webnovel

3

Deras nya hujan menghentikan langkah ku, perjalanan ku menuju coffee shop yang berjarak dua kilometer dari halte bus ini harus terhenti karena hujan. Alhasil sepatu Corto Moltedo ku basah, setengah dari rok yang ku pakai sudah penuh dengan air hujan, coat yang ku pakai tidak lagi membuat ku hangat karna telah terhuni oleh jutaan air hujan yang sangat dingin. Tidak pernah ku duga hujan menjadi hal yang cukup menjengkelkan untuk ku.

Payung!

Aku baru sadar tanganku tidak sedang memegang sebuah payung yang seharusnya aku pegang. "Sial! Bodoamat deh." dengan pemikiran sempit dan tekad yang membulat, ku selempangkan tas "Queen of Couture"-ku miring ke bahu dan melangkah meninggalkan halte menembus deras nya hujan, aku tidak peduli akan basah kuyup, lagi pula setengah dari tubuh ku sudah basah.

Aku sibuk mengurusi wajah dan rambutku yang mungkin saja berubah bentuk karna terpaan hujan saat seseorang menepuk pundak ku di tengah hujan, tangannya terasa sangat lah dingin. Sama seperti seseorang yang pernah ku miliki, tangannya juga sedingin ini.

Aku menoleh ke arah tangan itu, seorang pria bercelana jeans berwarna sama seperti langit hari ini dengan kemeja putih casual berdiri di hadapan ku wajahnya setengah tertutupi oleh rambut hitamnya yang basah, tapi aku tetap bisa melihat mata bulat itu dan senyum manis yang dia tunjukan dihadapan ku. "Maaf sebelumnya, tapi aku rasa ini milikmu, tertinggal di dalam bus."

"Oh.. Maaf, makasih ya." aku tertegun sejenak karna cara bicaranya yang klasik.

Saat aku hendak mengambil payung ku darinya, tangan dingin nya dengan lembut meraih tangan ku dan menarik ku berlari bersama nya melewati hujan. Aku hanya bisa mengikuti dia berlari sampai di coffee shop yang ku tuju.

Dia melepas tangan ku dan menggosok kan kedua tangan nya, pasti dia kedinginan. "Maaf, saya harus pergi. Ada yang nunggu saya. Sekali lagi makasih ya." ucap ku, lalu dengan segera ingin meninggalkan nya.

Semoga saja dia tidak benar-benar melihat wajah ku. Hujan. That's right! Make up ku pasti sudah luntur terhapus oleh tetesan air hujan yang dengan sadis nya terjatuh di wajah ku saat aku berlari menembus hujan tadi. Sial. Aku wanita normal, ada pria tampan di depan ku dan wajah ku begini. Lebih baik pergi atau kesan pertama hancur. Right? Dia hanya melihat ku sekilas dan tersenyum.

Aku pun berlalu meninggal kan pria itu dan masuk menuju coffee shop. Ku lihat seluruh ruangan ini mencari secercah harapan akan ada tempat duduk yang kosong. Lalu sebuah harapan itu muncul, ada meja yang kosong, meja paling ujung dekat dengan kaca yang menghadap ke jalan. Tanpa berfikir panjang aku duduk di kursi yang paling dekat dengan kaca jendela. Seorang pelayan pria datang menghampiri ku, dia memberikan menu yang menurut ku terbilang cukup lucu untuk sebuah coffee shop bergaya vintage seperti ini.

"Ice cappucino jelly with float nya satu ya."

"Baik." kata si pelayan itu dan berlalu, meninggalkan ku.

Suasana teduh dan nyaman coffee shop ini tetap sama sejak dua tahun ku tinggalkan. Tak ada yang berubah, hanya pelayan-pelayannya saja yang sudah tidak sama. Dulu aku bisa menghabiskan empat sampai lima jam disini untuk menulis novel atau sekedar duduk memperhatikan hujan turun. Seperti sekarang. Duduk dan menunggu sesuatu. Menunggu hujan berhenti atau menunggu pelangi muncul atau menunggu keringnya sisa-sisa air hujan di jalanan atau mungkin menunggu cinta pertama ku kembali, entah apa yang ku tunggu disini. Jika ada sebuah piala untuk kategori manusia paling sering menunggu. Mungkin aku sudah memilki piala itu berjejer di dinding kamar ku. Dan aku pastinya sudah datang ke setiap kampus-kampus untuk memberikan motivasi pada para masasiswa/i sebagai tokoh 'Menunggu' yang paling menginspirasi masyarakat luas.

