Bagi Angele, 2000 koin bukanlah uang yang sedikit. Uang sebanyak itu dapat mengisi penuh sebuah kantong besar dengan berbagai barang. Saat ia tinggal di teritori Rio, ia bisa membeli cukup banyak barang dengan uang sebanyak itu. Sekarang, uang itu memang cukup banyak, namun Angele membutuhkan jauh lebih banyak uang.
'Bibi Maria benar.' pikir Angele sembari mengernyitkan alisnya. Ia telah membaca kertas daftar kelas itu berulang kali, namun tidak ada kelas yang berguna baginya. Ia hanya tertarik dengan satu kalimat kecil yang tertulis di bagian bawah kertas itu:
"Tes rekomendasi akan diadakan pada akhir bulan September. Semua pelajar yang telah lulus tiga kelas dapat mengikuti tes."
"Lulus tiga kelas?" Angele membaca kembali daftar kelasnya sambil menggumam.
'Kalau begitu, aku akan mengambil kelas memanah, teknik berpedang, dan bahasa. Memanah dan berpedang sangat mudah bagiku, dan aku bisa lulus kelas bahasa dengan mudah dengan bantuan chip-ku.' Angele akhirnya membuat keputusan, dan meletakkan kembali daftar kelas itu di kantongnya.
Suasana lorong asrama masih riuh, dan terdengar suara obrolan dan tawa dari kamar itu. Angele mengambil pakaian berburu berwarna hitamnya, memeriksa barang bawaannya, dan merapikan semua barang-barang itu sebelum meninggalkan kamar. Di lorong, banyak murid saling berbincang-bincang dalam kelompok mereka masing-masing. Beberapa dari mereka bergosip tentang guru-guru dan murid terkenal, sedangkan yang lainnya mengobrol tentang baju atau perhiasan yang baru saja diimpor.
Suasana ini membuat Angele merasa sedikit terasing, namun ia terus berjalan melewati lorong asrama.
'Tempat ini sangat damai. Mungkin aku akan membutuhkan untuk membiasakan diri. Aku terlalu sering bertarung di padang rumput dulu.' Angele tidak ingin menetap terlalu lama di tempat ini, jadi tidak ada gunanya berinteraksi dengan anak-anak pedagang atau bangsawan kelas atas selama ia berada di sini.
Angele berjalan keluar dari asrama, dan ia melihat kertas bertuliskan jadwal dan lokasi setiap kelas tergantung di dinding di sampingnya. Ia mencatat semua lokasi dan jadwal kelas yang akan diambilnya, lalu ia berjalan langsung ke arah gedung belajar di belakang. Semua gedung itu berwarna putih. Lalu Angele masuk ke dalam kantin, area yang paling ramai di sekolah itu. Di sana, disuguhkan roti putih, wine, sup ikan, dan kerang goreng. Angele cepat-cepat menghabiskan makan siangnya dan kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Keesokan harinya, Angele bangun sangat pagi. Ia segera membersihkan dirinya, berganti pakaian, dan keluar dari kamarnya. Saat itu, lorong asrama sunyi senyap karena belum banyak yang bangun, namun terlihat beberapa murid berpakaian sederhana berjalan dari arah depan. Kemungkinan besar, mereka adalah anak pedagang kecil, dan mereka harus belajar sangat keras selama di sini. Angele juga belajar dengan giat, namun jarang ada anak-anak bangsawan yang serajin dirinya.
Saat Angele berjalan keluar dari gedung asrama, terlihat bahwa langit masih sangat gelap. Tempat itu masih sepi, hampir tidak ada orang berlalu-lalang. Dinginnya angin pagi menusuk tulang, ditemani oleh suara nyanyian burung.
'Kelas pertamaku hari ini adalah kelas Bahasa, yang diajarkan oleh Master Adolf. Lokasinya di Gedung 19, Ruangan 304.' Karena Angele telah menyimpan informasi kelas dalam chip-nya, sangat mudah baginya untuk menemukan gedung bertanda hitam itu.
Gedung 19 adalah gedung tiga lantai yang terletak di ujung belakang sekolah, dan hanya ada lima ruangan di setiap lantai. Di dekat pintu masuk, terdapat sebuah papan yang bertuliskan 'Bahasa' dalam bahasa Rudin dan dua bahasa lain yang tidak dikenal Angele. Tulisan pada papan itu terlihat indah, mirip seperti kaligrafi Cina di bumi.
Pagar kayu mengelilingi bangunan itu, dan di dalam pagar, ada sebuah lahan kosong. Seorang gadis muda duduk di balik meja kayu berwarna merah bertuliskan 'Pembayaran dan Registrasi' sembari menguap. Angele melihat sekelilingnya, dan menyadari bahwa hanya ada dia dan gadis itu di sana.
"Apa kau mau mendaftar ke kelas Bahasa?" Gadis berbaju merah itu masih menguap, namun ia melihat Angele berdiri di luar pagar dan memanggilnya.
"Iya. Bolehkan aku mendaftar sekarang?" Angele berjalan mendekati gadis itu dan mengambil kartu emasnya.
"Baiklah. Apakah kau anak baru? Kau tidak mengenalku?" tanya gadis itu.
"Aku baru masuk kemarin." Angele mengangguk dan memberikan kartu emasnya. Gadis itu menuliskan nomor induk, identitas Angele, dan '-20 koin emas' pada kartu itu, kemudian mengembalikan kartu tersebut kepada pemiliknya.
"Sudah lama aku tidak melihat pelajar berpakaian formal bangun sepagi ini. Namaku Sophia, anak dari Adolf Runsol, guru bahasa di sini. Masuklah, ayahku sudah ada di dalam." Sophia berkata sambil memandang Angele.
Angele tidak sempat berbincang-bincang dengan gadis itu, seakan-akan Sophie tidak mau terlalu banyak berinteraksi dengannya. Ia hanya mengangguk sebelum berjalan masuk ke gedung kecil itu.
Dinding bangunan itu berwarna putih keabu-abuan, dengan tangga di sisi kanan gedung untuk memudahkan akses ke lantai atas. Angele berjalan ke ujung lorong lantai pertama, di mana terdapat ruangan setengah terbuka bertuliskan '304', yang menunjukkan Ruang 304. Ketika memasuki ruangan itu, Angele melihat seorang pria tua berambut putih yang sedang membaca buku. Ia melihat ke arah suara langkah kaki Angele. Pria itu tidak berkata apa-apa, dan terus memandang Angele selama beberapa saat.
'Sepertinya dia adalah cendekiawan dengan rutinitas tetap yang tidak bisa diganggu gugat.' pikir Angele sembari duduk di kursi depan, menunggu dimulainya pelajaran. Setengah jam berlalu, murid-murid lain mulai datang dengan wajah mengantuk. Setelah sekitar 13 murid masuk, pria tua itu menutup bukunya dan berdiri.
"Namaku Adolf, dan aku diundang oleh pihak sekolah untuk mengajar kelas Bahasa. Mungkin beberapa dari kalian sudah mengenalku, namun anggap saja kita belum saling kenal. Aku akan mendapat uang dengan mengajari kalian, sementara kalian membayar untuk duduk di kelas ini. Ada pertanyaan?" Pria tua itu memperkenalkan diri. Raut wajahnya serius dan keras.
"Kami mengerti peraturan Anda. Mari kita mulai pelajaran hari ini." Terdengar suara dari salah satu gadis yang duduk di baris depan. Gadis itu berkulit sangat pucat seperti mayat.
"Kalau begitu, kita mulai kegiatan belajar mengajar sekarang juga." jawab Adolf tanpa berbasa-basi.
"Aku akan mengajari kalian bahasa ibu dari Kerajaan Polen, tetangga Aliansi Andes. Selain itu, aku juga kan mengajar bahasa Kerajaan Anmag Suci. Bahasa Kerajaan Anmag Suci sangat penting dan berguna. Kita menggunakannya di Marua, di ibu kota, dan berbagai kota lainnya." lanjut Adolf.
'Zero, analisa semua informasi yang berkaitan dengan bahasa.' perintah Angele sembari menatap Adolf.
'Misi selesai. Memulai analisa…' kata Zero. Di kelas itu, hanya ada sekitar 10 murid, namun Adolf tetap mengajar dengan serius. Dia membahas tentang struktur dasar kedua bahasa tersebut dan sejarah penciptaannya. Selain itu, ia juga membahas komponen dasar dari kata. Waktu berjalan sangat cepat, dan tidak terasa, kelas hampir berakhir.
"Besok lusa akan ada kelas praktek. Kelas itu tidak wajib, jadi kalian boleh datang ataupun tidak." kata Adolf dengan nada serius sebelum meninggalkan ruangan.
