webnovel

15

Kuliah hari ini penuh tugas, pola, jahit, esensi design. God! Sudah lewat jam makan siangku, sekarang sudah setengah lima sore. Makan apa aku hari ini? Jadi ingin spaghetti? mie ayam di ujung jalan juga enak? Ah, lebih baik mie instan saja. Alternatif terbaik. Aku sedang sibuk mencari kunci gerbang saat seseorang memanggilku.

"Ssa?" suara itu, Ibam?

"Ibam?" aku menoleh dan medapatkan pria itu berdiri tepat dibelakangku.

"Hey, baru pulang?" dia tersenyum. Apa-apaan ini! hey! Aku masih canggung denganmu karna kejadian waktu itu.

"Eh, iya."

Aku diam.

"Aku ga disuruh masuk nih?" tanyanya.

"Masuk? Oh iya masuk-masuk." APAAAA? MASUK?! Apa dia sudah gila. Maksudku, apa aku sudah gila.

Aku membuka kunci gerbang dan masuk kedalam rumah bersamanya.

"Duduk dulu, mau minum apaa?" basa-basi-busuk.

"RB-Float ada?"

"Ha? Eng- gaada Bam, adanya susu sama cola mau?" gila apa dia, sana pergi ke A.W kalo ingin RB-Float.

"Cola deh,"

"Yaudah tunggu ya." jawabku sambil berbalik menuju dapur.

"Iya, ga sampai 2 tahun kan?"

"Ha?"

"Becanda ko becanda, udah sana kedapur."

"Iya, eh ko aku disuruh-suruh sih?" jawabku, dia sedang menahan tawanya. Aku tahu.

"Tapi emang mau ke dapur kan?" dia sudah tersenyum lebar sekarang. Menyebalkan.

"Ya iya si..."

"Udah gausah di jawab lagi, sana."

Yasudah! Aku pergi berlalu menuju dapur, mencari sisa-sisa cola di sana. Dapat. Dua botol, bisa aku akali dengan menggunakan gelas ukuran sedang. Kucari-cari gelas ukuran sedang di lemari piringku, tak ada. Apa masih ada di kamarku? Aku kembali keruang tamu, menuju tangga ke lantai atas.

Eh! dimana dia. Tadi masih duduk disini. "Ibam, Ibam. Kok hilang sih?"

Aku naik ke atas menuju kamarku dan menemukan dia berada di depan kamarku, menyandar pada dindingnya, memperhatikan kamarku, dari jauh, tanpa suara, untuk apa? Aku berjalan perlahan menghampirinya, dengan 2 botol cola sisa di tanganku. "Ibam?"

"Ga ada yang berubah ya, semua sama. Ga ada yang berpindah tempat. Gimana bisa?"

Dia, masih mengingatnya. Bagaimana mungkin? Itu sudah 2 tahun yang lalu.

"Kamu masih ingat?"

"Ga mungkin bisa aku lupain, tempat aku tidur siang." WHAT?

"Ingatan kamu bagus juga ya." Tawa garing mengiringi ucapanku.

"Tapi, gimana bisa?" kali ini dia menoleh untuk menatapku.

"Yaah, mas-nya aku suruh taruh barang-barangnya persis sama, soalnya kalo berubah takut aku lupa."

"Itu botol sisa buat apa dibawa-bawa?" dia sadar dengan kehadiran 2 botol sisa ini.

"Oh ini," aku masuk ke kamarku, melewati dia. Ku temukan gelas yang aku cari-cari, karna gelasnya kosong, aku tuang saja sisa cola dari 2 botol itu kedalamnya, cukup. "Nih colanya," ku sodorkan gelas kaca cantik dengan pernak pernik permata yang aku tempelkan disana agar terlihat lebih baik.

"Sisa?" tanyanya sambil menatap cola itu.

"Ya adanya itu, mau gimana lagi." malu sih, tapi yaudahlah yah. Emang beneran tinggal itu adanya.

"Yaudah, thx ya." ucapnya sambil berjalan kembali kebawah, keruamg tamu.

Aku melihat punggung itu berjalan menjauh. Apa benar, dia alasan aku kembali? Aku mempertanyakannya sekarang. Sudahlah, aku turun menuju ruang tamu. Dia sedang memainkan ponselnya.

"Maaf mas. Ini yang punya rumah udah disini. ponselnya dimatiin aja dulu." boys never grow-up.

"Eh, sorry. Ini Rosa, aku bales message dia." Dia mematikan ponselnya dan menaruhnya di meja. "Kamu nanti malem ikut?"

"Kemana?" tanyaku bingung.

"Makan malem. Rosa ajak aku makan malem, katanya sama kamu sama Lista."

"Emang iya. Iya kali ya, lupa aku." jawabku tergagap.

Apa-apaan mereka, tidak beritahu dulu skenarionya kan ini artistnya jadi bingung. "Jam berapa?"

"Sekarang? Jam 5 sore." Jawabnya santai.

"Bukan, janji makan malamnya, jam berapa?"

"Oh, jam 7."

"Ooooh,"

Awkward. Tidak ada percakapan apapun, hanya terdengar suara nafas kami berdua. Aku memainkan kuku-kuku milikku yang ber-manicure Dior No. 104, dia memainkan ponselnya. Aku tak melihat kearahnya sama sekali, sibuk dengan kuku jariku.

"Aku tidur sebentar ya, kalo udah mau berangkat bangunin." dia meletakan ponselnya di meja lalu berbaring di sofa. Kakinya melewatii batas sofaku, dia terlalu tinggi. Matanya sudah terpenjam, aku hanya menatapnya dalam diam. Dia dulu adalah milikku.

"Aku mau balik ke Paris, lusa." Suara nafasnya terhenti. "Mau ambil penghargaan, aku menang lomba karya tulis disana." senyumnya merekah.

"Yaudah, hati-hati. Cepet pulang, jangan sampe aku nunggu 2 tahun lagi." lagi,

"Iya, ga akan lama." Dia tersenyum, aku juga.

"Ga aneh emangnya kalo kamarnya ga ada dinding sama pintunya gitu?" tanyanya tiba-tiba saat aku sedang melamun memperhatikannya tertidur di sofaku.

"Kan aku tinggal sendiri, lagian namanya juga rumah minimalis cuma untuk satu atau dua orang, bagian atas emang dari sananya udah kamar, langsung tanpa dinding gituh, lucu tau. Kalo kamu perhatiin, rumah aku bentuknya huruf L loh! Keren kan?" ceritaku panjang lebar padanya dengan penuh semangat.

Dia tetawa namun tak membuka matanya, membuatku bisa terus menatapnya tanpa perlu dia tau. "Iya keren, tapi kalau mati lampu gimana? Bener ga takut tinggal sendirian?" balasnya.

"Takut lah, tapi mau gimana lagi. kan seru tau tinggal sendiri. Bisa bebas," jawabku lagi sambil masih menatap wajah yang sangat aku rindukan itu.

Dia hanya tersenyum "Ambilin aku moshi-moshi dong, ga enak nih tidur di sofa."

"Iya bentar," aku naik ke kamarku dan mengambil moshi-moshi, aku turun dan berjalan ke arahnya, berdiri tepat di sampingnya.

Aku memperhatikan setiap inci tubuhnya dia tidur dengan kedua tangan terlipat di dadanya, aku mendudukan moshi-moshi di perutnya. Dia membuka matanya, tersenyum padaku dan memeluk moshi-moshi yang dia tengkurapkan di dadanya. Lucu sekali mereka berdua, aku tetap dalam posisiku memperhatikan nya dalam diam. 10 menit berlalu dan aku belum juga beranjak dari posisiku, aku memustuskan untuk melanjutkan kegiatan awalku yang tertunda, makan mie insant. Aku beranjak ke dapur dan mulai memasak.

Aku duduk sambil memakan mie instantku, membelakanginya dan makan di lantai, mienya aku letakan di atas meja. Beberapa gambar hasil jepretanku, kertas-kertas warna-warni tak terpakai, daun-daun kering, pasir, kerang, pita dan tali, glitter dan masih banyak lagi barang-barang untuk hiasan scrapbookku berserakan di lantai. Setelah menyelesaikan makan mie ku, aku mengerjakan scrapbook. Menempel beberapa gambar, gunting dan lem dimana-mana, pasir dan glitterku sudah ada beberapa yang tumpah ke lantai.

Sedikit kekacauan terjadi dsini, aku meletakan beberapa pita, kancing dan penjepit kertas warna-warni berpasang-pasangan dengan kombinasi warna-warna yang berbeda. Aku sangat menyukai perpaduan glitter pink limun, pita kuning matahari, penjepit kertas hijau musim semi dan kancing putih. Aku membangunkan Ibam, hanya butuh beberapa detik untuk dia bangun "Bantuin dong Bam."

Dia masih menyadarkan dirinya sendiri, mengucek-ngucek matanya, dan bingung, yap, melihat kekacauan yang telah ku perbuat. "Scrapbook? Aku kira kamu udah ga suka bikin ginian lagi." senyumnya muncul.

"Iih, bantuin dong, pilih warna ya." aku menunjukan 4 kombinasi warna, "Aku sih paling suka yang ini." menunjukannya kombinasi warna pink limun, kuning matahari, hijau musim semi dan putih. Ini adalah pekerjaannya untuk membantu memilih warna, dari dulu selalu dia yang aku minta sarannya untuk warna scrapbookku.

"Yang itu bagus, aku juga suka, yang itu saja." dia berkata sambil meletakan wajahnya pada pundakku, aku kaget. Dulu aku tak pernah merasa aneh dengan semua sentuhannya pada ku, terasa biasa saja. Tidak kali ini.

"Oke pak!" jawabku riang, agar dia tak tahu aku gugup setengah mati.

Dia melihat jam tangan Chaumet-nya dan tersentak, "Udah setengah tujuh Ssa. Kita mau berangkat jam berapa ini?" ucapnya yang sedikit tinggi pada kalimat 'berangkat jam berapa ini'. Aku hanya bisa tersenyum polos dan segera berlari ke kamar mandi.