webnovel

DISTRIK 25 : Sebuah Mimpi Buruk

VOL.I DISTRIK 25: SEBUAH MIMPI BURUK Ami sangat membenci para elit negara karena perubahan sistem pemerintahan sejak pergantian presiden beserta jajaran yang membuat warga tidak tenang, terlebih dengan adanya rumor mengenai hilangnya anak-anak di bawah umur yang di gunakan sebagai tumbal dari sebuah ritual yang dilakukan oleh para elit negara. Mereka bahkan selalu siap untuk menyakiti ataupun menangkap siapapun yang menentang kebijakan Pemerintah. *** VOL.II DISTRIK 25: DUNIA TANPA KEGELAPAN “Kalian mungkin mengira semua ini disebabkan oleh kegelapan. Tapi apa kalian tahu kalau manusia bahkan dapat menjadi lebih kejam dari kegelapan,” kata seorang pria tua yang berjalan dengan tongkatnya. *** VOL.III DISTRIK 25: SEBUAH MASA LALU Sebuah perjanjian dengan kegelapan di masa lalu membawa dampak sangat besar untuk masa depan. Perjanjian berdarah, perjanjian penuh ritual dan penumbalan. Kekuatan dan kekuasaan, semuanya diberikan oleh kegelapan dengan imbalan darah yang melimpah dan kesengsaraan. *** *** Dengan memberikan dukungan untukku berupa vote dan hadiahnya, teman2 telah menjadi PEMBACA ISTIMEWA juga menjadi SAKSI DARI KISAH DISTRIK 25 ^,^ Love *,*

snaisy_ · ファンタジー
レビュー数が足りません
369 Chs

Kekuatan Pedang Emas

=Ge POV=

Aku membantu Digo mengikat lengannya yang bekas digigit oleh serigala hutan dengan kain, sementara Loudi membantu mengikat lengan Topan. Akupun segera memberikan ramuan herbal untuk bekas sengatan tawon hutan di kakiku. Walau masih agak nyeri, kaki kiriku sudah mampu kugunakan untuk berjalan jauh.

Matahari sudah semakin tinggi dengan udara yang teraja lebih sejuk dari biasanya. Kami berempat telah siap untuk melajutkan perjalanan menuju bagian Timur.

Ku buka perangkatku yang berada di dalam tas untuk mengecek apakah lokasiku saat ini sudah semakin dekat dengan Gedung Kuning. Sial, aku tidak dapat lagi mengakses jaringan milik negara. Ku cek berkali-kali, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembalinya jaringan tersebut pada perangkatku.

Aku hanya mampu mehela napas kasar, aku benci ketahuan. Aku bahkan belum sempat mengunduh data terakhir selama aku menjalankan misi terakhir ini.

Berdasarkan riwayat lokasi terakhir yang tersimpan, aku hanya memperkirakan arah perjalanan kami yang sudah semakin dekat dengan kemenangan.

"Apa benda itu dapat membantu kita?" tanya Digo yang tiba-tiba duduk di dekatku sambil memakan buah hutan yang nampak manis.

"Ah, mengejutkan saja. Aku hanya ingin mengabadikan beberapa momen dengan mencatatnya, tetapi aku sama sekali lupa untuk menyalakannya selama mencari pedang emas," jawabku santai.

"Aku juga masih memilikinya," ujar Digo yang pandangannya lurus kosong. "Aku masih menyimpannya di asrama, berharap suatu saat aku dapat menggunakannya untuk bertukar kabar dengan keluargaku dirumah."

Aku terdiam, ketua timku ternyata memiliki sisi lembut dalam hatinya.

"Mereka membatasi bahkan mematikan jaringan untuk warga, apa mereka tidak pernah merasakan rindu dengan keluarga sehingga mereka begitu menikmati penyiksaan secara tidak langsung ini?"

Aku masih terdiam, aku tidak tahu harus merespon bagaimana.

"Kita harus menang, Ge. Aku tahu kamu juga merindukan keluarga dan kekasihmu." Digo menatapku seraya mengangkat kedua alisnya.

"Ah aku merindukan ayah dan sepuuku. Aku tidak memiliki kekasih," sahutku lirih.

"Anak anggota pasukan B yang perempuan itu. Dia bukan kekasihmua?"

"Pasukan B?" pikiranku sedikit berputar, "Oh Ami? Distrik 25? Kami hanya berteman," ujarku meyakinkan.

"Hemm … Lalu apakah dia memiliki kekasih?"

"Tidak. Kurasa. Apa kamu menyukainya?"

"Tidak, aku hanya bertanya. Aku sudah memiliki kekasih."

Jawaban ketua tim itu membuatku tertarik, spontan aku langsung menoleh padanya dengan ekspresi penuh dengan keingin tahuan.

"Dia adalah alasan aku berada di tempat ini," sambungnya lagi yang masih menikmati buah persik hutan.

Aku kembali terdiam, seketika aku teringat dengan sosok Lila. Ah perempuan bawel itu tidak pernah menjadi alasan untukku berjuang. Apakah aku sangat jahat padanya? Aku bahkan sering melupakannya dan merasa tidak memilikinya dalam hidupku.

"Aku … Sebenarnya juga memiliki kekasih," ujarku mencoba untuk jujur. "Tapi entahlah, aku bahkan tidak pernah mengingatnya selama berada di tempat ini."

Puk puk puk

Digo menepuk pelan bahuku. "Tidak memikirkan kekasihmu, bukan berarti kamu sedang tidak mencintainya, 'kan? Itu hanya kamu yang terlalu sibuk dan lelah sehingga pikiranmu tidak dapat memikirkan banyak hal sekaligus."

"Atau aku memang benar-benar tidak mempedulikannya?" ucapku lirih, hal itu membuat ketua timku tertawa.

"Tanya hatimu. Jangan sampai sikap tak acuhmu berlarut hingga kamu kehilangan kesempatan untuk benar-benar memilikinya."

Deg. Kurasakan ada sesuatu yang menohok.

Ami dan Sam, hanya mereka berdualah yang selalu kupikirkan. Kadang wajah ayah terlintas, karena pria itu selalu saja meminta bantuanku di perkebunan. Lantas, kemana Lila? Kenapa wajahnya sangat jarang muncul di ingatanku?

Argh! Aku membenci hubungan ini! Maksudku, apakah tidak boleh jika aku mencintainya tanpa harus selalu memikirkannya?

Tunggu, apa dia juga memikirkanku?

"Teman-teman! Kurasa kita akan kembali kedatangan tamu!" Teriak Topan yang tengah merebahkan tubuhnya.

Dia dapat merasakan getaran di tanah dengan suara nyaring. Mungkin itu pasukan berkuda, lagi.

Kami segera siap dengan seluruh senjata dan berlindung di pohon tempat kami beristirahat.

Suara pacuan kuda semakin terdengar jelas diiringi dengan suara angina yang sangat rebut. Dalam hitungan detik, tempat berlindung kami diterjang angina besar yang menggulung banyak dedaunan dan ranting pohon di sekitar. Debu dan kerikil terbawa hingga menyesakkan pernapasan kami.

"Argh sial!"

Segera ku toleh sumber suara. Topan telah terseret oleh angina itu, dia berpegang erat pada batang kayu yang dibantu oleh Loudi.

Belum juga angina itu mereda, kabut hitam menyerang kami tanpa aba-aba. Seketika semuanya menjadi gelap gulita. Aku tidak dapat melihat apapun, tetapi aku merasakan serakan adanya serangan di dalam kegelapan. Bukan, ataukan hanya terjangan dalam kegelapan?

Samar tetapi semakin terang, aku dapat melihat pedang emas yang berada di genggaman Loudi menyala dan memberikan pencahayaan untuk kami. Dalam hitungan detik, benda itu Nampak melayang-layang dengan gerakan menebas seorang ahli.

Kepalaku sangat pening, napasku semakin tersengal akibat kabut yang terlalu tebal. Seluruh tubuhku terasa sakit seperti mendapat banyak pukulan dari arah belakang.

Bruk!

Aku dapat mendengarnya, tubuhku terjatuh ke tanah karena sudah sangat lemah.

Pedang emas itu masih nampak menabas sekitar hingga akhirnya angina mereda dank abut hitam itu pergi tanpa jejak.

Ku tarik napas dalam-dalam agar mendapatkan oksigen terbaik untuk jantungku.

"Kalian baik-baik saja?" Digo menghampiri kami yang semuanya tak berdaya.

Topan, pada kakinya banyak terdapat bekas sayatan hingga merobek celananya yang panjang dan tebal. Loudi, pria itu mengalami hal yang sama denganku hanya lebih parah karena dia sampai mengeluarkan darah dari hidungnya.

Hanya Digo yang tidak Nampak luka, hanya beberapa goresan di wajahnya yang kuduga itu akibat ranting-ranting yang terbawa angin menabraknya dengan kencang.

Kami masih dengan posisi masing-masing, mehela napas panjang dan menenangkan diri.

"Kurasa sekarang aku tahu kenapa kita harus membawa pedang emas ini," kata Digo tiba-tiba.

Dia mengatakan kalau benda berkilauan itu tadi benar-benar menyelamatkan kami. Walau tidak dapat melihat apapun di dalam kabut, Digo merasakan adanya banyak pergerakan yang membuat mereka tak mampu berkutik. Tetapi setelah dia menggunakan pedang untuk menyerang, taka da satupun pergerakan yang menyerangnya. Lebih tepatnya menyerang kami.

"Aku yakin, aku menebas beberapa. Tetapi aku tidak tahu apa itu," sambungnya lagi seraya mengamati pedang berharga itu.

Pandanganku terarah pada pedang yang masih dalam genggaman ketua tim. Benar-benar berkilau terlebih terkena pantulan cahaya matahari. Mulus, licin, tanpa goresan.

Eh tunggu, aku melihat sisi berwarna gelap di bagian ujung pedang itu. Segera ku sentuh dan kuusap perlahan.

Benar saja, itu adalah kotoran. Seperti bekas arang pembakaran yang terasa lembut tetapi sangat pekat dan lengket.

"Apa itu?" tanya Loudi yang memperhatikanku.

"Kurasa kabutnya meninggalkan jejak," cletukku yang juga tidak mengerti dengan apa yang baru ku sentuh.

"Ayo kita ke Timur!"

Semua mata segera tertuju pada Topan yang memijat pelan bahunya. Dia nampak bersemangat walau tubuhnya penuh luka.

***