webnovel

Dia Anakmu, Mas!

"Gugurkan! Dia bukan anakku!" "Apa?" "Kau tururti... Atau kita cerai!"

Pusparani_Surya · 都市
レビュー数が足りません
4 Chs

Awal

Apa yang kau rasakan saat berita yang kau anggap akan membuat suamimu bahagia, dan lalu memeluk, dan menciumimu tanpa henti, justru menjadi prahara?

Prahara yang menghempaskan kebahagiaan yang baru saja ku rasa, jauh ke dalam nestapa, dan merasa terhina.

Ya, itu terjadi. Mas Imron, tidak mengakui janin yang ada di rahimku saat ini. Sakit! Dengan lantang lelaki yang baru dua bulan ini berstatus suamiku, menolak kehadiran janin dalam perutku. Dia bahkan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan panggilanku, alih-alih mengatakan dengan jelas apa alasannya menolak buah cinta kami.

Buah cinta? Benarkah dia mencintaiku? Kalau saat benih hasil cinta itu dia tolak tanpa perasaan?

Aku memang seorang janda saat kami menikah, dua buah hati dari pernikahan pertama melengkapi statusku. Namun aku selalu menjaga sikap dan perilaku, menjaga nama baik selama status yang dipandang jelek oleh sebagian orang itu tersemat. Hingga saat Mas Imron datang melamar, Mas Imron bisa menerima keberadaan mereka dengan tangan terbuka. Dia... Lelaki sempurna bukan?

Anak pertamaku memilih ikut dengan ayahnya setelah perpisahan orang tuanya, dia anak lelaki yang sangat tampan, berkulit putih warisan dari ayahnya yang juga memiliki kulit putih cenderung bule. Anak keduaku perempuan, beruntung dia juga putih, tidak seperti aku yang memiliki kulit cenderung gelap.

Mas Imron bukanlah seorang CEO, atau pengusaha rumah makan yang memiliki banyak cabang, seperti kisah-kisah novel yang biasa aku baca. Dia hanya seorang buruh di salah satu pabrik di kotaku, sama denganku yang menggantungkan nasib menjadi karyawan di sebuah perusahaan elektronik. Tapi apapun pekerjaannya, selama itu halal aku tidak mempermasalahkannya.

Masih ku ingat saat pertama kami bertemu, Mas Imron yang bekerja sebagai tenaga maintance baru, membantu memperbaiki mesinku yang sedang bermasalah. Kami sama-sama belum saling kenal baik di tempat kerja, aku sudah setahun bekerja, sedang Mas Imron baru dua bulan. Dia dipindahkan dari pusat ke cabang, karena tenaga ahli di tempatku bekerja kurang.

"Sudah beres, Teh!" katanya sambil menepuk tangannya bergantian mengusir kotoran yang menempel, "Coba dijalankan!"

Aku mengikuti perintahnya, menekan tombol berwarna hijau, dan mesin yang biasa ku kendalikan kembali bekerja sebagai biasa.

"Iya, Mas, sudah!" dia mengangguk penuh kepuasan, keahliannya kembali teruji, "Makasih, ya?"

"Sama-sama, Teh. Sudah tugas saya,"

Aku tersenyum.

Kupikir dia akan segera pergi setelah semua pekerjaannya selesai, ternyata tidak. Mas Imron masih setia berdiri melihat mesin yang sudah kembali beroperasi.

"Teh Suci kan ya, namanya?" dia membuka percakapan, dengan sesekali menoleh ke arahku, lalu kembali melihat ke mesin.

Walau sudah tau tentangnya, ini adalah percakapan pertama kami, "Iya, Mas."

"Sudah lama kerja di sini?"

"Setahun, Mas."

Entah kenapa aku merasa nyaman berbicara dengannya. Dia yang berperawakan sedang, dengan kulit khas orang Indonesia, memiliki senyum yang ternyata sangat manis. Cacat pipi terlihat saat kedua bibirnya melengkung ke atas. Seperti saat ini.

"lumayan lama ya?"

"Iya, Mas. Butuh!" aku terkekeh, Mas Imron tertawa kecil.

"Suami? Eh, sudah menikahkan?" tanyanya ragu, mungkin takut menyinggung.

"Sudah," kataku memilih menyamarkan statusku yang sebenarnya.

Dia mengangguk lagi, kalau tidak salah lihat... Dia sepertinya kecewa.

"Anak?"

Ah, masih berlanjut ternyata, "Sudah dua, Mas!"

