webnovel

Drugs + Love = Addicted

Mature content (21+) Jenna Jameson dinyatakan menderita anemia aplastik, yang membuat dirinya sering bertemu dengan Dokter Ryan Karl, hingga secara tak sengaja terlibat cinta terlarang yang tidak seharusnya terjadi di antara mereka. Pada mulanya Jenna tak mengetahui bahwa Ryan ternyata adalah pria beristri. Hingga kepulangan Hellen Duncan-Karl, istri Ryan, menyadarkan Jenna bahwa dirinya dan Ryan tak akan pernah bisa bersatu. Jenna kemudian memutuskan untuk menerima pinangan Blake Gillian, mantan kekasihnya di masa lalu yang kembali hanya demi bisa menjalin kembali kisah cinta yang sempat terputus. Ketika Jenna dan Ryan telah memilih untuk melanjutkan hidup masing-masing, takdir justru seolah membuat lelucon. Secara kebetulan Ryan-Hellen dan Jenna-Blake berlibur ke tempat yang sama, sekaligus Dokter John Armando, yang merupakan sahabat Hellen sejak kecil, yang ternyata merupakan selingkuhan Hellen. Ditambah keterlibatan Clara—sahabat Jenna, membuat kisah cinta semakin rumit. Akankah cinta menemukan jalan pulang yang benar, jika cinta tak lagi cinta? Terlebih jika didominasi obsesi yang selayaknya candu, yang pada akhirnya memorak porandakan cinta yang dibangun dan dipupuk dengan tulus. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan pada akhirnya? - Drugs + Love = Addicted - Reach me on IG: @kennie_r89 Vectorist: A_Nzee IG: @a_nzee

Kennie_Re · 都市
レビュー数が足りません
390 Chs

Ethical Code

Hari ini aku duduk di sebuah ruangan yang dari luar tampak tulisan 'dr. Ryan Karl'. Dokter itu sudah mewanti-wanti agar aku tidak melupakan obat dan istirahat. Lalu tak lupa menjadwalkan pemeriksaan lagi untuk memastikan kondisiku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku menanti Dokter Karl sampai selesai membaca hasil tes darah milikku yang kini sedang ada di tangannya. Pria itu mengangguk-angguk.

"Untuk saat ini kondisimu sudah jauh lebih baik. Hasil tes menunjukkan semua normal. Berarti kau melakukan apa yang kuperintahkan. makan teratur, istirahat dan—"

"Minum obat. Aku tahu dan sudah melakukannya. Jadi, karena sekarang kondisiku sudah membaik, aku tak perlu mendapat obat dan multivitamin itu lagi, bukan?" tawarku. Dokter Karl membenarkan kacamatanya.

"Kita berharap penyakitmu ini tidak akan kambuh. Jika sampai terjadi lagi, dengan terpaksa kita harus melakukan tes lain. Aku memiliki kecurigaan mengenai kondisimu, tapi untuk saat ini kukatakan, kita bisa bernafas lega."

"Syukurlah ...." Aku memakai kembali jaket yang sejak tadi hanya kutenteng saja. Entah mengapa aku mendadak merasa kedinginan. Dokter Karl memandangku dengan tatapan menyelidik.

"Kau ... Apa kau merasa kedinginan?" tanya pria itu menyelidik, melihat gerkaan tubuh yang tak beraturan. Aku mengangguk sembari merapatkan jaket yang sudah melekat di tubuhku. Pria itu memakai stetoskopnya, kembali memeriksa detak jantung dan nadiku.

"Oh, please... Baru saja aku senang tak harus mengkonsumsi obat-obatan besar itu. Sekarang apa?" keluhku yang tak segera dijawab oleh Dokter itu. "Dokter Karl, please... Jawab aku!"

"Aku belum bisa mengambil kesimpulan untuk ini, Jenna. Begini saja, aku akan tetap memberi resep untuk multivitamin, jika kau merasa kondisimu menurun, tolong konsumsi dengan teratur." Pria itu menggoreskan pulpen-nya di atas kertas resep kemudian merobek dan menyerahkan padaku. Dengan ragu kuterima selembar kertas dari tangannya. Aku bangkit dan hendak beranjak saat pria itu memanggil namaku. Aku berbalik.

