannya dan menyipitkan mata. Sekilas, dia terlihat sedikit lucu sebenarnya.

"Lihat? Sulit, bukan?" Kata Rama.

"Hmm..." Ya, kalau dipikir-pikir lagi, Cika pun tak benar-benar tahu apa keinginannya sendiri. Mengingat Singa Perak sudah dimusnahkan, dan tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya hal bodoh seperti menginginkan kedua orang tuanya agar hidup kembali. "Ya, apa ya?" Cika juga mulai berpikir keras.

"Begitulah." Tante Merax angkat bicara. "Bahkan membahas hal sederhana seperti ini saja sangat sulit bagi kita, orang-orang yang mengetahui keajaiban..."

Cika tanpa sadar melirik wajah Tante Merax, dan sesungguhnya ia bisa melihat dengan jelas kesedihan yang tersembunyi di balik mata wanita ungu gelap itu.

"Padahal, kalian semua ini masih anak-anak banget, lho. Kalau anak-anak itu biasanya langsung meneriakkan ratusan keinginan ketika ada yang bertanya tentang itu. Tapi, kalian... Kita, berbeda. Berbeda banget dibanding manusia." Tante Merax menjelaskan sambil menikmati tiupan angin sore.

Setelah mendengar hal itu, entah kenapa Cika tiba-tiba teringat kembali dengan kejadian tadi subuh, saat-saat dimana ia tak sengaja melihat Rama yang sedang melamun di jendela.

"Aku punya keinginan, kok..." Gota bergumam sambil meraba anting-antingnya. Bocah itu benar-benar berpikir keras sekarang. Gota lalu mengangkat tangan kanannya lurus ke depan, dan tiba-tiba saja cahaya putih mulai berkumpul dengan sangat cepat hingga membentuk sebuah pedang berwarna perunggu dalam sekejap mata, yang bentuknya sama persis dengan anting-anting yang dikenakan oleh anak itu; salib.

"Tapi?" Rama bertanya.

"Gimana ya?" Gota menilik pedang itu dengan seksama, entah apa yang sedang dicarinya dari pedang itu. "Aku ingin pergi ke sana... Ke pulau itu."

"Pulau?" Tanya Cika, Rama dan Tante Merax serentak.

"Ya, Eden." Gota mengatakannya dengan wajah tanpa ekspresi. "Kalau aku sampai di pulau itu, maka keinginanku pasti akan menjadi nyata." Anak itu tersenyum kecil. Ia melepaskan genggamannya dari pedangnya, dan pedang itu pecah menjadi debu-debu cahaya.

Cika memandangi butir-butir cahaya yang berhamburan di udara dan lenyap begitu saja tanpa jejak.

"Eden...?" Tante Merax tampak terkejut saat mendengar nama itu, matanya terbuka lebar. "Tunggu... Bukannya itu cuma sekedar dongeng?"

"Entahlah... Pokoknya aku mau ke sana." Ungkap Gota sambil menempelkan mukanya ke meja.

"Eden? Maksudnya Taman Eden? Tamannya Adam dan Hawa?" Rama bertanya.

"Bukan. Bukan yang itu." Cika mengingat-ingat. Ia dulu pernah membaca soal Eden di salah satu koran di rumahnya. "Itu adalah nama dari sebuah pulau yang melayang di langit. Dan menurut ceritanya, sih, pulau itu bisa mengabulkan keinginan orang-orang, apapun itu."

"Tunggu sebentar... Apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini?" Tante Merax seperti sudah kehabisan kata-kata lagi. Ia cuma bisa memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Ia benar-benar terlihat kebingungan setengah mati.

Keinginan, ya? Cika juga mulai merenung memikirkan soal itu. Toh, memiliki keinginan itu merupakan hal yang baik, bukan?

Hanya saja, apa?

Kenapa Cika baru kepikiran sekarang?

Gadis itu mulai berpikir dalam-dalam, mencari-cari sesuatu yang mungkin terselip dalam lubuk hatinya.

"Hmm, kalau kamu Rama? Kamu emangnya nggak punya keinginan?" Gota tiba-tiba bertanya sambil memasang wajah yang penuh rasa penasaran.

