webnovel

Jadi Pengasuh

Bab 16

"Sayang, Papa sudah pesan pengasuh baru di yayasan untuk kamu," tolak Pak Arfan.

Dia melihatku lalu memberi isyarat agar aku menolak permintaan Aleysa. Dengan perasan berat hati, aku pun memenuhi permintaan Pak Arfan.

"Aleysa, Sayang. Mbak Intan gak bisa ikut kamu ke rumah, Mbak harus pulang ke kampung hari ini juga. Ayah sama Ibu sudah menunggu di rumah," ujarku berbohong.

Aleysa pun cemberut kemudian menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur dengan keras. Dia berbaring menghadap dinding dan membelakangi kami.

Pak Arfan berusaha membujuknya, tapi Aleysa tetap saja pada posisinya.

"Sudahlah, Arfan. Batalkan saja pesanan kamu ke yayasan, sudah ada Intan yang disukai Aleysa di sini, ngapain kamu ambil resiko menerima orang baru yang gak kita kenal dan belum tentu Aleysa suka."

Omanya Aleysa akhirnya buka suara lagi. Mendengar ucapan Omanya, Aleysa berbalik lalu ikut berkata kalau dia cuma mau aku yang mengasuhnya.

Mau tak mau, akhirnya Pak Arfan pun mengabulkan permintaan Aleysa yang langsung bersorak girang.

Pak Arfan mengajakku untuk bicara empat mata di luar ruangan, mulanya Aleysa tak memberikan izin karena takut aku akan pergi. Namun, setelah diyakinkan kalau aku akan segera kembali, dia pun membiarkan aku pergi bersama papanya.

Pak Arfan mengajakku ke kafe yang ada di lantai bawah. Kami memilih meja di sudut ruangan agar tak terganggu oleh pengunjung yang lain.

"Duduklah, Intan! Aku ingin membicarakan hal yang penting denganmu," kata Pak Arfan.

Aku pun duduk di seberang kursi beliau, kemudian Pak Arfan menerangkan kalau Oma Galuh, mamanya Pak Arfan tak mengetahui soal program bayi tabung itu. Dia hanya tahu kalau Bu Mia lah yang sudah mengandung dan melahirkan Aleysa.

Jadi Pak Arfan memintaku untuk menutup mulut soal masa lalu kami.

"Iya, Pak. Saya juga cukup tahu diri dengan keadaan saya, siapa saya. Bapak tenang saja, takkan ada yang tahu hal itu selain kita bertiga di sini," jawabku meyakinkan Pak Arfan.

"Bagus, lalu bagaimana dengan Gupta? Apa dia tidak akan mencari kamu?" tanya Pak Arfan lagi.

Aku menggeleng dengan sedih, mendengar nama Gupta disebut, hatiku kembali sedih.

"Kami akan bercerai, Pak," jawabku singkat tanpa mberitahu alasan sebenarnya.

"Lho, kenapa?" tanya Pak Arfan tak percaya.

"Orang tuanya meninggal dunia Minggu lalu, kecelakaan. Jadi tak ada lagi yang menentang keinginannya untuk menikahi Kristin."

Aku tak sepenuhnya berbohong, karena memang seperti itu keadaan yang sebenarnya. Mas Gupta ingin menikah dengan Kristin tapi orang tuanya tak setuju. Sekarang, keduanya sudah meninggal jadi takkan ada lagi yang bisa menghalangi niat Mas Gupta.

"Aku, Tuhan. Ternyata Gupta belum bisa melupakan kekasihnya itu. Padahal saya sudah senang saat mengetahui dia sudah menikah denganmu, Intan," ujar Pak Arfan.

"Yah, belum jodohnya kali, Pak."

"Ya, sudah kalau begitu. Ayo kita kembali ke kamar Aleysa!" ajak Pak Arfan seraya berdiri dari duduknya.

"Ehm, Pak. Kalau boleh tahu, Bu Mia sakit apa?"

"Entahlah, saya juga gak tahu. Dokter juga belum menemukan jenis penyakitnya. Kemungkinan kanker darah atau juga kelenjar getah bening hanya sudah parah penyakitnya. Sekarang dia sedang dirawat dengan intensif di ruang ICU, jadi kamu bisa tenang menjaga Aleysa di rumah," jawab Pak Arfan.

Entah aku harus bersyukur atau ikut berduka cita mendengar penyakit Bu Mia. Ada rasa dendam jika aku ingat akan perkataannya saat aku sekarat dulu.

"Intan, ayo kita kembali ke kamar Aleysa!" ulang Pak Arfan lagi.

"Eh, iya, Pak. Maaf saya malah melamun," jawabku lalu segera beranjak mengikuti langkah panjang Pak Arfan menuju ke lantai dua.

Aleysa tampak kesenangan melihat kedatangan kami. Dia pun meminta aku untuk memeluknya. Tentu saja dengan senang hati langsung kupeluk dia. Buah hatiku yang tak bisa kupeluk selama ini.

"Kapan kita pulang, Pa?" tanya Aleysa pada Pak Arfan.

"Masih lama, Sayang. Tunggu dokter periksa luka di kepala kamu dulu, ya," jawab Pak Arfan dengan lembut.

Aleysa cemberut, tapi kemudian dia tersenyum memandangku.

"Mbak Intan temani aku di sini, kan?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk seraya tersenyum juga. Sebenarnya aku kurang setuju jika Aleysa memanggilku dengan sebutan Mbak. Namun, aku tak bisa protes karena Aleysa dan omanya nanti bisa curiga.

"Yeay, asyik!" seru Aleysa gembira.

"Kamu jangan banyak gerak dulu, Sa! Nanti lukanya berdarah lagi. Sebaiknya sekarang kamu tidur saja, ya!" bujukku.

Aleysa pun menurut, dia membaringkan tubuhnya dan tak lama kemudian dia pun sudah tidur dengan pulasnya.

"Kamu hebat, Intan. Biasanya Aleysa itu susah akrab dengan orang baru. Selama ini cuma Maya saja yang akrab dengannya," kata Oma Galuh.

Dia menatapku sambil tersenyum, tapi bagiku itu adalah sebuah pandangan menyelidik yang tajam.

"Namanya juga anak-anak, Ma. Dia tahu mana yang tulus dengannya," jawab Pak Arfan menyelamatkanku dari tatapan Oma Galuh.

"Benar juga, Intan kelihatannya beneran sayang dengan Aleysa. Oh, ya. Kalau boleh tahu, kamu ke sini menjenguk saudara atau teman yang sakit, Intan?" tanya Oma Galuh lagi.

"Oh, itu tadi aku mau jenguk teman, Oma. Tapi ternyata dia sudah pulang ke rumah. Aku terlambat tahu kalau dia sedang sakit," jawabku sambil mencoba untuk santai.

"Oh, begitu. Baiklah kalau begitu. Karena Aleysa sudah ada yang menjaga, Mama pulang ke Sragen hari ini, ya, Fan. Kasihan Papa kamu gak ada yang nemenin," ujar Oma Galuh membaut aku bisa bernafas lega.

Ternyata dia tidak tinggal di rumah Pak Arfan. Dia datang ke kota Jakarta karena Aleysa sakit dan tak ada yang menjaga. Suatu keberuntungan untukku kalau begitu.

Aku. Isa bebas melimpahkan kasih sayang pada Aleysa nanti selama Bu Mia masih sakit.

"Sudah hampir sore lho, Ma. Apa gak sebaiknya besok saja?"tanya Pak Arfan.

"Mama kembali ke Sragen ya ya besok Tho. Malam ini Mama tidur di ruang kamu sekalian beres-beres pakaian Mama. Besok pagi, kamu antar Mama ke stasiun. Mama naik kereta api saja," balas Oma Galuh.

"Baiklah, kalau begitu, Arfan antar Mama sekarang, ya?"

Oma Galuh mengangguk, lalu membangunkan Aleysa untuk berpamitan. Setelah itu dia pun pulang ke ruang Pak Arfan. Besok pagi baru dia pulang ke Sragen dengan menumpang kereta api.

Pukul lima sore, makan malam Aleysa pun datang. Aku segera menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Setelah selesai makan, kubersihkan tubuh Aleysa dengan air hangat yang diberikan oleh suster jaga.

Kemudian mengikat rambutnya yang hitam panjang itu sedangkan Aleysa melihat dirinya di cermin kecil miliknya.

"Mbak Intan, kenapa bentuk mata kita sama, ya? Hidung dan bibir kita juga sama," tanya Aleysa sambil menatap cermin kecil di tangannya.

Bersambung.