webnovel

Drugs + Love = Addicted

Mature content (21+) Jenna Jameson dinyatakan menderita anemia aplastik, yang membuat dirinya sering bertemu dengan Dokter Ryan Karl, hingga secara tak sengaja terlibat cinta terlarang yang tidak seharusnya terjadi di antara mereka. Pada mulanya Jenna tak mengetahui bahwa Ryan ternyata adalah pria beristri. Hingga kepulangan Hellen Duncan-Karl, istri Ryan, menyadarkan Jenna bahwa dirinya dan Ryan tak akan pernah bisa bersatu. Jenna kemudian memutuskan untuk menerima pinangan Blake Gillian, mantan kekasihnya di masa lalu yang kembali hanya demi bisa menjalin kembali kisah cinta yang sempat terputus. Ketika Jenna dan Ryan telah memilih untuk melanjutkan hidup masing-masing, takdir justru seolah membuat lelucon. Secara kebetulan Ryan-Hellen dan Jenna-Blake berlibur ke tempat yang sama, sekaligus Dokter John Armando, yang merupakan sahabat Hellen sejak kecil, yang ternyata merupakan selingkuhan Hellen. Ditambah keterlibatan Clara—sahabat Jenna, membuat kisah cinta semakin rumit. Akankah cinta menemukan jalan pulang yang benar, jika cinta tak lagi cinta? Terlebih jika didominasi obsesi yang selayaknya candu, yang pada akhirnya memorak porandakan cinta yang dibangun dan dipupuk dengan tulus. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan pada akhirnya? - Drugs + Love = Addicted - Reach me on IG: @kennie_r89 Vectorist: A_Nzee IG: @a_nzee

Kennie_Re · 都市
レビュー数が足りません
390 Chs

Sirenize

Aku duduk di sebuah bangku taman yang berada di belakang klinik. Dari depan yang tampak memang klinik kecil dengan pemandangan jalan raya, di mana kendaraan dan manusia yang berlalu lalang. Namun di halaman belakang ternyata lebih luas dari yang kubayangkan.

 

Aku sempat merasa ragu saat Dokter Karl mengatakan untuk berjalan-jalan di taman belakang jika merasa bosan.

 

Taman yang cukup luas, dengan beberapa pasien yang sedang berjemur ditemani anggota keluarga mereka, seorang kecil duduk di atas kursi roda, lalu ada juga seorang wanita sedang menggendong bayi yang masih merah. Pemandangan itu lumayan membuatku sedikit lebih tenang. Tidak lagi merasa sendiri.

 

Seorang wanita setengah baya kemudian mendekat dan duduk tepat d sampingku. Ia menoleh dan menelisik penampilanku. Baju pasien, kulit pucat—yang sudah terlihat lebih segar dibanding beberapa hari lalu, rambut panjang yang mulai menipis entah karena efek penyakitku ataukah karena jarang tersentuh sisir. Mirip seperti orang gila. Aku menoleh padanya, menyunggingkan senyum sekedar untuk beramah-tamah—meski hatiku sebenarnya enggan.

 

"Apakah kau sedang sakit?" tanya wanita itu setelah memastikan bahwa aku orang yang waras. Aku mengangguk.

 

"Berapa usiamu?" tanyanya lagi.

 

"Dua puluh dua tahun." Kupaksakan tersenyum yang dibalasnya dengan hal yang sama.

 

"Kau seusia dengan cucuku. Sungguh. Itu dia, baru saja melahirkan bayi perempuan yang cantik." Wanita itu tersenyum menunjuk ke arah wanita yang bermandi sinar matahari sambil menggendong bayi. Aku hanya membulatkan bibir.

 

"Suaminya pasti sangat beruntung memiliki istri seantik cucumu," ucapku, tanpa mengalihkan pandangan dari gadis itu. Wanita tua itu mendesah.

 

"Seharusnya. Namun sayang pria bejat itu tak mau bertanggung jawab. Kami kini sedang mencari orang yang berminat untuk mengadopsi bayi dari cucuku. Kami sudah mendaftarkannya pada dinas sosial, hanya tinggal menunggu apakah ada seseorang yang berniat untuk mengambil bayi itu."

 

Aku menoleh pada wanita itu kemudian pada cucunya bergantian. Malang sekali nasib bayi itu. Andai saja ibunya bersedia untuk merawat sendiri, bukankah akan lebih baik?

 

"Uhm, maaf sebelumnya. Mengapa kalian ingin bayi itu diadopsi? Bukankah cucumu sudah cukup umur untuk memiliki bayi dan merawatnya?"

 

Raut wajahnya berubah, alisnya bertaut terlihat kesal.

 

"Kami penganut agama yang taat, seharusnya tak boleh terjadi semacam ini. Tak boleh ada bayi di luar pernikahan yang masuk dalam keluarga kami," tukasnya tajam.

 

"Tapi bayi itu tidak berdosa, Nyonya. Ia punya hak untuk merasakan kasih sayang dari ibunya, bukan?! Jika ingin menghukum, maka hukumlah cucumu. Namun izinkan bayi malang itu tetap tinggal dengan ibunya. Lihatlah! Cucumu terlihat sangat menyayangi bayinya." Aku kembali memandangi gadis itu. Kini ia mengecup kening bayi dalam gendongannya, sesekali mengusap pucuk kepalanya.

 

Wanita itu mengikuti arah mataku. Ia menyaksikan sendiri bagaimana cucunya itu memberi sentuhan penuh kasih pada bayinya.

 

"Ia juga akan sangat sedih jika kau memisahkannya dari bayi itu."

 

Wanita itu menoleh padaku kali ini. Ada perasaan kesal yang terlihat pada manik matanya. Ia lalu bangkit, dengan berkacak pinggang mulai memakiku.

 

"Memangnya kau tahu apa? Apakah kau pernah merasakan berada dalam kondisi seperti kami?" ketusnya. Aku mengangkat kedua tangan berusaha menenangkannya. Namun bukannya tenang ia justru makin mengamuk. Aku tak mengerti apakah perkataanku begitu mengesalkan hingga membuat wanita itu marah.

 

Beruntung beberapa perawat segera menghampiriku dan menenangkan wanita itu. Membawanya menjauh entah ke mana. Aku mengurut dada, sepeninggal mereka. Kemudian kembali ke atas kursi roda dan mendorongnya kembali ke kamar.

 

***

 

Sesampainya di kamar, tanpa memedulikan rasa sakit di tubuh, dengan cepat aku bangkit dan berbaring di atas ranjang. Berniat mencari angin dan membunuh kebosanan, justru membuatku terkena masalah. Semoga saja wanita itu tidak dendam padaku. Sekali lagi aku mendesah lega.

 

Memikirkan kembali pembicaraanku dengan wanita itu. Masuk akal apa yang mereka alami, juga yang ia rasakan. Andai aku berada di posisi wanita itu, lantas apa yang harus kulakukan?

 

Tak berapa lama pintu kamar terbuka tiba-tiba disusul kedatangan Dokter Karl yang masuk dengan tergesa—membuyarkan lamunanku tentang kejadian tadi.

 

"Jenna? Kau tidak apa-apa?" Ia memindai kondisiku mulai ujung rambut hingga kaki. "Apakah kau terluka?"

 

Aku menatap pria itu dengan tatapan heran. "Kau ini kenapa?" tanyaku sembari menyunggingkan senyum, geli melihat gelagatnya yang terlihat lucu jika panik seperti yang baru saja ia lakukan.

 

"Aku serius, apakah kau baik-baik saja?" tanya pria itu lagi. Aku mengangguk.

 

"Seperti yang kau lihat. Tidak kurang suatu apa pun, kecuali ...," Aku kembali mengingat wanita tua yang baru saja mengamuk, membuatku bergidik.

 

Dokter Karl terlihat menanti kalimat yang sengaja kugantung.

 

"Kecuali jantungku. Rasanya mau copot!" Gelakku. Aku tertawa lepas. Antara ngeri dan lucu mengingat kejadian yang baru saja kualami. Benar-benar luar biasa.

 

Pria itu membanting pantatnya di atas kursi di samping ranjangku. Ia mendesah lega saat melihatku tertawa puas seperti ini.

 

"Kupikir terjadi sesuatu padamu. Aku segera berlari ke sini saat perawat mengabari. Syukurlah kau baik-baik saja." Ia menyandarkan kepala pada sandaran kursi.

 

"Memangnya kenapa jika terjadi sesuatu padaku?" tanyaku.

 

Oke, Jenna, kau kini mulai berani memancing Dokter tampan itu. Jawaban apa yang kuharapkan darinya, huh?

 

"Uhm ... tentu saja, i-itu ...." Ia tergagap menjawab pertanyaanku. Matanya terlihat gelisah, melirik kanan dan kiri seolah memastikan tak akan ada yang melihat dan mendengar apa yang akan ia ucapkan. Aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya yang mirip seperti anak remaja yang hendak mengungkapkan perasaan pada orang yang disukainya.

 

"Kenapa, Ryan? Tak ada seorang pun di sini. Dan aku akan merahasiakan apa yang kau katakan," godaku sembari mengulum senyum.

 

Ia mendehem. Dan bukan menjawab pertanyaanku, justru bangkit dan hendak bergegas pergi.

 

"Baiklah jika kau baik-baik saja. Aku ada di ruangan jika kau membutuhkanku," ucapnya menyembunyikan kilat matanya dibalik kacamata. Kuraih lengannya demi menahan kepergian pria itu.

 

"Jangan terburu-buru, Dok. Apakah kau tidak ingin menjawab apa yang baru saja kutanyakan?" kerlingku nakal.

 

'Hey, Jenna! Sejak kapan kau bersikap seperti jalang?"

 

Aku terbahak kemudian, berusaha menutupi rasa canggung yang tiba-tiba menyerang. Benar juga, sejak kapan aku menjadi berani bersikap nakal pada Dokter Karl. Ini tidak boleh terjadi.

 

"Maaf, Dok. Aku hanya bercanda. Silakan, kau bisa kembali ke ruanganmu," ucapku, kikuk. Ia mengangguk kemudian berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu. Sementara aku, tersenyum sendiri mengingat wajah tampan Dokter Karl yang beberapa hari ini selalu muncul di kamarku, juga di mimpiku.

 

Ada apa denganku? Mengapa aku mendadak menjadi seperti orang gila begini? Seperti terlalu cepat memberi ijin kepada hatiku untuk mengagumi Dokter itu. Aku bahkan tak tahu asal-usul dan latar belakangnya, terlebih kehidupan pribadinya yang seolah ia sembunyikan dari lainnya. Namun, entah mengapa perasaan ini terasa berbeda dari sebelumnya.

 

Oh, tidak!

 

Aku membanting tubuhku ke atas ranjang. Mendesah putus asa. Apakah aku jadi seperti ini karena tak mendapat respons yang berarti dari Blake? Apakah ini berarti aku menyukai dokter itu? Rasanya tak mungkin, tapi tak bisa kuungkiri apa yang kurasakan ini sangat berbeda. Hampir mirip dengan apa yang kurasakan pada Blake, tapi ini lebih ... Ah, entahlah! Sebaiknya aku tidur. Apalagi obat yang tadi kutenggak membuatku sedikit mengantuk.

 

Aku ingin memastikan apakah nanti setelah aku terbangun dari tidur, perasaan itu masih ada. Ataukah akan melayang bersama hilangnya kantukku.

 

***