"Jaga kesehatanmu. Jika benar seperti dugaanku, tak ada obat apa pun yang bisa memberi kesembuhan padamu."

Aku berusaha mengartikan kalimat yang diucapkannya, tapi tetap saja untuk saat ini otakku sedang tak bisa diajak berkompromi. Aku butuh beristirahat sebentar saja.

Please, jangan lagi... Jangan disini...

***

Aku sengaja tidak memberi kabar pada Clara atau pun Blake. Dari kedua orang itu, hanya Clara yang tak henti menghubungi. Dia kini bersikap seperti nenekku, melarang ini dan itu, menyuruhku makan dan mengkonsumsi apa saja yang menurutnya bisa membuat kondisiku membaik.

Namun di mana Blake? Sejak terakhir kali datang ke rumahku, ia tak pernah lagi menghubungi. Dan aku sendiri tak mampu berhenti memikirannya. Ada apa denganku?

Aku menghela nafas berat. Sebelumnya aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini pada siapa pun. Apakah ini karena secara tak sadar aku berharap dapat menjalin hubungan lagi dengannya? Memperbaiki yang pernah terjadi di masa lalu, menjadikannya lebih baik. Ataukah ini hanya karena aku merasa kesepian? Sudah beberapa hari ini hanya tergolek di ranjang atau sofa. Bahkan untuk sekedar berjalan ke dapur saja sudah menyiksa bagiku.

Aku kembali menatap layar yang gelap. Menekan tombol kunci untuk melihat lagi dan memastikan Blake benar-benar tak mengirimkan pesan atau panggilan. Dan... nihil.

Sudahlah...

Aku berjalan gontai menuju kelas. Entahlah sudah berapa menit yang terlewat, aku tak perduli. Aku tetap memasakan diri untuk mengikuti kelas meskipun sangat terlambat.

Kuketuk pintu sebanyak tiga kali kemudian membukanya dan langsung masuk.

"Maafkan, saya terlambat," ucapku lesu tanpa menoleh pada pria yang sedang berdiri di depan kelas. Tetap melangkah mencari bangku yang kosong. Sialnya, tak ada bangku kosong kecuali satu, terletak di barisan depan.

Baiklah, anggap saja aku sedang sial. Dengan tubuh yag masih lemah, aku meletakkan tas kemudian duduk di tempat itu. Langkah kaki Dokter Karl terdengar mendekat dan berhenti tepat di depan bangkuku.

"Bagaimana kondisimu?" tanya pria itu. Meski berusaha menyembunyikan raut cemas, aku dapat melihatnya dengan jelas.

"Oh, ayolah, Dok. Jangan bahas itu sekarang," bisikku. Aku tak ingin ada seorang pun mendengar apa pun tentang kondisiku beberapa waktu terakhir ini. Aku sendiri merasa keadaan ini menyebalkan. Jika ada yang tahu, mereka akan mengasihani dan mungkin akan memperlakukanku seperti Tuan Putri.

"Ini penting, Jenna. Kau masih terlihat pucat. Mengapa tidak istirahat di rumah saja? Aku bisa membuatkan surat izin lagi."

Aku memutar bola mata diam-diam. Apa-apaan ini? Orang ini bertingkah seolah ia Ayahku sekarang. Aku mendesah kesal.

"Oke kalau begitu. Temui aku di kafetaria setelah kelas." Pria itu brubah dingin, berbalik dan kembali ke depan kelas. Sementara aku berusaha mengembalikan konsentrasi dan fokus yang terpecah karena kedatangan pria itu beberapa menit yang lalu.

Tidak mengikuti kelas selama beberapa hari membuatku kesulitan memahami penjelasan Dosen. Terlebih jika harus mengejar ketertinggalan, entah bagaimana caranya. Tidak mungkin mengikuti kelas privat yang didakan beberapa mahasiswa terpandai di kelas. Aku sudah kehilangan semangat belajar karena tak mampu menyamai kemampuan teman yang lain.