"Ah... Aku punya, kok." Jawab Rama singkat. Bocah itu sempat terkejut, dia tadinya sedang menjejerkan beberapa kunci emas dan perak di meja sewaktu Gota bersuara.

"Dan?" Kedua alis Gota naik, ia semakin tertarik dengan jawaban Rama.

Bahkan, Tante Merax pun beralih memandang Rama dan menunggu apa yang akan dikatakan anak itu.

"Yah, kalau aku, sih lagi nyari sesuatu." Ungkap anak lelaki itu sambil tersenyum kecil. "Tapi, apa yang kucari itu sederhana sekali sebenarnya kok. Cuma, ya begitulah, menemukannya itu susah banget." Dia mengangkat bahu.

"Yah, setidaknya kau tahu apa keinginanmu sendiri. Itu lebih baik." Tante Merax tampak lega mendengarnya. Gota pun terlihat girang, sampai-sampai kaki bocah itu berayun-ayun dengan sangat cepat di bawah meja.

Entah kenapa kini Cika merasa bersyukur karena tak ada yang bertanya padanya soal keinginan.

Gadis itu benar-benar tidak tahu apa yang diinginkannya sekarang.

"Hey, Nak Rama, sepertinya ada beberapa anak-anak yang ingin mengambil buah di kebunmu." Tante Merax memberitahu.

Ketiga anak itu sontak bangkit dari kursi mereka dan ikut mendekat ke jendela.

Tak jauh di dekat pagar dinding di sebelah kanan sana, memang ada beberapa anak-anak yang tengah memanjat pohon rambutan dan memanen buahnya.

"Yah, biarin aja, mereka juga lebih butuh dibanding aku. Lagian, aku juga udah kenyang." Jawab Rama.

"Ya, baiklah kalau begitu." Tante Merax lalu menjentikkan jarinya, dan disaat itu pula timbul hembusan angin kencang dan bersamaan dengan itu, semua pohon-pohon di kebun Rama pun mulai memunculkan buah-buahnya dengan sangat cepat.

Semua anak-anak itu keheranan, namun tak ada yang ketakutan, malahan mereka menjadi sangat girang sekali karena kini mereka bisa memanen buah-buahan sampai puas.

"Hmm... Entah kenapa pemandangan ini terlihat familiar." Rama bergumam pelan.

Sambil memandang momen-momen yang sedang terjadi di luar jendela itu, Cika berusaha untuk merangkum semua kejadian terkini dalam benaknya.

Dari munculnya Tante Merax, juga soal ledakan kekuatan di kota ini, serta kehadiran si bocah yang memiliki nama yang sama dengan nama suatu bukit tempat seorang nabi di salib, juga kunjungan dari om-om aneh semalam, tentang Eden, dan yang terakhir, Rama.

Hanya dalam sehari saja, sudah ada begitu banyak hal yang yang terjadi. Ditambah lagi, Cika pun masih merasakan perasaan ganjil yang mengatakan kalau ia melupakan sesuatu yang entah apa.

Waktu terus berjalan, langit lambat laun mulai memancarkan warna jingga yang menenangkan, dan hembusan anginnya pun sedikit terasa hangat.

Cika melirik sedikit pada Rama yang tengah berdiri di sebelahnya.

Wajah bocah itu kosong, dan mata peraknya terlihat hampa.

Cika sungguh tak bisa menerka apa yang sebenarnya ada dalam pikiran anak itu. Namun yang pasti, Cika sadar akan satu hal, yaitu tentang kenyataan bahwa dia dan Rama, memiliki nasib yang senada.

Hanya saja, gadis itu tidak bisa memastikan apakah nasib itu baik, atau buruk.

Itu, hanyalah hidup.

"Aku tahu kalau kamu ini manusia, Rama." Tante Merax tiba-tiba angkat bicara, dan jujur, Cika sedikit terkejut mendengarnya. "Tapi, hanya itu yang bisa kulihat dengan mata ini. Tante nggak tahu bagaimana kau hidup sendiri seperti ini, dan Tante lebih nggak bisa memikirkan tentang kekuatanmu itu. Tapi Tante tahu, kalau kau itu anak yang baik."

