webnovel

Bab 11

Suara sepatu kuda beradu dengan jalanan aspal yang berirama membuatku merasa nyaman. Ketenangan melingkupi diriku yang satu kereta kuda dengan Tuan Schoonhoven. Aku diajak pergi ke sekolah bersamanya yang hendak pergi ke kantor. Awalnya aku menolak dan memilih untuk berjalan kakinya saja tapi dia memaksa.

"Aku senang kau mau tinggal bersama kami," Tuan Schoonhoven berbicara, suaranya lebih lembut dari biasanya, "Terimakasih kau mau tinggal,"

"Seharusnya saya yang berterimakasih,"

"Josh sangat bahagia karenamu," Dia mengarahkan pandangannya padaku yang sejak tadi memperhatikannya. Mata biru kami bertemu pandang, "Dia tidak pernah berhenti untuk memeluk dan menciumku saat kuizinkan kau tinggal bersama kami,"

Jadi ternyata Josh yang menghendaki keputusan ini. Dalam jeda beberapa detik kemudian Tuan Schoonhoven mengalihkan pandangannya dariku, kuperhatikan matanya, mata yang begitu mirip dengan mataku itu mendadak muram.

"Aku belum pernah melihat dia sebahagia ketika dia bersamamu," Suaranya melirih ketika dia menyebut diriku. Bersamaan dengan berakhirnya kalimat Tuan Schoonhoven, kereta kuda pun berhenti namun tak kami insafi. Tuan Schoonhoven dengan pemikirannya sementara aku memikirkan apa yang dia pikirkan.

"Hn,"

"Oh! Kita sudah sampai," kuurungkan niatku untuk bertanya lantaran Tuan Schoonhoven telah menyadari bahwa kami sudah sampai di sekolah, "Pergilah, kau bisa terlambat,"

"Terimakasih," Kataku sebelum turun dari kereta kuda, dia membalasnya dengan seulas senyum penuh arti. Menjadikan bibirnya segaris merah di kulit putihnya.

"Ehn Tuan," kubalikkan badanku dan kembali menghadapnya, "pulang nanti, Tuan tidak perlu menjemput saya,"

"Kenapa?"

"Tidak perlu saja," kuutarakan penjelasan tanpa alasan itu dengan memasang raut penuh harap. Entah terlihat olehnya atau tidak.

"Baiklah beautiful girl,"Pipiku merona di bawah sinar cerah mentari pagi karena kehangatan Tuan Schoonhoven yang begitu merasuk ke dalam diriku. Dia seorang ayah yang baik, tak aneh jika Josh adalah putranya. Mereka sama baiknya.

Kelasku terasa berbeda, lain daripada biasanya. Awalnya kukira hanya perasaanku saja, tapi hingga pelajaran usai, semua semakin benar adanya. Mereka, kawan-kawanku menjauhiku. Ratri dulu menjauhiku, kini meningkat menjadi mengucilkanku. Aku merasakan sendiri, bukan hanya Ratri yang mengubah sikap padaku tetapi teman-teman yang lain pun bersikap sama. Aku bahkan mendengar sendiri bagaimana mereka berucap di belakangku. Membicarakan diriku menggunakan bahasa Inggris. Aku tahu aku tak cukup pandai berbahasa Inggris mengingat kami tak mendapatkan pelajarannya di kelas, tapi aku paham benar makna kata-kata dalam rangkaian kalimat mereka.

"Maudy mendekati Josh untuk Tuan Schoonhoven. Dia kehilangan keledai lalu menjerat unta,"

Meskipun hanya sepenggal dari keseluruhan kalimat, tapi yang kudengar itu telah sukses untuk menorehkan luka di lubuk hatiku. Duniaku berubah lagi. Apakah belum cukup kemurkaan untuk diriku? Aku harap mereka tak menganggapku baja atau aku akan mengubah diriku menjadi tank pemusnah yang bahkan belum pernah mereka bayangkan. Karma berlaku dan aku bisa menjadi karma mereka. Suatu hari nanti jika mereka tetap mengusikku. Suatu hari nanti.

