webnovel

CHAPTER 27 - Titipkan Pesan Ini

Sudut Pandang Andrei

Setelah susulan materi simulasi level 5 selesai.

Tampak wajah Andrei dan Andrea yang lusuh. Keduanya istirahat sejenak sambil terduduk di bangku demi merenggangkan otot-otot tubuh, di ruangan renang khusus setelah ruang dunia rekayasa simulasi. Mereka berkumpul berdua sebab di susulan materi kali ini adalah berkelompok. Seharusnya mereka bertiga bersama Eireen. Akan tetapi karena Eireen tidak ikut, jadi hanya berdua. Kali ini raut wajah mereka berbeda, seperti sedang terkena mental.

"Kau sehat?" tanya Andrei sambil terduduk di sebelah Andrea. Nafasnya masih tersengal-sengal.

"Menurutmu?" tanya Andrea balik. Ia tidak menoleh ke arah saudaranya. Pandangannya menunduk ke bawah sambil melihat kedua tangannya yang dirapatkan.

"Tidak sehat," Jawabnya.

"Sama," jawab Andrei. "Susulan materi kali ini sedikit ekstrem, ya."

"Benar. Meskipun jebakannya tidak membahayakan, tapi aku sudah terkena mental duluan," Kata Andrea.

"Ya, setidaknya kita berdua bersama-sama," kata Andrei.

"Iya juga, ya," ucap Andrea. "Kalau tidak, mungkin aku sudah dianggap gugur."

"Omongan Pelatih Theo pun jadi benar," ucap Andrei bercanda.

"Hey!" seru Andrea. "Aku ingin bersamamu sampai kita menang, lho.

"...sesuai kesepakatan kita dengan Eireen waktu itu," lanjutnya sambil terkekeh.

Andrei tersenyum. "Iya deh, aku hanya bercanda.

"Ah, kau ini!" Andrea menyenggol siku Andrei. "Omong-omong mengenai amanah dari Pelatih Theo, um bagaimana kita memberitahunya?

"Kita saja tidak tahu keberadaannya di mana," lanjutnya.

"Seingatku, Pelatih Theo bilang dia minta Eireen untuk istirahat hari ini. Jadi kemungkinan besar dirinya sedang berada di kamar sekarang," kata Andrei.

"Nah, yang kubingungkan, nih, bagaimana kita menyampaikan amanah dari Pelatih Theo ke dia?" Andrea berpikir keras mencari jalan keluar. Otaknya kini dipenuhi dengan benang kusut yang harus menemukan jalan keluar. "Tidak mungkin jika kita ke lantai perempuan. Percuma tidak diizinkan juga."

"Aku ada kepikiran, sih, kalau kita menulis surat untuknya. Kemudian nanti siapa gitu perempuan yang mau mengirimkan surat ini ke Eireen," kata Andrei.

"Surat, ya?" Andrea menoleh ke arah Andrei yang menatapnya juga. Kini pandangan mereka saling bersahutan. "Ide bagus! Kau pintar banget sih tumben!"

"Emang pintar kali. Baru tahu sekarang?" ucap Andrei dengan nada layaknya ibu-ibu komplek yang sinis maksimal.

Andrea tertawa terbahak-bahak. "Biasanya aku yang berpikir jernih."

"Terserah kau saja lah," ucap Andrei pasrah.

"Balik lagi ke topik, kalau surat, aku mau tanya dulu ke kau. Apakah kau punya kertas?" tanya Andrea.

"Aku tidak punya kertas, hanya pensil saja," jawab Andrei.

"Baik, aku juga demikian," ucap Andrea. "Aku tahu bagaimana kita dapatkan kertas."

"Lah emang ada jualan kertas di sini?" tanya Andrei.

Andrea tersenyum miring. Lalu berkata, "Kita minta saja ke pelayan kantin!"

"Huh?" Andrei mengernyitkan dahi sejenak. "Kau serius?"

Andrea mengangguk yakin. "Serius lah masa tidak.

"Kita tinggal minta saja kertas dari pelayan kantin. Beres, deh. Lalu entah kau atau aku yang menulis surat dengan pensil."

Andrea menyentuh pundak Andrei. Ia tersenyum seakan-akan meluluhkan Andrea yang baru tahu bahwa dapat meminta kertas melalui pelayan kantin. "Tenang, saudaraku. Aku sudah kenal baik dengan pria paruh baya itu.

"Sekalian kita mengisi perut setelah terkena mental," lanjutnya.

Seketika diri Andrei menjadi lebih tenang. Ia ikut tersenyum.