Meski begitu, Rama tetap bungkam. Dia sama sekali tidak menanggapi perkataan Tante Merax, dan terus memandangi dunia di balik jendela.

"Hanya saja... Entah kenapa Tante nggak bisa berhenti merasa kalau sesuatu yang buruk akan terjadi..." Tante Merax mengalihkan pandangannya pada bocah kurus itu. "Dan setiap kali Tante melihatmu... Perasaan itu anehnya malah semakin terasa nyata." Ia lalu kembali memutar lehernya kearah jendela di depannya. "Ada apa ini sebenarnya?" Wajah wanita itu terlihat gelisah.

Gota pun cuma bisa memasang wajah linglung, sementara Rama menunduk menatapi kunci berbentuk pedang yang ada di tangannya. Dan Cika, gadis itu pun diam-diam tenggelam dalam keheningan.

"Ah!" Suara Gota yang penuh semangat tiba-tiba memecah kesenyapan di ruang makan itu. "Kemarin malam, aku bertemu dengan monster hitam yang ukurannya gede banget, lho." Ungkap anak itu, ia mengayunkan kedua tangannya untuk menggambarkan betapa besarnya sosok itu.

"Monster hitam? Maksudmu Dosa?" Cika bertanya. "Yang matanya merah itu, bukan?"

"Nah! Iya!" Gota mengangguk kencang.

Dari cara bocah itu menjelaskan, Cika yakin kalau ia tidak pernah bertemu dengan Dosa yang seperti itu sebelumnya. Setidaknya rata-rata seukuran dengan manusia, dan yang paling besar itu seukuran gajah.

Namun, Gota berbicara seolah-olah Dosa yang dilihatnya itu benar-benar raksasa.

"Lalu, apa yang kau lakukan pada makhluk itu?" Tanya Tante Merax.

"Yah, karena dia terlihat ingin mengajakku berkelahi, jadi aku juga melawannya. Aku langsung melemparnya dengan pedang-pedangku, sampai-sampai dia bahkan nggak sempat berbuat apa-apa. Hebat, kan?" Ujar Gota yang tampak bangga.

"Ya, itu bagus, kau melakukan hal yang benar, Nak." Tante Merax kembali menatap keluar jendela. "Ingat, kita–orang-orang yang memiliki keajaiban, dibawa ke dunia manusia ini hanya untuk satu tujuan, yaitu menjaga para manusia, dari makhluk-makhluk hitam itu, para Dosa."

"Jadi makhluk jelek itu Dosa, ya?" Gota tampak berusaha menanamkan kebenaran itu ke dalam ingatannya. "Baiklah, aku mengerti." Katanya sambil memasang senyuman lebar.

"Apa yang sebenarnya kau mengerti?" Cika mengerutkan kening sambil memandang Gota dengan tatapan heran.

"Tapi... Eh... Masalahnya tuh, setelah aku mengalahkan Dosa yang itu, tiba-tiba saja, teman-temannya yang lain malah datang nggak tahu dari mana." Gota melipat kedua tangan di dada. "Cuma karena aku sudah jengkel banget, jadi yah aku tinggalin aja mereka."

Cika seketika menepuk jidatnya, dan Tante Merax langsung tersenyum kecut setelah mendengar itu, ia memijat keningnya dan menggeleng pelan, sedangkan Rama menyunggingkan senyuman simpul di bibirnya.

"Padahal kau bisa mengalahkan mereka, kan!? Kok malah dibiarin, sih!?" Ujar Cika dengan suara tertahan karena saking kesalnya, urat di lehernya sampai mengeras.

"Udah Nak Cika, biar Tante yang urus kalau soal ini." Kata Tante Merax. "Jadi dimana tempat kau bertemu dengan para Dosa raksasa itu, Nak Gota?"

"Di arah sana." Ujar bocah itu sambil menunjuk lurus ke arah sebelah kiri dengan tangannya.

"Eh?" Cika dan Rama sontak menoleh mengikuti arah yang ditunjuk oleh jari Gota, tapi apa yang mereka lihat disitu hanyalah pintu kamar mandi.

"Di utara, ya? Karena kamu tersadar di daerah hutan, berarti seharusnya di sekitar kecamatan Ambaipua." Tante Merax menjelaskan.

"Baiklah, karena sebentar lagi sudah mau malam, akan lebih baik kalau Tante bersiap disana sebelum mereka muncul. Masih ada waktu sejam lagi sampai matahari benar-benar tenggelam." Jelas wanita itu sambil melihat jam yang tergantung di dinding.

"Eh? Tante mau pergi sendiri?" Tanya Rama.

"Ya iya dong." Tante Merax membusungkan dadanya. "Nggak peduli mau sebesar apa Dosa itu, Tante ini adalah naga."

"Eh, aku boleh ikut nggak?" Pinta Rama tiba-tiba.

"Hah?" Cika memekik kaget. Apa-apaan anak ini? Pikirnya. "Heh! Kamu mau ngapain?"

"Yah, aku juga ingin ikut melenyapkan dosa-dosa itu lah." Balas Rama.

"Mendingan kamu tinggal aja deh. Soalnya Tante Merax itu naga. Dia itu naga." Cika menekankan. "Medan pertempuran orang-orang seperti kita, dan para ras tinggi seperti naga itu, bagaikan bintang di langit dengan batu kerikil loh. Hanya dengan satu gerakan saja, Tante Merax mungkin bisa membuat sebuah desa menjadi rata dengan tanah."

"Eh? Kalau cuma begitu, aku juga bisa kok." Rama membuka kepalan tangannya, ia memperlihatkan kunci-kuncinya pada ketiga orang itu. Kunci-kunci itu mengapung rendah di atas telapak tangan anak itu.

Ada kunci emas yang berbentuk seperti bintang jatuh dan yang berbentuk seperti apel, ada pula kunci perak yang bentuknya seperti sambaran petir, juga yang berbentuk layaknya pedang.

Cika merinding ketika melihat kunci-kunci itu, dan entah bagaimana pula Rama membuat kunci-kuncinya mengambang seperti itu.

Malahan, bisa dibilang kalau Rama adalah fenomena yang mengerikan.

Entah bocah itu sadar atau tidak, tapi kenyataannya dia memiliki empat Pusaka yang bahkan bisa menyebabkan malapetaka di telapak tangannya.

Sederhananya, kunci-kunci itu merupakan senjata pemusnah masal.

Cika bertanya pada dirinya sendiri, dari mana Rama mendapatkan benda-benda itu?

Bagaimana seorang anak seperti dia memiliki empat pusaka?

Empat.

Tidak, bukan empat, dia punya lima.

Cika teringat dengan topeng aneh yang ada dalam ransel anak itu. Ransel yang saat ini tergantung di kursi Rama.

Ya, lima, pusaka.

Disaat yang kebanyakan Warga Dunia Lain bahkan kesulitan untuk mendapatkan satu pusaka setingkat itu, Rama malah memiliki lima.

Cika melirik Tante Merax di sebelah kanannya, wanita itu juga terpaku pada kunci-kunci Rama.

"Semua kunci itu... Pusaka kelas Spesial..." Suara Tante Merax seolah sedang mengingatkan dirinya sendiri tanpa ia sadari.

Namun, pada akhirnya wanita itu menutup matanya sejenak, menarik nafas dalam, lalu angkat bicara.

"Tante minta maaf ya, Rama. Tapi, ini adalah tanggung jawab Tante, jadi, Tante nggak bisa mengajakmu. Nggak apa-apa kan?" Jelas wanita itu. "Lagian, temanmu juga mau datang kan?"

"Ah... Yaudah, nggak masalah kok, Tante." Jawab Rama yang jelas tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

"Hah... Baiklah, Tante pergi dulu. Tante nggak lama kok. Nanti pas pulang, Tante akan memasakkan kalian makan malam yang enak, oke?" Tante Merax melangkah menjauhi jendela, lalu ketika dia sudah agak jauh dari ketiga bocah itu, tiba-tiba saja turun kilatan hijau dari langit-langit yang langsung menyambar Tante Merax dan membawanya pergi begitu saja entah kemana.

Tante Merax lenyap dari pandangan.

Untuk sesaat, suasana menjadi hening kembali.

Akan tetapi, Cika teringat suatu hal yang penting. Gadis kecil itu duduk di lantai, lalu merogoh tas sihirnya yang tergantung di pinggangnya, dan mengeluarkan sebuah bola berwarna hitam yang seukuran dengan telapak tangan orang dewasa.

"Nah, benda ini namanya Kristal Admin." Cika mengangkat bola itu ke depan muka Rama dan Gota yang juga ikut duduk bersamanya di lantaj. "Fungsi Kristal Admin ini cuma satu, yaitu untuk mengukur keajaiban yang ada dalam diri kalian. Nah begini caranya." Cika mengalirkan sedikit kekuatannya ke dalam bola itu, dan tak lama kemudian rangkaian angka bercahaya biru muncul di permukaan bola itu; 5201.

"Jadi, kekuatan keajaiban yang ada dalam dirimu itu, kalau dipresentasikan jumlahnya 5201... Poin, begitu?" Rama menerka-nerka.

"Yap, tepat begitu. Tingkat keajaibanku itu 5201 poin. Nah sekarang cobalah." Cika menyerahkan bola itu pada Rama. "Jadi, begini caranya, bayangkan kalau semua kekuatan yang ada dalam dirimu itu berkumpul di dalam telapak tanganmu, dan pertahankan itu."

Rama mengangguk singkat pada penjelasan Cika, dan mulai mencoba mengikuti instruksinya.

Memang tidak secepat Cika, tapi setelah beberapa detik berlalu, akhirnya rangkaian angka itu pun muncul juga; 1287 poin.

"Hmm... Keajaibanku cuma 1287 poin?" Rama menaikkan alisnya, tanda kalau ia heran, dan ya, Cika pun sama bingungnya.

"Apa benda ini rusak?" Gota mengambil bola itu dari tangan Rama lalu memeriksanya.

"Eh... Aku nggak pernah dengar kalau Kristal Admin bisa rusak... Lagian itu fasilitas dari dewan." Cika menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Tapi, mau bagaimana lagi, mungkin keajaiban Rama memang cuma segitu aja kan?"

"Yah, aku sih nggak masalah sebenarnya." Rama menaikkan bahu. "Nah, sekarang kamu Gota."

"Baiklah." Lalu, hanya dalam tiga detik saja, angka itu pun muncul, dan jumlahnya; 32990 poin.

"Eh..." Ketiga bocah itu seketika bungkam setelah melihat angka itu.

"A-Ah... Untungnya, tingkat keajaiban kita itu nggak selalu jadi patokan seberapa kuatnya kita kok." Jelas Cika yang tampak agak panik.

Gota dengan perlahan meletakkan Kristal Admin di lantai.

"Kita beli gorengan yang di depan yuk?" Gota bertanya sambil berusaha melupakan apa yang terjadi barusan.

Ya, terkadang, dunia ini memang bisa bertindak terlalu aneh, dan berlebihan kalau dipikir-pikir.

Cika pun tidak pernah menyangka kalau dirinya bisa bertemu dengan orang-orang hebat nan ganjil seperti Rama, Gota, dan Tante Merax.

"Yaudah, ayo kita beli gorengan." Rama bangkit berdiri lalu disusul oleh Gota dan Cika. "Nanti kita makannya di ruang tamu aja sekalian, sambil tunggu Juar." Ia memberitahu.

"Juar? Siapa itu?" Tanya Gota.

"Ya, dia temanku." Ungkap Rama. "Kita memang baru kenal beberapa hari sih, tapi, ya begitulah, dia seorang teman. Iya kan, Cika?"

"Yap." Cika menanggapi dengan yakin.

Senyuman kecil muncul di bibir anak gadis itu.

Untuk saat ini, dia hanya akan menjalaninya saja. Tak perlu berpikir terlalu jauh. Toh, apa gunanya membuat stres dirinya sendiri.

Lebih baik tetap melangkah, batinnya dalam hati.

"Lagi pula, ketidaktahuan itu, adalah hal yang baik, bukan?" Cika bergumam pada dirinya sendiri.

"Eh, kamu salah dong, Cika." Kata Gota yang berjalan di depannya.