Ratri tak mau pulang bersamaku padahal aku ingin bermain ke rumahnya. Apa pun alasannya, sebenci apa pun dia padaku, aku tak mau kehilangan sahabat sebaik dia. Aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Kuikuti dia dari belakang, aku tahu dia menyadari keberadaanku tapi aku tetap berpura-pura mengendap-endap. Bersembunyi di balik sebatang pohon asam besar yang mulai menggugurkan buahnya ketika gadis berkebaya krem itu menengok ke belakang.

Cukup lama aku tertahan di belakang pohon besar tak muat dua pelukanku ini. Ratri masih berdiri disana, memperhatikan pohon benteng pertahananku sembari mengetuk-ngetukkan selopnya. Selama nyanyian selop itu tak berhenti maka selama itu pula aku berdiri menghadap pohon seolah memperhatikan ratusan koloni semut bergotong royong mengangkut makanan untuk ratu mereka.

Kusadari ada irama berbeda dari suara selopnya. Iramanya yang semula teratur berubah menjadi hentakan-hentakan keras yang kian lama kian memudar. Kutengok penuh kehati-hatian dan kutemukan ketiadaan Ratri di pijakannya tadi. Aku keluar dari persembunyian, kudapati gadis bersanggul itu berlari-lari kecil. Dia telah sampai di ujung jalan, sosoknya menghilang di tikungan. Dia pergi, tak mau dekat denganku lagi

"Maudy," suara tegas namun berirama lembut muncul bersamaan dengan saat kurasakan bahuku ditepuk seseorang. Dua hal itu sukses membuatku terkejut nyaris melompat karena terkejut.

Kudapati sosok tegap dan gagah berseragam militer dan menyandang senapan panjang. Keramahan wajah dan senyuman hangatnya sudah tak asing lagi bagiku. Dia Piet.

Kami. Aku dan Piet duduk di sebatang kayu lapuk di pinggir jalan. Kerimbunan daun asem di atas kepala, melindungi kami dari teriknya sinar mentari. Aku duduk menunduk, memperhatikan ujung sepatuku sementara Piet memainkan sebuah ranting, menggunakannya untuk mengusik jalan koloni semut.

"Apa kau baik-baik saja?" Piet mulai berbicara, memecah keheningan di antara kami.Aku tahu benar kenapa dia bertanya seperti itu. Tentunya dia mengkhawatirkanku, empat hari sejak kematian ayah, kami belum bertatap muka.

"Aku baik. Kau tahu? Aku sangat merindukanmu," Kami berbincang-bincang tanpa saling memandang lawan bicara.

"Ya, aku juga sangat merindukanmu. Ehm, aku mengkhawatirkanmu," Piet menggantungkan kalimatnya, menarik napas panjang lalu menghembuskannya, "setelah pemakaman ayahmu, aku mendapat tugas ke stasiun. Aku bertemu Ibu dan kakakmu," Sejurus kuangkat kepalaku dan menatap Piet. Memperhatikannya yang ternyata telah memperhatikanku. Sinar matanya memancarkan kepiluan.

"Kuberanikan diri untuk mendekat dan menyapa. Aku bertanya tentang dirimu, Rusli bilang dia tidak mengenalmu. Apa yang terjadi Maudy? Kenapa kau tinggal bersama Meneer Schoonhoven?" Ada desakan penuh emosi dalam kelembutan kalimat serdadu muda itu. Kucengkram rokku untuk menahan gejolak dalam diriku.

"Kak Rusli tahu tentang aku dan Josh. Semua terjadi berturut-turut setelah itu," kuceritakan semua yang terjadi. Berawal dari surat dari Josh, perdebatan hebat di rumah, diusirnya aku, hingga akhirnya Tuan Schoonhoven mengajakku untuk tinggal bersamanya.

