webnovel

13

"FINALLY u pick up the phone. I try a hundred times to call u for the last three days. "

Kata-kata itu menerjang gendang telinga ku bahkan sebelum aku sempat berkata "Halo.". Bahkan aku juga belum sempat benar-benar menempelkan ponsel ku ke telinga, "Elsie, I know u miss me, but u don't have to scream. "

Elsie adalah teman sekelasku, kami mengerjakan tugas bersama-sama, bersama dia aku kembali menjadi anak culun yang tinggal di perpustakaan. Berbeda dengan Jen, Elsie tidak keluar saat malam hari. Sama seperti diriku saat sebelum mengenal Jen, kami lebih suka memakai piyama flanel dengan secangkir Goodnight's tea dan sebuah buku, thanks a lot.

Elsie tertawa hambar. "So funny." katanya datar.

Aku berdiri menghadap kaca jendela besar di kamar ku, menatap jalanan kompleks di bawah sana. Hujan cukup deras, orang-orang dalam balutan jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang jalan dan mobil-mobil berseliweran. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan sehari-hari yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun aku selalu menyukainya.

"I saw all ur call, sorry cuz ignore it. There's a lot of problem here." ucapku pada Elsie sebagai pembelaan atas perbuatan tidak menyenangkan yang aku lakukan padanya.

"Alright, ur problem is your everything now." Tuduhan lain yang diajukan Elsie. "Your past is really something, Aubrey."

"That's life, by the way ada apa kau menelfonku sampai berkali-kali. Apa hal yang sangat besar sudah terjadi di Paris?"

"Ya, dan ini yang terbesar yang pernah terjadi." Elsie mengatakannya dengan sangat serius. "Ingat karya tulis yang kau buat untuk tugas Ms. Lindsey musim lalu. Dia mengirimkan karya tulismu ke acara Books of Fashion Design."

"Apa? Bagaimana bisa?" Aku terkaget sejadi-jadinya. "Apa Ms. Lindsey kekurangan hiburan dan dengan sengaja iseng mengirimkan karya tulis butut itu?" Tak kusangka, Ms. Lindsey bisa lebih jahat dari yang kubayangkan.

"Bukan, bukan seperti itu Aubrey ku sayang. Dia mengirimkan semua karya tulis kita, dan coba tebak. Karya tulismu yang terbaik! Bayangkan itu. Kita semua sangat senang ketika mendengarnya. Kau tahu, bahkan Bill meninggalkan kekasihnya untuk menjemputmu ke Indonesia." Elsie mengatakannya tanpa ada spasi, titik dan koma.

"Benarkah? Aku tak menyangka. Padahal aku hanya asal tulis semauku tanpa peduli dengan aturannya. Tapi, apa? Bill benar-benar akan datang? Apa dia sudah gila? Apa di Paris dia jatuh miskin dan menjual otaknya untuk membelanjakan kekasih murahnya itu?" Tiba-tiba merasa jijik mendengar nama Bill.

Dia salah satu teman ku, Jen mengenalkannya padaku. Di kampus dialah yang selalu membuat onar, aku bahkan malu menyebutnya 'teman ku'. Semua dosen membencinya. Teman-teman yang lain juga. Aku yang paling membencinya, tapi karna harta keluarganya yang terlalu banyak hingga bisa ia bagikan kepada seluruh orang dikampus, membuatnya di terima di mana saja. Begitulah cara uang bekerja, dan hal yang lebih mengesalkan adalah dia tergila-gila padaku. Dia bilang aku adalah satu-satunya orang yang menolaknya. Dia memang bodoh.

"Jika tidak begitu dia bukan Bill. Hahaa, biarkan saja. Aku tak tahu apa dia benar-benar akan pergi ke Indonesia. Mungkin dia hanya mengucapkannya secara asal. Jangan terlalu khawatir dengannya. Yang perlu kau pikirkan adalah segera kembali kemari mengambil penghargaanmu."

"Apa aku harus mengambilnya sendiri Elsie, tak bisa kah kau yang mengambilnya dan mengirimkannya ke Indonesia untukku?" Aku memohon dengan sepenuh hati pada teman dekatku ini.

Mana mungkin aku pergi ke Paris sedangkan aku dan Ibam baru akan memulai kembali. Jika aku tak bertemu dengannya seminggu saja maka hal yang terjadi malam itu akan sia-sia saja.

"Oh Aubrey, apa sesulit itu. Mungkin hanya 3 atau 4 hari saja. Apa kau tak merindukan Paris?" Elsie memelas padaku, dan aku sulit untuk menolaknya.

"Aku rindu Paris, aku juga rindu padamu Elsie, dan penghargaan itu aku ingin sekali pergi mengambilnya sendiri, tapi banyak hal yang harus aku bereskan disini."

"Baiklah, aku mengerti. Waktu pengambilannya sampai minggu depan. Aku berdoa yang terbaik untumu Aubrey."

"Oke, aku mengerti. Sampai nanti lagi." aku mengucapkan selamat tinggal dan menutup telfonnya.

Ini rumit, bagaimana mungkin aku ke Paris dalam situasi seperti ini.