"Nasi kari ayam?" tanya Andrei sambil tersenyum miring dan kedua pandangannya mengarah ke kedua mata hijau Andrea. Ia tahu kesukaan saudaranya, yaitu membuat kalimat persuasif tentang makanan.

"Siapa nolak?" ucap Andrea, ikut tersenyum miring sambil membalas tatapan Andrea. "Ayuklah!"

Kemudian mereka berdua keluar dari ruangan ini. Seketika pandangan Andrei harus beradaptasi kembali dengan kehadiran cahaya mentari sore yang cerah, setelah berlama-lama di ruangan di bawah pencahayaan yang minim. Saking sunyinya di lantai dasar, langkah Andrei dan juga Andrea yang silih berganti itu terdengar jelas ke penjuru ruangan. Hal ini disebabkan oleh gesekkan Sol sepatu dengan lantai. Sebelum mereka tiba di kantin, mereka harus melewati perantara, yaitu elevator yang setia mengantar orang-orang yang membutuhkan jasanya.

Andrei langsung mengetuk tombol 'Lantai 2' hingga memunculkan cahaya kuning menyala. Di dalam elevator, tak ada percakapan antar keduanya. Hanya keheningan. Pikiran keduanya sudah mengarah ke nasi kari ayam.

Beberapa detik kemudian pintu elevator terbuka, mempersilahkan sepasang kembar itu melangkah ke lantai yang dituju. Mereka berdua pun keluar meninggalkan elevator, menuju kantin. Sungguh tak sabar untuk menyantap pesanan mereka nanti. Aroma makanan yang sedap itu langsung menghipnotis Andrei.

"Enak!" batinnya.

Untung saja situasi di kantin sepi. Hanya beberapa anak yang makan di sana. Mungkin karena lapar atau bingung ingin melakukan apa.

Setibanya di kantin, mereka melangkah menuju stan kantin. Tak lupa mereka mengambil nampan plastik yang tersusun rapi di sebelah meja pesanan. Kondisi stan kantin tidak ada orang sama sekali. Hingga beberapa saat kemudian ketika nampan plastik di tangan Andrei dan Andrea, sosok pelayan paruh baya kenalan baik Andrea muncul entah dari mana. Kehadirannya cukup membuat jantung Andrei hampir lepas.

Seperti biasa, wajah pria itu selalu ramah menyambut orang-orang.

"Selamat sore, silakan mau pesan apa?" tanya pelayan pria paruh baya itu.

"Dua porsi nasi kari ayam, Pak," ucap Andrei.

"Baik," ucapnya sembari mengambil piring demi piring porsi nasi kari ayam. Dengan gerakannya yang cepat dan lihat itu, mampu terisi porsi nasi kari ayam dalam dua detik. Kemudian kedua piring terisi sempurna itu diberikan kepada Andrei dan Andrea.

Mereka berdua langsung mengambil dan meletakkan di masing-masing nampannya.

"Minumnya?" tanya pria itu. "Hari ini kami menyediakan jus alpukat, teh susu, dan air mineral."

"Kau mau minum apa?" tanya Andrei ke Andrea yang tampaknya sedang berpikir. Sama dengannya.

"Aku teh susu aja, deh," jawab Andrea.

Mendengar jawaban Andrea, ia langsung menoleh kembali ke arah pelayan di hadapannya. "Satu teh susu, dan satu nya lagi air mineral dingin."

"Baik," ucap pelayan pria itu. Ia langsung merah segelas kaca teh susu yang sudah diramunya. Kemudian diletakkan diletakkan di atas tempat kaca penyimpan bumbu-bumbu masak, yang menghalangi antara pelanggan dan pelayan.

Terlebih dahulu, Andrea mengambil minumannya. Tak lupa ia ucapkan, "Terima kasih."

Pria itu hanya tersenyum seraya mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas kecil khusus minuman. Kemudian diberikan ke Andrei.

"Terima kasih," ucap Andrei.

Pria itu tersenyum. "Ada lagi?"

Tiba-tiba Andrea mengangkat tangan kanannya seolah-olah seperti izin menjawab pertanyaan pengajar. Tatapan pria itupun beralih ke Andrea seketika.

"Pak, mau tanya, ada kertas buku dan amplop kecil, gak?" tanyanya.

"Oh, kertas ada kok. Amplop kecil... Kami adanya amplop panjang." ucapnya. Ia menunjukkan selembar amplop putih panjang kepada Andrei dan Andrea. "Seperti ini."

"Yaudah, tidak apa-apa, Pak," ucap Andrea.

"Baik, butuh berapa lembar masing-masing?"