"Ok, saya pamit ya?!" Mas Imron melihatku sekilas, memberikan senyuman yang mulai ku sukai, lalu beranjak pergi tak menoleh lagi.

Setelah percakapan itu, kami tidak pernah bertemu secara pribadi lagi, dalam artian mesinku rusak membutuhkan tenaga maintenance untuk memperbaiki.

Namun siang itu, setelah makan siang, dia menarikku dengan lembut agar mengikuti langkahnya, "Loh, Mas? Mau kemana?" aku mencoba melepaskan cekalan tangannya, namun dia terus membawaku di bawah tatapan heran karyawan lainnya.

"Mas! Malu, ada apa sih?" aku mulai kesal dengan tingkahnya, yang aku rasa tidak sopan.

"Ikut dulu, ada yang ingin aku tanyakan!" akhirnya dia bersuara, namun tanganku tetap Di genggamannya.

"Iya, tapi tidak dengan cara seperti ini!" protesku yang malu dengan tatapan orang yang berpapasan dengan kami.

Mas Imron menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya hingga kami berhadapan. Aroma parfume yang dipakainya tercium dalam jarak sedekat ini.

"Aku lepas. Tapi janji kamu ikut denganku,"

"Iya, tapi kemana?"

"Tak ada pertanyaan, hanya turuti kata-kataku. Bisa?" matanya menatap dalam, ku temukan ketenangan saat mata kami bersirobok. Perasaan yang lama tidak ku rasa setelah perpisahan dulu dengan mantan suami.

"Sebentar!" ku coba mengajukan syarat, dan dia mengangguk setuju.

"Ok, lima belas menit!" tanganku dilepasnya, lalu berjalan mendahului menuju bagian samping bangunan pabrik, di mana saat istirahat pintunya selalu dibuka.

Ku usap pergelangan tangan yang sedikit sakit karena ditarik Mas Imron tadi, mengikuti dia dengan hati menggerutu. Apa sih maunya?

"Kenapa kamu bohong?" aku mengernyit heran dengan pertanyaannya, baru saja aku sampai di luar, dia sudah menyerang dengan pertanyaan yang tidak aku mengerti.

"Maksudnya?"

"Kenapa waktu itu kamu bilang sudah menikah?" tajam sekali mata itu menatapku.

"Loh, emang benarkan aku sudah menikah. Anakku dua!" tegasku tentang status yang tersemat di diri.

"Tapi kamu tidak punya suami sekarang ini, Suci!" dia terlihat kesal, bahkan namaku dengan gamblang disebutnya tanpa embel-embel tambahan.

"Maksudnya apa sih? Beneran aku nggak paham," aku semakin bingung saat dia justru mengusap kasar wajahnya.

"Dengar ya, Suci Andriani!"

Wow, dia hapal nama lengkapku!

"Sejak pertama aku dipindahkan kemari, dan melihat kamu... Kamu sudah membuat hatiku tidak nyaman. Membuat aku merasa was-was. Aku sudah sering mencari kesempatan untuk dekat denganmu, berharap mesin yang kamu operasikan bermasalah, dan aku yang memperbaikinya. Namun saat kesempatan itu datang, kamu dengan lantang berbohong!"

Eh, Maksudnya apa ini?

"Kamu berbohong tentang status kamu!"

Aku mengerjap tak percaya dengan apa yang kudengar, otakku mencerna semua perkataannya. Sedikit lambat, tapi... Apa dia tengah mengatakan perasaannya?

"M-mas... Maksudnya apa, ya?"

"Aku suka sama kamu Suci! Dan kamu malah membuat perasaanku tidak menentu dengan kebohongan kamu waktu itu." suara Mas Imron merendah, namun aku bisa dengan jelas mendengar pengakuannya.

Aku bingung harus sedih atau bahagia mendengar pengakuan cinta darinya. Sangat. Tidak. Romantis!

"Aku tau aku tidak romantis, aku tipe laki-laki yang tidak bisa berbasa-basi. Tapi aku tidak mau dibohongi untuk menutupi status kamu Suci!"

Eh? Kok dia seolah mengerti isi hatiku.

"Bunda!" suara Elia menarikku dari Kenangan beberapa bulan lalu, kenangan di mana Mas Imron menyatakan cinta dengan sikap yang tak biasa.

Kuulurkan tangan, melambai pada gadis kecilku yang berjalan mendekat. Senyuman dari bibir mungilnya, menentram hati yang kecewa dengan apa yang sudah Mas Imron katakan padaku semalam, saat aku menunjukkan hasil tespek padanya.

Penolakan yang menyakitkan.