Ku ambil ponsel di dalam tas dan mengetik sebuah nama pada papan tombolnya. Rosalina. Ah dapat! Segera saja aku menekan tombol -panggil-

"Halo, kenapa Nes? Lo udah nyampe?" Suara nyaring cempreng dari ujung sana berteriak dengan cukup kencang ditelinga ku.

"Udah dari tadi Sa, lo udah sampe mana? Udah setengah jam nih gua nunggu disini."

"Sorry Nes sorry, bentar lagi juga nyampe kok. Mobil gua kejebak macet tadi tapi bentar lagi udah mau sampe kok."

"Oke.. Gua tunggu ya."

"Sip sip."

Dasar gadis itu. Kenapa selalu saja lambat, ku aduk lagi ice cappucino ku yang warnanya tidak lagi sama, aku sudah tidak punya nafsu lagi untuk meminumnya, sudah terlalu banyak ice cappucino yang masuk kelambung ku sore ini karna menunggu mereka. Pandangan ku kembali kepada hujan yang masih dengan indahnya turun ke bumi ini. "Cantik."

"Aku rasa wanita yang sedang menatapnya lebih cantik." suara pria yang tadi.

Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Benar saja, dia duduk tepat dibelakangku. Pria itu menatapku, tapi kali ini tidak ada senyuman diwajahnya. Aku tidak tahu, ekspresinya sangat dingin. Aku hanya bisa terpaku menatap matanya itu, sangat menakutkan, tiba-tiba saja seluruh tubuhku membeku dibuatnya.

"Apa aku boleh duduk disana, denganmu?" dia tersenyum. "Aku meragukan perkataanmu tentang 'ada yang nunggu saya'". Dia mengangkat cangkir kopi di hadapannya dan menatap ke luar.

Aku masih saja diam di tempat, mencoba mencerna perkataannya barusan.

"Nessa!! Duh temen gua yang satu ini udah lama banget yaaa nunggu nya." teriak Rosa dari pintu masuk coffee shop. Tuhan, kenapa dia harus berteriak.

"Sorry ya Nes, gua ga maksud ko, lo marah ya sama gua?" Aku-bukannya-marah-lagi-tapi-emosi. "Pasti bosen banget ya nunggunya." gadis itu berlari dengan sangat lucu.

Rosalina Jennifer Anindita. Sahabat ku sejak aku duduk di bangku 1 SMK, dengan tubuhnya yang cukup mini dan suara seperti anak kecil —well, sikapnya juga benar-benar seperti anak kecil (sebenarnya lebih seperti princess syndrome)— juga kulit putih pucat dan rambut panjang bergelombangnya membuat Rosa terlihat sempurna di mata ku.

"Engga ko Sa, tenang aja.. Gua gak bosen ko. Gua dari tadi nikmatin pemandangan—ngeles—lo gak liat? Hujan nya cantik." Aku tersenyum semanis mungkin agar tak menambah masalah jika dia tau aku sudah hampir mati bosan disini.

"Untung aja hujan, jadi lo gak bosen nunggu kita." Kalo-bukan-karna-hujan-aku-udah-pulang-dari-tadi-tau.

"Yaudah pesen gih." perintah ku pada dua sahabat ku.

"Nes? By the way, baju lo basah? Lo main-main hujan lagi? Astaga Nessa! Harus berapa kali gua kasih tau, gak baik main hujan buat mental lo. Kalo lo sampe beneran berubah jadi psycho kan gua sama Rosa yang bahaya." Kini Lista yang mulai berteriak.

Eunice Chalista Ashley. Sama kaya Rosa, Lista udah jadi sahabat ku sejak aku 1 SMK. Sebenarnya kita berempat, tapi Ellise hengkang dari group sejak 1 tahun kita debut –jadi sahabat maksud ku–. Lista memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Rosa dengan beberapa bagian tubuhnya yang cukup berisi. Dia adalah anggota paling sehat dari kita bertiga, meskipun takaran makan Lista dan aku hampir sama tapi tubuh Lista memproses makanan lebih baik dari tubuh ku. Soal urusan pelajaran, well dia juga ada diperingkat pertama dari kita bertiga. Lista adalah sosok sahabat sempurna untuk ku dan Rosa, dia ramah, lemah lembut, pengertian, dewasa, pintar, dia selalu dalam posisi netral setiap ada permasalahan di antara kita bertiga.

"Enggak kok Ta, gua gak main hujan. Tadi pas dari halte gua nembus hujan nya buat kesini." sanggah ku secepat mungkin agar dia tak memikirkan hal-hal aneh imajinatif dalam otak besarnya itu.

"Oh.. Kirain gituh lo kumat terus main-main hujan kaya anak umur 10 tahun." kami pun tertawa mengingat kelakuan aneh ku bermain hujan.

Nessa Aubrey Rain. Itulah nama lengkap ku. Tinggi 168, berat 52, kulit putih biasa saja dengan wajah dan rambut yang juga biasa saja. Potongan rambutku sedang, melewati bagian bahu sekitar 7-8cm berwarna black-blue yang ku ganti bulan lalu dari warna pink prada yang sangat terlihat lezat. Untuk urusan otak, Lista dan Rosa selalu saja yakin dan percaya kalau aku itu sebenarnya pintar. Mungkin mereka benar, aku mungkin memang benar-benar pintar seperti yang mereka pikirkan, gadis pintar tapi pemalas lebih tepatnya. Aku cinta banget sama hujan, entah kenapa.

"Btw, ngobrol sama siapa tadi?" tanya Lista padaku saat dia masih sibuk dengan buku menu dihadapannya.

"Siapa? Gak ada." sangkalku secepat kilat. Apa pria itu masih ada. Rasanya aku ingin sekali menoleh ke belakang.

"Cowok yang tadi di belakang lo, gua liat lo berdua kaya lagi ngobrol."

"Ah, engga itu tadi dia, itu, minta tukeran uang receh, iya, tadi dia minta tukeran uang receh." panik, sepertinya terlihat jelas aku sedang mengarang bebas.

"Uang receh?" tanya Rosa dengan mata yang menyelidiki.

"Eh, gimana sama si mantan? Bukannya lo mau cari dia." Lista mengganti topik.

"Duh! Iya bener mantan, gimana? Jadi kan? Nanti kita bantuin, ya kan Ta?"

Here we go again.

"Iya. Kalo soal nyari doi sih, gua masih sanggup ko." Seru Lista semangat.

"Gatau deh." Ucap ku. Lista dan Rosa tersentak. "Gua bingung. Kalo udah ketemu terus mau ngapain?"

"Ya ngapain gitu Nes." Rosa berusaha "Basa-basi kan bisa. Kalo ujung-ujungnya ngajak balikan kan bagus. Ya gak? Lagian ya Nes, tujuan lo balik ke Indonesia emang buat apa? Cari dia kan?" Paksa Rosa.

"Iya sih, tapi 2 bulan gua di sini. Tiba-tiba aja niat gua buat ketemu dia jadi hilang." Liar.

"Duh gak ada tapi-tapian Nes, pokoknya lo harus ketemu dia. Buat dia nyesel ninggalin lo dulu." Sahut Lista dengan nada yang tak kalah menggebu-gebu.

"Ta, berapa kali harus gua ceritain. Gua yang pergi bukan dia yang ninggalin gua. Dia tau ko Ta gua pergi, gua putus baik-baik sama dia."

"Tapi Nes, kalo emang lo putus baik-baik kenapa dia gak dateng aja. Kenapa gaada yang dia lakuin. Bahkan untuk sekedar kasih ucapan selamat tinggal aja enggak. Lo inget kan berapa lama kita nunggu dia di bandara waktu itu. Dan keributan gak jelas yang terjadi karna dia gak dateng." raut wajah Lista kini berubah semakin serius.