"Kita butuh berapa?" tanya Andrea kepada Andrei di sampingnya.

"Masing-masing satu lembar aja cukup," jawab Andrei.

Dirinya kembali menoleh ke pelayan pria paruh baya itu. Lalu berkata, "Satu lembar aja, Pak. Untuk kertas dan amplopnya."

"Baik," ucapnya.

Andrei memerhatikan pria itu mengambil satu lembar dari kertas buku yang bertumpuk di mejanya serta selembar amplop putih berbentuk persegi panjang.

"Oh, kertas buku nya ternyata sama. Kukira kecil sekali," batinnya.

Selembar kertas dan selembar amplop panjang itupun diberikan kepada Andrea.

"Terima kasih, Pak," jawab Andrea tersenyum dan mengambil dia benda itu lalu diletakkan di sisi nampannya yang masih menyisakan cukup ruang.

Pria itu membalas senyuman Andrea dengan hangat. "Ada lagi?"

"Sudah cukup, Pak," jawab Andrea.

"Baik. Selamat menikmati makanan kalian," kata pria itu tersenyum.

"Terima kasih, Pak!" sahut Andrei dan Andrea serentak.

Mereka berdua langsung mengangkat nampan yang telah terisi oleh pesanan mereka, menuju bangku kosong. Karena situasi kantin yang sepi, memudahkan mereka untuk memilih bangku yang nyaman. Akhirnya setelah memilih tempat yang nyaman, keduanya memutuskan untuk menempati bangku dekat tak jauh dari jendela agar bisa menikmati pemandangan sore.

Beberapa langkah menuju tempat tersebut, setibanya mereka langsung meletakkan nampan di meja. Keduanya duduk saling berhadapan. Di sisi lain karena bangku yang tersedia hanya berjumlah empat—Masing-masing dua bangku berhadapan satu sama lain.

Selembar kertas dan selembar amplop panjang diletakkan agak berjauhan dengan makanan dan minuman agar tak terkena noda. Saking lapar menyertai jiwa mereka, keduanya memutuskan untuk menyantap makanan terlebih dahulu.

"Selamat makan!" ucap mereka berdua serentak sambil mengangkat kedua tangannya setinggi dada. Kemudian langsung menyantap nasi kari ayam di hadapan.

Hening.

Tak ada percakapan antar keduanya sebab pikiran mereka hanya satu, yakni menuntaskan lapar yang menyiksa jiwa mereka setelah melewati susulan materi yang menguras tenaga.

Dua menit kemudian, Andrei lebih dulu menghabiskan makanannya daripada Andrea.

"Terima kasih atas makanannya!" ucap Andrei sambil mengangkat kedua tangannya setinggi dada, yakni kepercayaannya dalam bersyukur atas makanan yang baru selesai disantapnya.

"Tolong kau tulis suratnya. Nanti aku lihat setelah aku selesai makan," perintah Andrea.

"Baiklah, tapi aku harus butuh bantuanmu ketika aku tulis agar tidak ada yang perlu dicoret-coret nanti jika salah," kata Andrei.

"Baiklah," ucap Andrea.

Andrei pun mengambil selembar kertas di samping Andrea. Ia juga mengambil pensil yang sudah sebesar jari telunjuk dari dalam saku seragam suit nya yang berwarna keabu-abuan dengan sedikit glitter menyebar. Ia langsung menulis kalimat pembuka di baris atas. Setelah itu, gerakan tangannya terhenti. Otaknya membutuhkan asupan ide sebaris awal kalimat isi.

Melihat Andrei yang sedang berpikir keras itupun, langsung memberikan ide baru untuk tulisan surat. Mendengar hal itu, Andrei kembali lancar menggerakkan jari-jemarinya yang menggenggam pensil di atas kertas itu.

Tak lama kemudian, Andrea pun selesai menghabiskan santapannya. Lalu ia semakin leluasa membantu saudaranya dalam mendiktekan ide tulisan isi surat. Mereka berdua saling berdiskusi satu sama lain, agar kualitas tulisan dapat dengan mudah dipahami dan langsung ke inti tujuan. Tak jarang, Andrei menunjukkan sepenuhnya ke Andrea dan ia bergantian menulis dengan Andrei.

Selang tujuh menit kemudian setelah dirasa sudah cukup, surat itu dilipat membentuk persegi panjang. Lalu dimasukkan ke dalam amplop panjang. Setelah itu, selotip yang berada di kop amplop pun dibuka hingga menampilkan lem. Dilipat bagian yang terdapat lem tersebut. Amplop itu pun tertutup dengan sempurna.