Aku mengemasi buku dan peralatan tulis lainnya lalu memasukkan ke dalam tas. Baru mengikuti selama tiga puluh menit, perkuliahan sudah berakhir. Aku bangkit dan memakai tas ransel, kemudian menepuk-nepuk celana Jeans-ku sebelum keluar dari kelas. Dokter Karl sudah lebih dahulu meninggalkan ruang kelas. Mungkin ia sekarang sedang menunggu di kafetaria. Apa yang hendak dikatakan pria itu? Mengapa memintaku untuk menemuinya?

***

Dokter tampan itu sudah duduk manis di sebuah tempat, persis di dekat jendela besar saat aku tiba di kafetaria. Aku menuju meja pemesanan, dan tak lama semangkuk sup daging dan salad sayuran sudah tersaji di atas nampan di hadapanku, kemudian bergegas menuju ke meja dimana ia duduk dan sedang menghirup kopinya. Aku duduk tepat di seberang, berhadapan dengannya, menatap tajam manik mata dibalik kacamata itu. Iris kelabu itu membalas tatapanku. Tanpa kata.

Dari sini terlihat pemandangan di bawah yang tampak kecil. kendaraan yang berlalu-lalang, juga atap-atap gedung yang tingginya mungkin sejajar dengan tempat kami sekarang. Aku menikmati apa yang tersaji di depan mataku, sebelum kemudian menoleh pada pria yang duduk tenang tepat di hadapanku.

"Kenapa memintaku bertemu secara private seperti ini? tanyaku tanpa tedeng aling-aling. Ia meletakkan gelasnya.

"Kau tidak menghormatiku dengan bicara seperti itu padaku." Ia kini menatapku lebih tajam. Andaikan mata dapat berbicara, mungkin saat in ia sudah membanjiriku dengan umpatan. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya, aku bisa membaca itu.

"Kau juga tidak menjaga privasi pasien dengan menyebutkan kondisiku di depan mahasiswa lain. Apakah aku salah bicara, Dokter Ryan Karl?"

"Kau bisa menyampaikannya nanti setelah kelas."

"Begitu pun dirimu, bisa menanyakan kondisiku dalam suasana yang kasual seperti ini daripada menanyakannya langsung di depan teman-temanku."

Aku masih menatap ke dalam matanya. Tak ingin kalah akan sikapnya yang mengintimidasi mentalku. Ia kemudian mendesah pasrah. Mungkin mengakui bahwa dirinya salah dan kalah.

"Maafkan aku. A-aku hanya... Aku cemas akan kondisimu," ucapnya kemudian. Ia mengakui kesalahannya, sementara aku masih memelihara ego dan tak ingin mengakui bahwa aku pun telah melakukan kesalahan.

Aku tak ingin melanjutkan pembicaraan apa pun jika itu akhirnya merusak mood makanku. Kejadian di kelas tadi terus terang membuatku merasa tak nyaman dan terkekang. Tidak tahukah ia bahwa aku berjuang setengah mati untuk bisa bertahan di tempat ini? Dan hanya karena penyakit biasa lalu ia membuatku kembali di posisiku sebelumnya, menjadi mahasiswa yang terbelakang dibanding lainnya.

Ia yang tak mengerti perjuanganku justru mengacaukannya begitu saja. Aku tidak membutuhkan surat izin atau apa pun lagi karena itu hanya membuatku jauh tertinggal. Yang kubutuhkan adalah obat yang bisa membuat kondisiku membaik, dan tidak dikekang hanya karena penyakit apa... Anemia? penyakit yang bisa disembuhkan cukup dengan multivitamin.

Yang benar saja...

Aku segera menyantap makanan yang telah kupesan tanpa Banyak berbicara. Sepertinya itu yang juga dilakukan oleh Dokter Karl. Ia mengambil gelasnya kemudian bangkit dan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kubiarkan tubuhnya menjauh, sementara aku tetap pada posisiku sekarang. Tak menoleh sedikit pun sekedar untuk melihat kepergiannya.

***