"Piet," aku kembali menunduk, memeluk lututku, tak mau Piet melihat kesenduan dari mata biruku yang mulai berkabut tertutup air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Kutahan disana supaya air mata itu tak jatuh membasahi bumi di bawah kakiku, "Aku merasa semua semua semakin buruk. Aku tidak tahu apalagi yang bisa kulakukan. Semua seperti terulang untuk kedua kalinya. Aku sendiri," Aku terisak di kalimat terakhir, air mataku luluh. Beberapa bulir jatuh lalu hilang terserap tanah, yang lain menganak sungai di pipiku. Kuusap air mataku dengan kedua belah telapak tanganku tapi tak ada gunanya. Air mata ini seolah tak ada habisnya.

"Semua akan baik-baik saja, tenanglah," Piet dengan lembut merengkuh kepalaku. Wajahku tenggelam di dadanya. Terisak lalu mengerang, meluapkan emosi dan perih tak tertahan lagi itu dalam pelukan serdadu muda Belanda yang begitu hangat. Dia membelai lembut belakang kepalaku, berusaha memberi ketenangan dan kenyamanan.

"Aku ada disini Maudy. Akan selalu bersamamu . Kau tidak akan sendiri," Setiap kata-kata Piet terdengar lembut di telingaku. Ingin kuucapkan kalimat-kalimat penuh kasihku untuknya tapi pikiranku terlalu kacau. Bahkan untuk mengucap satu kata pun aku tak mampu.

Sedikit ketenangan menyusup dalam diriku. Aku lega Piet berada di sisiku, dia selalu ada untukku. Serdadu muda baik hati dan penuh perhatian. Kuharap dia akan selamanya menjadi milikku, aku tak ingin dia pergi seperti Ibu kandungku, ayah dan ibu angkatku serta kak Rusli.

"Aku menyayangimu Maudy, jadi jangan pernah berpikir bahwa kau sendiri. Aku selalu disini," Dia kembali berbisik lembut, kupeluk erat dia. Tanda bahwa aku paham perkataannya, wujud terimakasihku untuknya yang selalu bisa menjadi tumpuanku.

***

Suatu hari di saat ketenangan suasana subuh begitu menyenyakkan dan kasurku terlalu nyaman untuk ditinggalkan, pintuku diketuk oleh seseorang yang mengusik segala hal di alam mimpiku. Kuseret kakiku menuju pintu, engsel pintu berdecit ketika daun pintunya kubuka. Senyuman indah dan sinar mata mempesona menyambutku di depan mata. Josh.

Tanah berderak di bawah kaki Snowfire. Kuda putih anggun milik Josh itu, membawaku dan Josh melintas jalanan sepi dalam keremangan subuh. Kesempatan kali ini, aku duduk di depan. Josh mengendalikan Snowfire dari balik punggungku. Lengan panjangnya melingkari tubuhku, memberikan kehangatan dan keromantisan tersendiri bersamaan dengan saat dia menguasai tali kekang kuda.

"Kau dingin Maudy?" Suara lembutnya menggelitik telingaku di pertengahan perjalanan. Dia menarik tali kekang Snowfire. Berhenti. Kulirik ke belakang, dia hendak melepas garbadin merahnya.

"Aku tidak dingin, kau pakai saja," kataku, kutahan tangannya. Dia menelengkan kepala, menelisik jauh ke dalam mataku seolah hendak mengetahui apa mata biruku mengucapkan hal yang sama.

"Aku sudah tidak sabar untuk melihat yang ingin kau tunjukkan, jadi jangan membuang waktu," lanjutku seraya tersenyum, memandang lembut wajah tampan penuh pesonanya ,dalam keremangan mata coklat keemasannya memancarkan cahaya kasih tulusnya untukku. Aku mampu melihatnya. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya, kukecup sejenak pipinya yang dingin. Dia merona, ini untuk kali pertama aku menciumnya.

"I love you," Bibirku berucap tanpa menimbulkan suara.

Kami kembali berpacu, melewati jajaran pohon jati di kanan dan kiri jalan. Snowfire semakin cepat melesat seiring dengan hentakan-hentakan yang Josh berikan. Pepohonan di sekitar kami seolah berlari mundur ke belakang. Mampu kudengar desah napas Josh di belakang. Terasa sekali bahwa dia sangat dikejar oleh waktu. Aku semakin dibuat penasaran apa yang hendak Josh tunjukkan padaku.

Josh biarkan snowfire terikat dan merumput di bawah pohon cemara. Dia menggandeng tanganku lalu membimbingku berjalan beriringan dengannya. Menapaki jalan aspal menanjak selangkah demi selangkah, kurasakan genggaman tangan Josh semakin erat seakan-akan dia tak ingin desir angin menyihirku pergi darinya. Sejenak kualihkan pandanganku pada Josh, kami bertemu pandang. Bersamaan dengan itu, Josh menghentikan langkahnya.

Tanpa kusadari kini Josh berdiri berhadap-hadapan denganku, kedua belah tanganku dia genggam erat. Mata biruku berpandangan dengan mata coklat keemasannya yang meneduhkan. Kami berdiri di tengah-tengah sebuah jembatan panjang, suara aliran air sungai di bawah jembatan memberikan kesejukkan dan ketenangan tersendiri bagiku. Gemericik airnya yang meliuk-liuk melewati bebatuan hitam besar yang mencuat di tengah sungai. Sebuah truk pengangkut tebu berlalu melewati kami, membuat rambut kecoklatanku terbuai olehnya. Keheningan kembali menyeruak setelah truk menghilang di tikungan.

"Kau tahu kenapa aku mengajakmu kesini?" Josh berbicara dan memecah keheningan di antara kami bersamaan dengan saat munculnya semburat-semburat jingga di langit timur, membuat pepohonan nampak seperti siluet- siluet bumi.

"Matahari masih terbit dari timur Maudy," lanjutnya lagi tanpa menunggu jawaban dariku atas pertanyaannya terlebih dulu. Sinar mata dan wajahnya membiaskan sinar sang surya yang merayap naik dari balik pucuk-pucuk cemara. Aku mampu merasakan degup jantungku setiap kali kutatap mata teduhnya, "Biarkan semua berlalu, hiduplah bahagia sekarang untuk matahari terbit yang selalu setia menyapamu esok hari. Aku tahu ini sulit, tapi aku akan melakukan apapun agar kau bahagia. Kau sumber kebahagiaanku Maudy. Jadi jangan bersedih," Dia terdiam lalu menunduk. Kutatap dia, sosok Josh yang berdiri di hadapanku. Mencoba menguatkanku dan menjadi tiang hidupku. Kulihat kawanan burung walet terbang melintas bergerombol di langit balik punggung Josh.

"Aku tahu semua ini salahku," ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Perlahan dia kembali mengangkat kepalanya. Terlihat jelas olehku, mata indah Josh berkabut. Air mata menggenang dan membuat sinar keteduhannya menyendu, "seharusnya aku tak menulis dan mengirim surat itu padamu,"

"Josh," Aku mulai bertanya-tanya darimana dia mendapatkan pemikiran macam ini.

"Kita berbeda dan kau harus menanggung semua ini karena aku. Seharusnya aku mengetahui semua ini dari awal. Aku terlalu bodoh dan ceroboh Maudy!"

"Josh," kugelengkan kepalaku dengan tegas, "Josh, kuakui semua memang berawal dari suratmu tapi ini bukan salahmu. Mereka saja yang membuat pandangan seperti itu. Kita semua sama,"

"Karena aku seorang Schoonhoven dan kau Mangunbrata. Karena aku tak tahu betapa sulitnya di posisimu. Aku tidak tahu kalau hal seperti ini adalah permasalahan. Andai aku tahu lebih awal, aku tidak akan menulis surat itu, tidak akan peduli seperti apa diriku malam itu, aku akan menemuimu. Aku akan menjagamu seperti apa yang kukatakan padamu dulu. Atau, atau mungkin," Josh mulai terbata-bata dalam mengutarakan kalimatnya. Air mata berbulir dan jatuh membasahi pipinya, "Mungkin sebaiknya aku tidak menemuimu di tempat itu. Kita tidak perlu mengenal dan kau akan tetap bersama orang- orang yang kau sayangi. Maudy, maafkan aku. Kau boleh melakukan apa pun supaya,"

"Josh halt!" (Josh, Berhenti!) kuhempaskan tangan Josh yang sejak tadi menggenggam tanganku. Aku berseru untuk membungkam mulutnya, menghentikan kalimat-kalimat yang hanya menyakiti dirinya sendiri,"Kenapa kau berbicara seperti itu? Ini sulit Josh, kau yang kumiliki sekarang jangan pernah berandai-andai. Kau membuat hidupku penuh arti, Josh. Percayalah. Seperti apa yang kau katakan tadi, apa pun yang terjadi esok hari saat matahari kembali memberikan kita hari baru. Entah baik atau buruk, tidak ada seorang pun yang salah,"

"Aku tidak ingin kau sedih, Maudy," lirih Josh berbicara, "Aku tahu dan sadar seperti apa diriku, aku tak mampu melakukan apa pun untuk membahagiakanmu. Aku baru menyadari betapa buruknya akibat dari kehadiranku di hidupmu,"

"Josh dengarkan aku!" Kurengkuh wajahnya dengan kedua belah telapak tanganku. Kugunakan ibu jariku untuk menyeka air mata yang membasahi pipinya. Menatap jauh ke dalam mata coklat keemasaannya, ada penyesalan dan gurat kenestapaan disana. Aku tahu dan mampu melihatnya.

"Kau bilang aku sumber kebahagiaanmu bukan?" kutegaskan setiap kata penyusun kalimat yang kuucapkan, "Aku tahu kau mengajakku kesini agar aku bahagia. Ini lebih dari cukup Josh. Kau bilang matahari masih terbit, jadi apalagi yang kau risaukan? Kau dan aku disini, jangan pernah menyalahkan dirimu."

"Aku takut aku hanya akan mendatangkan luka,"

"Jangan katakan itu lagi," Kubelai lembutnya pipinya yang halus, "Jika aku sumber kebahagiaanmu, maka tersenyumlah untukku. Aku ingin kau bahagia karena aku disini, karena aku ada disini untukmu. Percaya atau tidak, aku selalu merasa damai setelah aku mengenalmu. Jadi jangan pernah menyesali pertemuan kita,"

Mendadak Josh memelukku. Kehangatan tubuhnya merasuk ke dalam diriku. Kubalas pelukannya, perlahan kulingkarkan lenganku di punggungnya yang dibalut garbadin tebal. Ketika kupejamkan mataku, aku bisa merasakan degup jantungnya yang begitu pelan. Bahkan terlalu pelan, tenang seperti aliran air musim semi. Kami sama-sama diam, larut dalam keheningan pagi yang menyergap, berhiaskan latar belakang mentari pagi yang merayap naik di balik tingginya pucuk-pucuk cemara. Tak kami ingat lagi snowfire memakan rumput apa di bawah sana.

Meskipun sesungguhnya ada penyesalan dan benci pada surat itu di relung hatiku. Tapi, tak sedikitpun aku berniat untuk mengatakannya kepada Josh. Aku menyayanginya dan tak mau menyakitinya. Perlahan tapi pasti dalam perjalananku bersama Josh, aku mulai memahami betapa rapuhnya Josh. Dia memang terlihat kuat dan bahagia, tapi aku tidak bodoh untuk memaknai setiap sorot matanya.

Dia menyanyikan sebuah lagu bertempo cepat dalam bahasa Belanda sembari menari. Kakinya menghentak-hentak di jembatan, menimbulkan nada yang seirama dengan nyanyiannya. Aku hanya tersenyum dan bertepuk tangan memperhatikan kemampuannya, aku baru tahu dia memiliki suara lembut nan merdu. Tiba-tiba dia menghampiriku, dari caranya aku tahu bahwa dia bermaksud mengajakku menari bersamanya. Kugelengkan kepalaku, menolak.

"Hey come on Shawty!" Dia menggodaku, kujelingkan mataku mendengar satu kata asing terselip di kalimat ajakannya.

"Shawty?"

"Special, humoris, awesome and beauty. That's you Maudy," Dia menyudahi penjelasannya dengan kerlingan mata, membuat perutku geli lantaran menahan tawa. Tapi, akhirnya tawa itu pecah juga. Shawty kepanjangan dari Special, humoris, awesome dan beauty. Heh, darimana dia menemukan istilah konyol seperti itu? Itu konyol tapi aku sangat menyukainya.

Aku berdiri di samping snowfire, membelai lembut kuda putih kesayangan Josh itu. Josh berkata snowfire akan mudah akrab kalau aku menggosok-gosok punggungnya. Itu benar! Kuda betina ini nyatanya tak berkeberatan aku menyentuhnya. Sepertinya dia mulai menyukaiku. Sesekali kualihkan perhatian mataku ke arah rerimbunan pohon tempat Josh melangkah dan lenyap di balik pohon munggur besar. Tadi, dia berkata bahwa dia hendak memberiku satu kejutan lagi, tapi kurasa dia sudah terlalu lama. Matahari telah sampai sepenggalah langit. Apa mungkin dia diculik hantu penunggu pohon munggur itu? Atau jangan-jangan Josh yang pergi bersamaku bukanlah Josh, melainkan genderuwo yang menyamar menjadi sosok Josh untuk menculikku.

"Jangan gila Maudy," kuketuk kepalaku, mengutuk pemikiran anehku yang tak masuk akal.

Kurasakan sesuatu menyentuh kepalaku. Sesuatu yang melingkar dan wangi. Aku mampu mencium wangi itu. Kujulurkan jemari tanganku untuk menyentuh benda yang mendadak terpasang tepat dan rapi di kepalaku, menghiasi rambut kecoklatanku yang panjang bergelombang. Dari bentuknya aku tahu ini bunga sepatu, melati dan beberapa daun, benda-benda itu dirangkai menggunakan ranting.

"Kau menyukainya?" Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajad setelah suara itu mengalun merdu dari balik punggungku.

Josh tersenyum simpul di hadapanku seolah ada kebanggaan tersendiri baginya atas benda pemberiannya. Aku sendiri merasa aneh, ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Bukankah dulu aku pernah membayangkan mahkota macam pemberian Josh ini?

"Aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu," Josh angkat bicara lagi, suaranya lebih lirih daripada biasanya . Tapi jarak kami membuatku mampu menangkap perkataannya juga, "Kuharap kau mau menerimaku apa adanya," dia menutup kata-katanya dengan satu kalimat yang tak kuketahui maksudnya. Kalimat itu lenyap begitu saja karena Josh mengalihkan semua perhatianku. Dikecupnya dengan lembut keningku. Kehangatan cinta kasihnya yang tulus merasuk ke dalam diriku. Bisa kurasakan setiap cinta yang dia berikan hari ini.

Aku bersama Josh. Jadi apalagi yang kurisaukan? Aku tidak sendiri, aku tahu betapa Josh menyayangiku. Aku berada di sisinya dan ini adalah tempat terbaik bagiku untuk saat ini. Aku gadis paling beruntung karena aku bisa berada disini. Bersama Josh dan segala kebaikannya.

***