Setelah kelas bahasa selesai, Angele memasuki kelas berpedang dan kelas memanah. Sesuai perkiraan Angele, kedua kelas itu terlalu mudah, sehingga ini adalah kesempatannya untuk berlatih. Namun, ia menyadari bahwa kelas itu tidak berguna baginya. Teknik yang mereka ajarkan kurang praktis. Tekniknya memang terlihat keren, namun tidak berguna untuk pertarungan sesungguhnya. Teknik yang diajarkan oleh ayahnya dan Ksatria Audis jauh lebih baik ketimbang teknik yang diajarkan disini.
'Yah, setidaknya para guru itu adalah ksatria, namun kekuatan mereka masih dalam batas rata-rata.' Angele menyadari bahwa di sini ksatria adalah kaum elit yang tidak bisa ditemui sembarangan. Setelah menganalisa sekolah menggunakan chip-nya, ia menemukan bahwa orang terkuat di daerah ini hanyalah setingkat ksatria tingkat menengah. Jumlah orang sekuat calon ksatria di tempat ini hanya sedikit. Bahkan hampir tidak ada orang yang berpengalaman di pertarungan yang sesungguhnya. Orang-orang di sini hanya menyukai tarian pedang yang indah, mode, dan cerita lucu, dan mereka tidak tertarik untuk terlibat dalam peperangan sungguhan. Para siswa di sini lebih mirip dengan bunga di rumah kaca yang hidup bahagia.
'Ini adalah sekolah bagi anak orang kaya untuk membeli secarik sertifikat dan menyombongkan diri. Tidak heran jika aku hanya perlu uang untuk mendaftar ke sekolah ini.' Angele menyimpulkan. Sepuluh hari berjalan, rutinitas Angele hanya makan, tidur, dan belajar. Hanya butuh 6 hari dan 60 koin emas untuk menguasai kedua bahasa yang diajarkan Adolf. Ia berkelakuan cukup baik di kelas dan mampu menjawab semua pertanyaan dari gurunya. Menurut Adolf, Angele adalah murid yang cukup baik dan pandai.
"Jam pelajaran kita hari ini sudah selesai, datanglah ke mejaku jika ada pertanyaan." Adolf berkata kepada keenam murid yang masih ada di kelasnya. Seketika itu, Angele, yang sudah terkenal sebagai murid paling rajin di kelas bahasa, mengangkat tangannya.
"Master, saya ingin bertanya, apakah Anda mau mengajari saya bahasa lain selain kedua bahasa yang telah Anda ajarkan?" tanya Angele. Adolf adalah sosok yang sangat berpengaruh di dunia pendidikan, dan terkenal sebagai seorang poliglot terbaik di Marua karena menguasai lebih dari 10 bahasa.
"Bahasa lain? Angele, apakah kedua bahasa yang telah kuajarkan masih kurang?" tanya Adolf sembari mengernyitkan alisnya.
"Yah…" Sebelum Angele sempat berbicara, beberapa pelajar lain mengerubuti Adolf dan menanyakan berbagai pertanyaan dasar. Jelas sekali bahwa mereka sedang menjilat Adolf. Angele hanya duduk dan menggelengkan kepala, dan menunggu semua murid itu selesai berbicara.
Kesabaran Adolf sudah nyaris habis, namun akhirnya perbincangan dengan para murid itu selesai. Dia melihat Angele, yang masih menunggu di kelas.
"Apa lagi yang ingin kau pelajari, Angele?" Adolf sangat senang kepada Angele, jadi ia mengingat nama muridnya itu.
"Kau masih belum menguasai kedua bahasa yang telah kuajarkan. Jangan serakah." lanjutnya.
"Master, bahasa apa yang harus saya kuasai untuk masuk ke Sekolah Aliansi Andes?" Angele berdiri dan bertanya.
"Syarat kemampuan bahasa untuk masuk Sekolah Aliansi? Apa yang ingin kau lakukan setelah masuk ke sana? Sekolah itu hanya tempat untuk orang-orang kaya." jawab Adolf sembari menatap Angele.
'Peringatan! Peringatan! Sosok di depan Anda sedang menggunakan medan magnetik yang tidak dikenal untuk membaca pikiran Anda.' Sebelum Angele sempat menjawab, tiba-tiba, laporan Zero terdengar.