Tak lupa Andrei mencantumkan kalimat, "Untuk Eireen, dari kami Si Sepasang Kembar Merah." pada bagian badan amplop yang polos.

Andrei sengaja tidak menyebutkan namanya dan nama saudaranya karena sudah terlalu biasa untuk sebuah nama pengirim.

"Akhirnya, selesai juga," kata Andrei.

"Udah kayak diskusi kelompok saja," ucap Andrea. "Omong-omong, sekarang kita pikirkan perempuan yang bisa menitipkan surat ini langsung ke Eireen."

Tiba-tiba tatapan elang Andrei tertuju ke Hawisa yang berjalan keluar dari Stan kantin sambil membawa bungkusan kertas makanan berukuran sedang.

"Hawisa!" panggil Andrei dengan suara agak keras sambil melambaikan tangan ke arah Hawisa yang berjarak agak jauh di belakang Andrea.

Andrea pun menoleh ke belakang, menatap sosok Hawisa.

Sontak Hawisa menoleh ke arah Andrei dan Andrea. Sambil membawa sebungkus makanannya, ia melangkah menghampiri si sepasang kembar dengan raut wajah setengah bingung dan biasa saja.

"Hai, Hawisa!" sapa Andrei.

"Hey," ucap Hawisa sambil berdiri di samping meja Andrei dan Andrea.

"Sini duduk," Andrea mempersilahkan Hawisa duduk.

Hawisa pun memilih duduk di samping Andrea. Tubuhnya agak menyerong ke arah mereka berdua.

"Tumben kau ke sini," ucap Andrea kepada Hawisa.

"Aku membeli roti bakar untuk makan malam," kata Hawisa. "Kebetulan hari ini menu makanan ringannya adalah itu."

"Oh begitu," ucap Andrea. "Kami malah habis selesai susulan materi."

"Kau sudah masuk materi apa sekarang?" tanya Andrei.

"Di kelasku sudah memasuki materi strategi. Jadi melalui permainan papan puzzle yang asah otak gitu," jawab Hawisa.

"Wah menantang juga, ya," ucap Andrea.

"Omong-omong sejauh ini, ini pertama kalinya kita ngobrol bersama di kantin, ya," kata Hawisa.

"Kau benar," sahut Andrea. "Ya, karena waktu kita kan sibuk, ya. Jadi, waktu bebas kita pun berseberangan."

"Aku akui seperti itu," ucap Andrei.

"Baiklah aku ingin menanyakan kau sesuatu," ucap Andrea. "Kau pasti kenal Eireen dong. Benar apa benar?"

"Benar," Jawab Hawisa singkat, padat, dan jelas.

"Nah, apakah kau bisa menitipkan surat ini padanya?" tanya Andrea kembali sambil menunjukkan sepucuk amplop putih panjang yang terisi amanah Pelatih Theo untuk Eireen.

"Surat?" Hawisa tampak ragu. "Bisa saja, sih. Tapi aku tidak tahu secara pasti dia sekarang di mana."

"Kau bisa memberikannya menjelang malam sekitar pukul 17.00 atau 18.00. Biasanya waktu segitu anak-anak pada di kamarnya sebelum mereka turun untuk makan malam," jelas Andrei.

"Aku kira awalnya kalian bersama Eireen," ucap Hawisa.

"Eireen bilang, dia memutuskan untuk istirahat duluan setelah susulan materi," ucap Andrea.

"Oh begitu, ya," ucap Hawisa. "Baiklah, akan aku berikan ke dia langsung ke kamarnya."

"Baiklah, makasih sebelumnya, Hawisa. Ini sangat membantu kami sebab kami harus memutar otak agar surat ini tersampaikan padanya hari ini juga," kata Andrea.

"Tidak masalah. Dengan senang hati," ucap Hawisa sambil tersenyum tipis.

"Untung saja Hawisa tidak menanyakan lebih jauh tentang surat ini," batin Andrei sambil mengamati Hawisa yang sedang bercengkerama dengan Andrea.

Keraguan akan kebenaran yang dikatakan Hawisa pun terbesit dalam jiwa Andrei. Ia tidak tahu kepribadian Hawisa di balik mereka berdua. Apalagi dia bagian dari teman baik Abercio. Si anak terpintar di permainan takdir ke-519. Sejak kejadian lelaki berambut keemasan itu menyerobot barisan saudaranya tanpa meminta maaf, justru menimbulkan kesal yang membekas di hati terdalam.

Intinya, harapannya, surat ini langsung tertuju ke Eireen. Semoga saja.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts